Bab I
Pendahuluan
A. Latar
Belakang
Pengalaman
sejarah menunjukkan bahwa perkembangan pendidikan Islam dipengaruhi oleh
kebijakan-kebijakan politik pada umumnya, dan kebijakan politik pendidikan
khususnya. Azyumardi Azra mencatat bahwa hubungan antara pendidikan dengan
politik bukanlah hal baru, karena telah tumbuh sejak masa pertumbuhan madrasah
di Timur Tengah.
Pendidikan
Islam di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah dalam berbagai aspek.
Upaya perbaikannya belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya
saja. Selama ini, upaya pembaharuan pendidikan Islam secara mendasar,
selalu dihambat oleh berbagai masalah mulai dari persoalan dana sampai tenaga
ahli. Padahal pendidikan Islam dewasa ini, dari segi apa saja terlihat goyah
terutama karena orientasi yang semakin tidak jelas. Berdasarkan uraian
ini, ada dua alasan pokok mengapa konsep pembaharuan pendidikan Islam di
Indonesia sangat mendesak, yaitu:
1.
Konsep dan praktik pendidikan
Islam dirasakan terlalu sempit, artinya terlalu menekankan pada
kepentingan akhirat, sedangkan ajaran Islam menekankan pada keseimbangan antara
kepentingan dunia dan akhirat. Maka perlu pemikiran kembali konsep pendidikan
Islam yang betul-betul didasarkan pada asumsi dasar tentang manusia yang akan
diproses menuju masyarakat madani.
2.
Lembaga- lembaga pendidikan Islam yang dimiliki
sekarang ini, belum atau kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam
dalam menghadapi tantangan dunia modern dan tantangan masyarakat dan bangsa
Indonesia disegala bidang.
Di samping
itu, Kemunduran umat Islam sebagian besar dikarenakan tertinggalnya ia
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut para pakar terdapat suatu
korelasi pengusaan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kekuatan poltik dan
ekonomi. Masyarakat Islam selalu kalah dalam politik dan ekonomi
diantaranya karena umat Islam tidak dapat mengusai dan melakukan penyebaran
ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih lanjut, di dalam kehidupan politik dan ekonomi
kita lihat adanya fase-fase perkembangan sejalan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Fase-fase tersebut
ialah fase perbudakan, feodaisme, industrialisasi, dan masa
depan ialah era ilmu pengetahuan. Era ilmu pengetahuan berarti semakin
luas penyebaran dan kontrol ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia. Hal ini
berarti suatu masyarakat atau bangsa yang tidak menguasai dan mengontrol ilmu
pengetahuan berarti akan kehilangan kekuatan politik dan ekonominya.
Masyarakat
masa depan adalah masyarakat yang berkembang atas dasar penguasaan dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Apabila ilmu pengetahuan merupakan faktor
yang sangat menentukan di dalam kehidupan umat manusia masa depan, maka ini
artinya lembaga-lembaga pendidikan haruslah menyesuaikan diri dengan tuntutan
masa depan tersebut. Visi dan misi lembaga pendidikan (Islam) harus berubah
sebagai tempat untuk mempersiapkan sumberdaya manusia masa depan yang menguasai
ilmu pengetahuan dan mengembangkannya, serta memanfaatkannya untuk meningkatkan
taraf hidup manusia.
Dalam
prespektif Islam, pendidikan bukan hanya diimplementasikan sebagai alat
transformasi ilmu (transfer of knowledge) dari satu generasi ke generasi
berikutnya, tetapi lebih dari itu pendidikan merupakan transformasi sosial (transformation
of society) yang bersumber dan berakar dari ajaran-ajaran Islam yang integral
dan universal, karena Al-Qur’an mengintroduksikan dirinya sebagai
pemberi petunjuk kejalan yang lurus sebagaimana yang tercantum dalam
Q.S.Al-Baqarah ayat 9.
Disamping
itu juga, Islam dipahami sebagai pandangan hidup bukan semata-mata bersifat
ritual belaka. Hal ini memungkinkan tercapainya tujuan yang komprehensif,
yaitu memelihara keselarasan rohani, jasmani, dan akal manusia. Islam universal
dipahami bukan agama pribadi dan agama perseorangan dari Bangsa Arab, namun
sebaiknya harus dianggap sebagai idiologi sempurna yang memberi petunjuk
kehidupan masyarakat universal.[1]
Secara
umum, dapat diambil entry point bahwa tujuan pendidikan adalah beribadah
pada Allah SWT dalam pengertian yang luas, meliputi masalah-masalah ritual dan
sosial dengan maksud untuk melaksanakan tugas kekhalifahan dimuka bumi ini.
