Breaking News
Loading...
Jumat, 07 Desember 2012

Info Post

Kajian Pembahasan
(Uraian Teori & Realita)
Output/ Hasil dari Sistem Pendidikan Instan
Seorang pelajar tentu merupakan sebuah label dan identitas  yang membanggakan. Tentu inilah masa-masa paling menyenangkan bagi  anak remaja yang menyandang status sebagai pelajar. Pendidkan yang dienyam, mengarahkan secara langsung pola  fikir kreatif, bersosialisasi dengan kawan sebaya, kematangan kepribadian yang menjungjung tinggi kesantunan, pengenalan ilmu pengetahuan lebih dalam dan rambu-rambu didikan lainnya dari pendidik.
Sebuah kesempatan yang tidak datang dua kali bagi pelajar yang lahir dalam keluarga berkecukupan. Beragam  fasilitas yang telah disediakan. Sangat  jauh berbeda bagi anak-anak yang belum beruntung. Dimana belum tentu  bisa mengenyam pendidikan dengan layak dan mumpuni.  Apalagi dari sisi ekonomi  orang tua yang berstatus kelas bawah, tentunya sebuah ambang impian untuk mampu melanjutkan pendidikan.
Beruntunglah bagi pelajar yang memiliki orang tua yang tergolong kelas atas. Kebanggaan tersebut tercermin dari sikap dan perhatian yang diberikan oleh orang tua yang tergolong the save. Tidak lain dan tidak bukan untuk menunjang kreativitas anak mereka, agar merasa nyaman dan lebih meningkatkan prestasi yang dimiliki, sehingga bisa mengangkat nama baik keluarga, lingkungan sekitar, dan pastinya dimana ia mendalami ilmu pengetahuan(lembaga pendidikan).
Bukan hanya itu, saking “bernafsunnya” para orang tua pun berlomba-lomba untuk menyekolahkan anak mereka di sekolah yang berlabel “luar biasa” dengan beragam embel-embel bimbingan belajar(bimbel) yang terpadu. Bahkan  ada pula orang tua yang memaksakan anak-anak mereka untuk melanjutkan ke instiusi pendidikan  favorit yang menjadi incaran dan primadona .
Begitupun dengan penyedia pendidikan, khususnya swasta.  Dengan apiknya mempoles kurikulum pendidikan menjadi super  instan, yang menjanjikan anak didik  cepat pintar dan mampu bersaing diera saat ini. Pengetahuan Eksakta dan bahasa asing lebih diunggulkan, sebagai produk utama institusi pendidikan yang sesuai dengan tuntuan zaman.
Mata pelajaran seperi Agama, Kewarganegaraan dan Budi Pekerti hanyalah dijadikan sebagai pelengkap. Entah apa maksud dari semua itu. Apakah mata pelajaran tersebut memang tidak memilki arti lagi untuk dipelajari? Ataukah  memang didesain khusus hanya mata pelajaran yang  memiliki nilai jual atau  market table saja yang selalu didengungkan, yang  dimodif  sebaik mungkin, sehingga bisa nyambung dengan konteks globalisasi ?
Sering kita mendengar bahwa, orang berpendidikan/terpelajar disebut sebagai insan yang intelektual, tidak gegabah dalam mengambil sikap, dan mampu mengontrol diri(emosi). Apakah ihwal tersebut masih relevan  dengan konteks kekinian?  Tenyata berbanding terbalik. Tidak semua manusia yang berpendidikan memiliki karakter  tersebut. Masih banyak para intelektual muda(khususnya pelajar) yang cepat emosian, tidak mampu mengontrol diri, gegabah,bahkan bersikap kekanak-kanankan. Bahkan dengan mudah masuk kedalam dunia “asing”.  Ini  bisa kita amati dalam keadaan saat ini, bukan hanya pelajar bahkan orang yang terpelajarpun terjerat dalam arus keras tersebut.
Sangat miris mendengar dan  melihat langsung kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan para pelajar saat ini. Bukannya memanfaatkan masa menempuh pendidikan sebagai masa untuk benar-benar menempa ilmu semaksimal mumgkin, malah mengacuhkannya begitu saja.  Urak-urakan dijalan, tawuran yang dilakukan para pelajar, membolos, pergaulan bebas, bahkan melakukan tindakan asusila,merupakan sederet contoh sosok yang telah melekat dalam kepribadian yang namanya pelajar saat ini.
Banyak riset bahkan temuan dari beberapa peneliti tentang perkembangan pelajar saat ini, yang membuktikan bahwa mengenai sisi gelap kehidupan para pelajaar, yang paling banyak terjadi di  diperkotaan.  Sangat gamblang dan nyata kita perhatikan. Status sebagai pelajar tak menjadi pagar pengikat lagi untuk melakukan hubungan yang tak semestinya dilakukan.
Maaf, misalnya  saja hubungan asmara yang dilakukan para remaja sampai melebihi batas normal. Samapi-sampai  banyak kasus memprihatinkan kisah remaja yang bisa kita temukan dilapangan.  Seperti  pernikahan dini, aborsi yang selalu meningkat dikalangan pelajar, bunuh diri akibat hubungan percintaan, mengidap HIV AIDS, dan permalahan lainnya yang selalu mengaitkan remaja kita saat ini.` Bukan hanya itu pelajar acapkali disebut sebagai pemicu  terjadinya  perubahan karakter.
Dilihat dari sisi kehidupa pelajar di kota-kota besar. Dengan  beragam life style yang dikenakan para pelajar saat ini. Begitu juga kehidupan glamor bak seoran artis. Gaya hidup yang ingin bebas dan hura, tentunya selalu diinginkan oleh pelajar metropolis. Setidaknya itu yang dilakukan  salah satu siswi SMA Tabanan,Bali belakangan yang disorot media lokal. Ia  nekad untuk melakukan tindakan tergolong berani tersebut. Ingin memperoleh material dengan harus menjual diri, dan mirisnya lagi ia adalah seorang keturunan ningrat, anak dari penegak hukum yang tentunya, sangat terhormat dimasyarakat . Namun malah memberikan citra negatif kepada kelurganya sendiri.
Setidaknya, seseorang yang berpendidiakan ( pelajar) memiliki prilaku yang lebih baik, dibandingkan seseorang yang tidak berpendidikan.Namun nyatanya tidak, malah miskin etika dan moral. Adakah yang salah dengan sistem  pendidikan saat ini, ataukah  mata pelajaran yang diterapkan hanya berorientasi untuk menjadikan para pelajar sebagai produk penghasil tenaga kerja muda yang siap bersaing ?
Berbeda dengan pelajar sebelum memasuki reformasi, orang yang mengenyam pendidikan biasa saja pun , telah dipandang sebagai “orang”, sehingga meninggal kan bekas beban moral bagi para pelajar bersangkutan. Secara  tidak langsung, pelajar tersebut harus melakukan tindakan yang bermanfaat bagi semua orang.
Bukan hanya itu, hal yang berpengaruh besar adalah system pendidikan terdahulu lebih cenderung menghargai mata pelajaran yang menjunjung tinggi moral dan etika(Agama, Kewarganegaraan, dan budi pekerti), sehingga melahirkan anak didik yang beradab, beretika, serta bermoral.



Penutup
A.      Simpulan
Pendidikan yang ada sekarang mengakibatkan para pelajar tidak memandang hakikat sebenarnya kata- kata intelektual, hal ini dikarenakan kurangnya tenaga pendidik yang berjiwa mendidik, namunmalah lebih bersifat menjadikan peserta didik sesuai dengan kehendak dan keinginan para pendidik tersebut.
Kurangnya pandangan, arahan, nasihat moral, adab, serta etika, yang diberikan para pendidiklah menjadi prioritas utama rusaknya para peserta didik.
B.      Saran
“Sesungguhnya Allah tak akan merubah nasib suatu kaum, hingga kaum tersebut mau merubahnya sendiri”. Mudah- mudahan pendidikan di NKRI ini dapat dirubah ke arah yang lebih baik ke depannya, tanpa harus menunggu hidayah perubahan yang takkan pasti kedatangannya. Begitulah janji Allah SWT terhadap para hamba yang mengimani-Nya.
Maha Benar Allah Dengan Segala Firman- firmanNya.


Daftar Pustaka









0 komentar: