Breaking News
Loading...
Selasa, 06 Januari 2015

Penulis: Sefri Wandana Hasibuan, S.Pd.I 
(Alumni IAIN-Sumatera Utara, Jurusan: Manajemen Pendidikan Islam)
     
Perhatian umat islam terhadap ilmu manajemen khususnya sebenarnya dapat dilacak dari beberapa aktivitas yang ditemukan pada masa kekhalifahan  islam. Menurut langgulung(1988), terhadap beberapa penulis yang menyatakan bahwa pengembangan ilmu-ilmu yang ada saat itu tidaklah dipisahkan sebagai sistem ilmu yang berdiri sendiri, namun sebagai system ilmu lain. Salah satunya adalah Nizam al-idari atau sistem tatalaksana yang merupakan padanan bagi istilah manajemen yang digunakan kala itu.

      Sebenarnya terdapat perbedaan mendasar antara manajemen syariah (islam) dengan manajemen modern. Keduanya berbeda dalam hal tujuan, bentuk aturan teknis, penyebarluasan dan disiplin keilmuannya. Disamping itu, pengembangan pemikiran modern oleh Negara barat telah berlangsung sangat dinamis.  Di satu sisi, masyarakat muslim belum optimal dalam mengembangkam kristalisasi pemikiran manajemen syariah dari penggalan sejarah (turats) yang otentik, baik dari segi teori maupun praktik. Padahal Rasulallah telah bersabda bahwa: “Telah aku tinggalkan atas kalian semua satu perkara, jikakalian berpegang teguh atasnya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya setelah ku, yaitu kitab allaah (alqur’an) dan sunnah ku(Hadis).”
     
      Sesungguhnya rasulallah dalam kapasitasnya adalah sebagai pemimpin dan imam yang berusaha memberikan metode, tata cara atau solusi bagi kemaslahatan hidup umatnya, dan yang dipandangnya relevan dengan kondisi zaman yang ada. Bahkan , terkadang  Rasulallah  bermusyawarah dan  meminta pendapat dari para sahabat atas persoalan yang tidak ada ketentuan wahyunya. Rasulallah  mengambi pendapat mereka wlaupun  mungkin bertentangan dengan pendapat pribadinya.

      Proses dan sistem manajemen yang diterapkan rasulallah bersifat tidak mengikat bagi para pemimpin dan umat setelahnya. Persoalan hidup terus berkembang dan berubah searah dengan putaran waktu dan perbedaan tempat. Yang dituntut oleh syariat adalah para pemimpin dan umatnya harus berpegang  teguh pada asas manfaat dan maslahah, serta tidak menyia-nyiakan ketentuan  nash syari’. Namun, mereka tidak terikat untuk mengikuti sistem manajemen Rasul dalam pemilihan pegawai, misalnya, kecuali, jika metode itu memberikan asas maslahah yang lebih, maka ia harus mengikutinya. Jika ia menolaknya, ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah. Dan hal ini diharamkan oleh allah dan Rasul-Nya.
       
       Standar asas manfaat dan masalah  tidaklah bersifat rigid. Ia bisa berubah dari waktu ke waktu. Dan dari satu  tempat ke tempat lainnya. Untuk itu, manajemen dalam  islam bersandar pada hasil ijtihad pemimpim dan umatnya. Dengan catatan, ia tidak boleh bertentangan dengan konsep dasar dan prinsip hukum utama yang bersumber dari alqur’an dan al-sunnah, serta tidak bertolak belakang dengan rincian hukum syara’ yang telah dimaklumi. Umat muslim masih memiliki ruang untuk melakukan inovasi atas persoalan detail yang belum terdapat ketentuan syari’nya.

        Bagaimana sebenarnya kepemimpinan Rasulallah SAW sebagai perwujudan kepemimpinan Allah SWT bagi umat manusia, sebagai fakta pengetahuan yang benar, rahasianya hanya ada pada sang pencipta yang mengangkat dan mengutusnya sebagai Rasul. Dalam menggali dan mencari fakta dan makna yang benar dari kepemimpinan Rasulallah SAW itu, jika seorang penganalisa sampai pada hasil yang benar, yang ditemukannya itu adalah rahmat dari Allah SWT.

        Allah SWT telah memenuhi janji-Nya untuk melengkapi manusia yang menjadi Rasul-Nya dengan kepribadian yang terpuji. Kepribadian yang terpuji itu memiliki beberapa sifat yang disebut sifat-sifat Wajib bagi seorang Rasul Allah SWT, yang dimiliki juga oleh Muhammad SAW. Sifat-sifat Wajib itu adalah sebagai berikut:

1.siddiq (benar)
2.amanah (terpercaya)
3.tabligh (menyampaikan)
4.fatanah (pandai)
5.maksum (bebas dari dosa)

       Demikianlah lukisan kepribadian Rasulallah SAW sebagai pemimpin yang dicintai umatnya, bukan karena singgasana atau tahta, sehingga berkuasa untuk memaksakan kehendaknya. Beliau tidak memerlukan kekerasan untuk menindas agar orang lain mematuhi dan taat kepadanya. Kedudukan sebagai pemimpin tidak pernah dimanfaatkannya untuk mengumpulkan dan menumpuk harta kekayaan bagi dirinya dan keturunannya. Beliau justru hidup dalam kemiskinanseperti rakyat lainnya.

0 komentar: