Kajian Pembahasan
(Uraian Teori & Realita)
Output/ Hasil dari Sistem
Pendidikan Instan
Seorang pelajar tentu
merupakan sebuah label dan identitas yang membanggakan. Tentu inilah
masa-masa paling menyenangkan bagi anak remaja yang menyandang status
sebagai pelajar. Pendidkan yang dienyam, mengarahkan secara langsung pola
fikir kreatif, bersosialisasi dengan kawan sebaya, kematangan kepribadian yang
menjungjung tinggi kesantunan, pengenalan ilmu pengetahuan lebih dalam dan
rambu-rambu didikan lainnya dari pendidik.
Sebuah kesempatan yang
tidak datang dua kali bagi pelajar yang lahir dalam keluarga berkecukupan.
Beragam fasilitas yang telah disediakan. Sangat jauh berbeda bagi
anak-anak yang belum beruntung. Dimana belum tentu bisa mengenyam
pendidikan dengan layak dan mumpuni. Apalagi dari sisi ekonomi
orang tua yang berstatus kelas bawah, tentunya sebuah ambang impian untuk mampu
melanjutkan pendidikan.
Beruntunglah bagi
pelajar yang memiliki orang tua yang tergolong kelas atas. Kebanggaan tersebut
tercermin dari sikap dan perhatian yang diberikan oleh orang tua yang tergolong
the save. Tidak
lain dan tidak bukan untuk menunjang kreativitas anak mereka, agar merasa
nyaman dan lebih meningkatkan prestasi yang dimiliki, sehingga bisa mengangkat
nama baik keluarga, lingkungan sekitar, dan pastinya dimana ia mendalami ilmu
pengetahuan(lembaga pendidikan).
Bukan hanya itu, saking
“bernafsunnya” para orang tua pun berlomba-lomba untuk menyekolahkan anak
mereka di sekolah yang berlabel “luar biasa” dengan beragam embel-embel
bimbingan belajar(bimbel) yang terpadu. Bahkan ada pula orang tua yang
memaksakan anak-anak mereka untuk melanjutkan ke instiusi pendidikan
favorit yang menjadi incaran dan primadona .
Begitupun dengan
penyedia pendidikan, khususnya swasta. Dengan apiknya mempoles kurikulum
pendidikan menjadi super instan, yang menjanjikan anak didik cepat
pintar dan mampu bersaing diera saat ini. Pengetahuan Eksakta dan bahasa asing
lebih diunggulkan, sebagai produk utama institusi pendidikan yang sesuai dengan
tuntuan zaman.
Mata pelajaran seperi
Agama, Kewarganegaraan dan Budi Pekerti hanyalah dijadikan sebagai pelengkap.
Entah apa maksud dari semua itu. Apakah mata pelajaran tersebut memang tidak
memilki arti lagi untuk dipelajari? Ataukah memang didesain khusus hanya
mata pelajaran yang memiliki nilai jual atau market table saja yang selalu
didengungkan, yang dimodif sebaik mungkin, sehingga bisa nyambung dengan konteks
globalisasi ?
Sering kita mendengar
bahwa, orang berpendidikan/terpelajar disebut sebagai insan yang intelektual,
tidak gegabah dalam mengambil sikap, dan mampu mengontrol diri(emosi). Apakah
ihwal tersebut masih relevan dengan konteks kekinian? Tenyata
berbanding terbalik. Tidak semua manusia yang berpendidikan memiliki
karakter tersebut. Masih banyak para intelektual muda(khususnya pelajar)
yang cepat emosian, tidak mampu mengontrol diri, gegabah,bahkan bersikap
kekanak-kanankan. Bahkan dengan mudah masuk kedalam dunia “asing”.
Ini bisa kita amati dalam keadaan saat ini, bukan hanya pelajar
bahkan orang yang terpelajarpun terjerat dalam arus keras tersebut.
Sangat miris mendengar
dan melihat langsung kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan para pelajar
saat ini. Bukannya memanfaatkan masa menempuh pendidikan sebagai masa untuk
benar-benar menempa ilmu semaksimal mumgkin, malah mengacuhkannya begitu
saja. Urak-urakan dijalan, tawuran yang dilakukan para pelajar, membolos,
pergaulan bebas, bahkan melakukan tindakan asusila,merupakan sederet contoh
sosok yang telah melekat dalam kepribadian yang namanya pelajar saat ini.
Banyak riset bahkan
temuan dari beberapa peneliti tentang perkembangan pelajar saat ini, yang
membuktikan bahwa mengenai sisi gelap kehidupan para pelajaar, yang paling
banyak terjadi di diperkotaan. Sangat gamblang dan nyata kita
perhatikan. Status sebagai pelajar tak menjadi pagar pengikat lagi untuk
melakukan hubungan yang tak semestinya dilakukan.
Maaf, misalnya
saja hubungan asmara yang dilakukan para remaja sampai melebihi batas normal.
Samapi-sampai banyak kasus memprihatinkan kisah remaja yang bisa kita
temukan dilapangan. Seperti pernikahan dini, aborsi yang selalu
meningkat dikalangan pelajar, bunuh diri akibat hubungan percintaan, mengidap
HIV AIDS, dan permalahan lainnya yang selalu mengaitkan remaja kita saat ini.`
Bukan hanya itu pelajar acapkali disebut sebagai pemicu terjadinya
perubahan karakter.
Dilihat dari sisi
kehidupa pelajar di kota-kota besar. Dengan beragam life style yang dikenakan
para pelajar saat ini. Begitu juga kehidupan glamor bak seoran artis. Gaya
hidup yang ingin bebas dan hura, tentunya selalu diinginkan oleh pelajar
metropolis. Setidaknya itu yang dilakukan salah satu siswi SMA
Tabanan,Bali belakangan yang disorot media lokal. Ia nekad untuk
melakukan tindakan tergolong berani tersebut. Ingin memperoleh material dengan
harus menjual diri, dan mirisnya lagi ia adalah seorang keturunan ningrat, anak
dari penegak hukum yang tentunya, sangat terhormat dimasyarakat . Namun malah memberikan
citra negatif kepada kelurganya sendiri.
Setidaknya, seseorang
yang berpendidiakan ( pelajar) memiliki prilaku yang lebih baik, dibandingkan
seseorang yang tidak berpendidikan.Namun nyatanya tidak, malah miskin etika dan
moral. Adakah yang salah dengan sistem pendidikan saat ini, ataukah
mata pelajaran yang diterapkan hanya berorientasi untuk menjadikan para
pelajar sebagai produk penghasil tenaga kerja muda yang siap bersaing ?
Berbeda dengan pelajar
sebelum memasuki reformasi, orang yang mengenyam pendidikan biasa saja pun ,
telah dipandang sebagai “orang”, sehingga meninggal kan bekas beban moral bagi
para pelajar bersangkutan. Secara tidak langsung, pelajar tersebut harus
melakukan tindakan yang bermanfaat bagi semua orang.
Bukan hanya itu, hal
yang berpengaruh besar adalah system pendidikan terdahulu lebih cenderung
menghargai mata pelajaran yang menjunjung tinggi moral dan etika(Agama,
Kewarganegaraan, dan budi pekerti), sehingga melahirkan anak didik yang beradab, beretika, serta bermoral.
Penutup
A. Simpulan
Pendidikan yang ada sekarang
mengakibatkan para pelajar tidak memandang hakikat sebenarnya kata- kata
intelektual, hal ini dikarenakan kurangnya tenaga pendidik yang berjiwa
mendidik, namunmalah lebih bersifat menjadikan peserta didik sesuai dengan
kehendak dan keinginan para pendidik tersebut.
Kurangnya pandangan, arahan,
nasihat moral, adab, serta etika, yang diberikan para pendidiklah menjadi
prioritas utama rusaknya para peserta didik.
B. Saran
“Sesungguhnya
Allah tak akan merubah nasib suatu kaum, hingga kaum tersebut mau merubahnya
sendiri”. Mudah- mudahan pendidikan di NKRI ini dapat dirubah ke arah yang
lebih baik ke depannya, tanpa harus menunggu hidayah perubahan yang takkan
pasti kedatangannya. Begitulah janji Allah SWT terhadap para hamba yang
mengimani-Nya.
Maha
Benar Allah Dengan Segala Firman- firmanNya.
Daftar
Pustaka
0 komentar:
Posting Komentar