Rumusan ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 30.
B. Rumusan
Masalah
Bertitik
tolak dari uraian latar belakang di atas, maka dapat difahami bahwa pendidikan
terutama Pendidikan Agama Islam, perlu melakukan pembaharuan yang cukup
efektif dan sinergis dengan konsep keberagaman untuk dapat melakukan transformasi
nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Dan
untuk menyederhanakan serta mempermudah permasalahan dalam perumusan masalah
ini, pemakalah akan mengkrucutkan masalah tersebut sebagai berikut:
1.
Apakah konsep pendidikan multikultural
strategis untuk dijadikan sebagai alas pembaharuan pendidikan islam?
2.
Apa sajakah faktor yang
mempengaruhi dalam kebijakan pendidikan islam?
Bab II
Pembahasan
A. Pendidikan
Multikultural Sebagai Alas Pembaruan Pendidikan Islam
Pengertian pembaharuan
dalam banyak penggunaannya sering dikacaukan dengan istilah-istilah lain yang sekilas
tampak sama, seperti perubahan dan inovasi. Memang, pada hakekatnya
semua istilah tersebut mempunyai pengertian melakukan sesuatu yang baru diluar
konsep-konsep yang konvensional.
Untuk mengantisipasi dan
menghindarkan pengertian yang tidak jelas mengenai ketiga istilah tersebut,
perlu diuraikan lebih lanjut perbedaan dari ketiganya. Perbedaan
istilah-istilah tersebut, yaitu :[2]
1.
Perubahan; mempunyai arti yang
sangat luas dan tidak selalu harus berarti peningkatan. Istilah ini mempunyai konotasi
baik dengan kemajuan maupun dengan kemunduran.
2.
Inovasi; dalam hubunganya
dengan pendidikan diinterpretasikan sebagai peningkatan dari tekhnik
pendidikan yang relatif bersifat pragmatis. Dan secara umum hal
ini terbatas pada perubahan dan peningkatan dari tekhnik pendidikan yang telah
ada, dan tidak mutlak harus bertentangan secara fundamental dengan
praktek yang telah ada sebelumnya.
3.
Pembaharuan; istilah ini juga
berhubungan dengan peningkatan yang secara umum meliputi beberapa aspek
inovasi, tetapi yang berkelanjutan.
Lebih jauh lagi
pengertian inovasi yang terlepas dari pendidikan, inovasi bisa didefenisikan
sebagai:[3]
“Proses tertentu yang dilakukan seseorang dengan melalui pendayagunaan
pemikiran, kemampuan imajinasi, berbagai stimulan dan individu
yang mengelilinginya, yang berusaha menghasilkan produk baru, baik bagi dirinya
atupun bagi lingkungannya”
Dan definisi pembaharuan
pendidikan adalah :[4] Perubahan
baru dan kualitatif yang berbeda dari hal yang telah ada sebelumnya,
serta sengaja diupayakan untuk meningkatkan kemampuan guna tujuan tertentu
dalam dunia pendidikan.
Jadi dari beberapa
definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah perubahan lebh
luas dan umum dari pada inovasi dan pembaharuan, dan istilah
pembaharuan, khususnya dalam dunia pendidikan, lebih luas cakupannya dari pada
inovasi, karena pembaharuan adalah perubahan yang cukup mendasar dalam
pendidikan, baik sasaran maupun kebijakan-kebijakan serta landasan yang
tergolong fundamental dalam sistem pendidikan.
Dalam perkembangannya,
pendidikan tidak akan lepas dari interaksi manusia sebagai satu kesatuan
yang utuh. Realitas integralisasi manusia sebagai makhluk sosial di satu
sisi, dan keberagaman etnis, budaya, agama serta perbedaan interprestasi dan dialektika
di sisi yang lain, bagaikan dua keping mata uang yang tak dapat dipisahkan satu
sama lain. Intensitas manusia sebagai makhluk sosial lebih dominan
dibanding intensitas manusia sebagai makhluk yang harus taat dan patuh terhadap
Tuhannya. Artinya, fakta bahwa umat manusia tidak bisa mengesampingkan keshalehan
sosial dan lebih mengagungkan kesalehan individu tak dapat
terelakan, apalagi dalam konteks era globalisasi kekinian.
Realitas manusia yang pluralis
tersebut, menuntut pendidikan untuk lebih akomodatif dan aspiratif
terhadap kehegemonikan serta tidak bersifat mengekang dan diskriminatif
terhadap masyarakat arus bawah yang nota bene termarginalkan. Dengan
kata lain, diperlukan pendidikan yang dapat memberikan “solusi konstruktif”
sehingga akan terjadi pembaharuan pendidikan disegala aspek tanpa diikat oleh
sekat-sekat etnik, budaya, agama, ras, dan lain sebagainya termasuk didalamnya
perbedaan pandangan dan keyakinan interprestasi intra agama.
Konsep pembaharuan
pendidikan tersebut harus difahami tidak secara sempit. Artinya. interprestasi
pembaharuan pendidikan tidak hanya sebatas pembaharuan dalam konteks fisik
semata, tetapi lebih dari itu pembaharuan pendidikan dapat difahami
sebagai pembaharuan dalam konteks multidimensial, meliputi kejiwaan dan
psikologis peserta didik. Pembangunan gedung-gedung bertingkat dan pengadaan
sarana dan pra sarana yang relatif memadai dan tersebar di pelosok-pelosok
pedesaan, bukanlah implementasi dari pembaharuan pendidikan yang paling urgens.
Yang harus dijadikan skala prioritas adalah bagaimana pendidikan bisa
dijadikan sebagai wahana yang benar-benar mencerahkan, bukannya mengekang, atau
sebagai alat merefleksikan potensi diri, bukannya sebagai alat pelanggeng
kekuasaan, atau sebagai sarana kebutuhan akan eksistensinya sebagai makhluk
Tuhan, bukannya sarana untuk menanamkan permusuhan antar sesama.
Dalam proses
pembaharuannya umat Islam harus mampu menciptakan model-model pendidikan yang
dapat menyentuh berbagai aspek, yaitu yang mampu mengembangkan “agent of
technology and culture”.[5]
Dalam model ini mampu mendobrak pola pikir konservatif, yang pada
dasarnya dogmatis, kurang dinamis, dan berkembang secara bebas.
Pembaharuan pendidikan
sejatinya adalah dimana setiap manusia mempunyai kedudukan dan hak yang sama
dalam memperoleh pendidikan. Konsep pembaharuan pendidikan seperti ini
mempunyai kekuatan hukum yang cukup representatif, dimana dalam UUD’45
Bab XVIII Pasal 31 Ayat 1 tentang Pendidikan dan Kebudayaan, disebutkan bahwa
setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan. Dari aplikasi pembaharuan pendidikan
diatas, dan ditambah dengan diperlukannya pendidikan yang realistis dan relevan
dalam konteks masyarakat yang plural dan hegemonik seperti realita yang terjadi
di Indonesia ini, maka alternatif pendidikan yang tepat adalah
pendidikan yang berorientasikan kepada rakyat dan berwawasan multikultural.
Pembaharuan pendidikan
yang berorientasikan kepada rakyat direflesikan melalui satu bentuk “simbiosis
mutualisme”, dimana masing-masing saling berkaitan dan menguntungkan antara
pendidik dan peserta didik dengan berusaha menghilangkan dikotomi subject
dan object pendidikan. Pendidikan kerakyatan timbul bukan karena
ketidakmengertian arti filosofis Pasal 31 UUD’45, melainkan karena
kebingungan realitas dalam menghadapi berbagai perilaku inkonsistensi,
terutama dalam berbagai kebijakan pemerintah.[6]
Secara realita, pendidikan banyak diperuntukan bagi mereka yang mendapatkan
kelayakan (kebanyakan bersifat material) dan sesuai dengan syarat-syarat
zaman yang multi komplek. Hal ini bisa dilihat dari tingkat partisipatoris
mayarakat miskin terhadap pendidikan. Agenda penting tersebut merupakan wacana
kerakyatan dalam memperoleh keadilan untuk mencerdaskan dirinya agar bisa kompetitif
dengan masyarakat lain.
Adapun pendidikan multikultural adalah implementasi strategis dari pendidikan yang berorientasikan kerakyatan tersebut, karena pendidikan multicultural mengidentifikasikan diri dalam tiga lapis diskursus kemasyarakatan, yaitu masalah kebudayaan, kebiasaan dan pola-pola kelakuan yang hidup ditengah-tengah masyarakat, serta kegiatan atau kemajuan tertentu (achievement) dari kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang merupakan identitas yang melekat pada kelompok tersebut.[7]
Adapun pendidikan multikultural adalah implementasi strategis dari pendidikan yang berorientasikan kerakyatan tersebut, karena pendidikan multicultural mengidentifikasikan diri dalam tiga lapis diskursus kemasyarakatan, yaitu masalah kebudayaan, kebiasaan dan pola-pola kelakuan yang hidup ditengah-tengah masyarakat, serta kegiatan atau kemajuan tertentu (achievement) dari kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang merupakan identitas yang melekat pada kelompok tersebut.[7]
Pendidikan multikultural
mempunyai beberapa karakteristik dalam pengimplementasiannya, karekteristik
dari pendidikan multikultural tersebut meliputi tujuh komponen, yaitu :[8]
1.
Belajar hidup dalam perbedaan,
2.
Membangun tiga aspek mutual
(saling percaya, saling pengertian, dan saling menghargai),
3.
Terbuka dalam berfikir,
4.
Apresiasi dan interdependensi,
5.
Resolusi konflik dan
rekonsiliasinir kekerasan.
Kemudian dari
karakteristik-karakteristik tersebut, diformulasikan dengan ayat-ayat
al-Qur’an sebagai back up strategis, bahwa konsep pendidikan multikultural
ternyata selaras dengan ajaran-ajaran Islam dalam mengatur tatanan hidup
manusia di muka bumi ini, terutama sekali dalam konteks pendidikan, yaitu:
1.
Karakteristik
belajar hidup dalam perbedaan. Selama ini pendidikan lebih diorientasikan
pada tiga pilar pendidikan, yaitu menambah pengetahuan, pembekalan keterampilan
hidup (life skill), dan menekankan cara menjadi “orang” sesuai dengan kerangka
berfikir peserta didik. Kemudian dalam realitas kehidupan yang plural, ketiga
pilar tersebut kurang mumpuni dalam menjawab relevansi masyarakat yang
semakin majemuk. Maka dari itu diperlukan satu pilar strategis yaitu
belajar saling menghargai akan perbedaan, sehingga akan terbangun relasi antara
personal dan intra personal. Dalam terminology Islam, realitas akan perbedaan
tak dapat dipungkiri lagi, sesuai dengan Q.S. Al-Hujurat:13 yang menekankan
bahwa Allah SWT menciptakan manusia yang terdiri dari berbagai jenis kelamin,
suku, bangsa, serta interprestasi yang berbeda-beda. Hal ini juga dipertegas
dengan sikap Nabi yang berdiam diri ketika ada dua sahabatnya yang berbeda
pendapat dalam suatu ketentuan hukum.
2.
Membangun
tiga aspek mutual, yaitu membangun saling percaya (mutual
trust), memahami saling pengertian (mutual understanding), dan menjunjung sikap
saling menghargai (mutual respect). Tiga hal ini sebagai konsekuensi logis
akan kemajemukan dan kehegemonikan, maka diperlukan pendidikan yang
berorientasi kepada kebersamaan dan penanaman sikap toleran, demokratis, serta
kesetaraan hak. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menekankan akan
pentingnya saling percaya, pengertian, dan menghargai orang lain, diantaranya
ayat yang menganjurkan untuk menjauhi berburuk sangka dan mencari kesalahan
orang lain (Q.S. al-Hujurat:12), tidak mudah memvonis dan selalu
mengedepankan klarifikasi (Q.S. al-Hujurat:6), serta ayat yang
menegaskan prinsip tidak ada paksaan (Q.S. al-Baqoroh:256).
3.
Terbuka
dalam berfikir. Pendidikan seyogyanya memberi pengetahuan
baru tentang bagaimana berfikir dan bertindak, bahkan mengadopsi dan
beradaptasi terhadap kultur baru yang berbeda, kemudian direspons dengan
fikiran terbuka dan tidak terkesan eksklusif. Peserta didik didorong
untuk mengembangkan kemampuan berfikir sehingga tidak ada kejumudan dan
keterkekangan dalam berfikir. Penghargaan al-Qur’an terhadap mereka yang
mempergunakan akal, bisa dijadikan bukti representatif bahwa konsep
ajaran Islampun sangat responsif terhadap konsep berfikir secara
terbuka. Salah satunya ayat yang menerangkan betapa tingginya derajat orang
yang berilmu (Q.S. al-Mujadallah:11), atau ayat yang menjelaskan bahwa Islam
tidak mengenal dogmatisme (Q.S. al-Baqarah:170).
4.
Apresiasi
dan interdependensi. Karakteristik ini
mengedepankan tatanan social yang care (peduli), dimana semua anggota
masyarakat dapat saling menunjukan apresiasi dan memelihara relasi,
keterikatan, kohesi, dan keterkaitan sosial yang rekat, karena bagaimanapun
juga manusia tidak bisa survive tanpa ikatan sosial yang dinamis. Konsep
seperti ini banyak termaktub dalam al-Qur’an, salah satunya Q.S. al-Maidah:2
yang menerangkan betapa pentingnya prinsip tolong menolong dalam kebajikan,
memelihara solidaritas dan ikatan sosial (takwa), dengan menghindari tolong
menolong dalam kejahatan.
5.
Resolusi
konflik dan rekonsiliasinir kekerasan.
Konflik dalam berbagai hal harus dihindari, dan pendidikan harus
mengfungsikan diri sebagai satu cara dalam resolusi konflik. Adapun resolusi
konflik belum cukup tanpa rekonsiliasi, yakni upaya perdamaian melalui sarana
pengampunan atau memaafkan (forgiveness). Pemberian ampun atau maaf
dalam rekonsiliasi adalah tindakan tepat dalam situasi konflik komunal.
Dalam ajaran Islam, seluruh umat manusia harus mengedepankan perdamaian, cinta
damai dan rasa aman bagi seluruh makhluk (Q.S. asy-Syura:40), dan secara tegas
al-Qur’an juga menganjurkan untuk memberi maaf, membimbing kearah kesepakatan
damai dengan cara musyawarah, duduk satu meja dengan prinsip kasih sayang (Q.S.
Ali Imran:139).
Berangkat dari pemahaman
karakteristik diatas, pendidikan multikultural adalah gerakan pembaharuan dan
inovasi pendidikan dalam rangka menanamkan kesadaran pentingnya hidup
bersama dalam keragaman dan perbedaan, dengan spirit kesetaraan dan
kesederajatan, saling percaya, saling memahami dan menghargai persamaan,
perbedaan dan keunikan agama-agama, sehingga terjalin suatu relasi dan interdependensi
dalam situasi saling mendengar dan menerima perbedaan pendapat dalam pikiran
terbuka, untuk menemukan jalan terbaik mengatasi konflik dan menciptakan
perdamaian melalui kasih sayang antar sesama.[9]
Maka dari itu
implementasi pendidikan multikultural tidak akan lepas dari konsep-konsep
pembaharuan pendidikan, karena pembaharuan pendidikan mempunyai konsep
konstruktif yang membentuk terwujudnya pendidikan multikultural. Dalam
melakukan pembaharuan, pendidikan diharapkan mengorientasikan tujuannya lebih
bersifat problematis, strategis, aspiratif, menyentuh aspek aplikasi, serta
dapat merespon kebutuhan masyarakat.[10]
Kemudian dari kerangka ini, tujuan yang dirumuskan meliputi aspek ilahiyyah
(teoritis), fisik dan intelektual, kebebasan (liberal), akhlak,
profesionalisme, berkualitas, dinamis, dan kreatif sebagai insan kamil dalam
kehidupannya.
B. Faktor-faktor
Yang Mempengaruhi Kebijakan Pendidikan Islam
1.
Faktor Agama
Visi pendidikan Islam sesungguhnya melekat pada
visi ajaran Islam itu sendiri yang terkait dengan visi kerasulan para Nabi,
mulai dari visi kerasulan Nabi Adam AS. hingga kerasulan Nabi Muhammad SAW,
yaitu membangun sebuah kehidupan manusia yang patuh dan tunduk kepada Allah
SWT, serta membawa rahmat bagi seluruh alam.
Berkaitan dengan visi rahmatan lil alamin sebagaimana
firman Allah SWT. (QS. 21: 107), Imam al-Maraghi mengatakan sebagai berikut.
Bahwa yang dimaksud dengan ayat 107 surat al-Ambiya yang artinya : “Tidaklah
Aku utus engkau Muhammad melainkan agar menjadi rahmat bagi seluruh alam adalah
bahwa tidaklah Aku utus engkau Muhammad dengan al-Qur’an ini serta berbagai perumpamaan
dari ajaran agama dan hukum yang menjadi dasar rujukan untuk mencapai
bahagia dunia dan akhirat melainkan agar menjadi rahmat dan petunjuk bagi
mereka dalam segala urusan kehidupan dunia dan akhiratnya.
Visi pendidikan Islam yang bertumpu pada mewujudkan
rahmat bagi seluruh alam itu, memperlihatkan bahwa pendidikan Islam memiliki
sebuah tanggung jawab yang amat berat, kompleks, multidimensi dan berjangka
panjang. Visi pendidikan Islam terkait erat dengan upaya mewujudkan sebuah
tata kehidupan yang harmoni, aman, damai, sejahtera lahir dan batin.
Sedangkan misi ajaran Islam yang memuliakan manusia
yang demikian itu, menjadi misi pendidikan Islam. Terwujudnya manusia yang
sehat jasmani, rohani dan akal pikiran, serta memiliki ilmu pengetahuan,
keterampilan, akhlak yang mulia, keterampilan hidup (skill life) yang
memungkinkan ia dapat memanfaatkan berbagai peluang yang diberikan oleh
Allah termasuk pula mengelola kekayaan alam yang ada di daratan, di lautan,
bahkan di ruang angkasa adalah merupakan misi pendidikan Islam.
Dalam perspektif Islam, tanggung jawab pendidikan
dengan segala jenisnya tidak hanya berdimensi duniawi, melainkan juga
berdimensi ukhrawi dalam satu kesatuan yang integral. Sehingga
pendidikan Islam mempunyai tanggung jawab membantu setiap pribadi muslim untuk merealisasikan
misi hidupnya, seperti yang digariskan Allah SWT.
Di atas misi kemanusiaan itulah pendidikan Islam
berpijak untuk menciptakan kondisi yang ideal bagi terbentuknya pribadi-pribadi
muslim dan untuk selanjutnya membentuk tatanan masyarakat Islami yang
dinamis.
Ketika menghadapi tantangan-tantangan modernisasi dan polarisasi
ideologi dunia, terutama didorong oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern,
pendidikan Islam tidak terlepas dari tantangan yang menuntut jawaban segera.
Secara garis besar tantangan-tantangan tersebut meliputi hal-hal sebagai
berikut :
a.
Terdapat kecenderungan perubahan sistem nilai untuk
meninggalkan sistem nilai yang sudah ada (agama). Standar-standar
kehidupan dilaksanakan oleh kekuatan-kekuatan yang berpijak pada materialisme
dan sekularisme. Dan inilah titik sentral masalah modernisasi yang menjadi akar
timbulnya masalah-masalah di semua aspek kehidupan manusia, baik aspek sosial, ekonomi,
budaya maupun politik.
b.
Adanya dimensi besar dari kehidupan masyarakat modern
yang berupa pemusatan pengetahuan
teoritis. Ini berarti bertambahnya ketergantungan manusia pada ilmu
pengetahuan dan
informasi sebagai sumber strategis pembaharuan. Tidak terpenuhinya
kebutuhan ini akan menimbulkan
depersonalisasi dan keterasingan dalam dunia modern.
Dalam menghadapi tantangan di atas, sudah barang tentu
pendidikan Islam harus memperhitungkan kekuatan arus yang mengitarinya seperti
sistem Barat yang bercorak sekuler dan telah memasuki semua aspek kehidupan
manusia. Begitu juga halnya modernisasi harus dipahami sebagai proses alamiah
dalam evolusi kehidupan manusia.
2.
Faktor Ideologi Negara
Antara pendidikan Islam dan pendidikan nasional
Indonesia tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Hal ini dapat
ditelusuri dari dua segi: Pertama, dari konsep penyusunan sistem
pendidikan nasional Indonesia itu sendiri. Kedua, dari hakikat
pendidikan Islam dalam kehidupan beragama kaum muslimin di Indonesia.
Penyusunan suatu sistem pendidikan nasional harus
mementingkan masalah-masalah eksistensi umat manusia pada umumnya dan
eksistensi bangsa Indonesia pada khususnya baik dalam hubungannya dengan masa
lampau, masa kini dan kemungkinan-kemungkinan perkembangan masa depan.
Eksistensi
bangsa Indonesia terwujud dengan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus
1945, dimana bangsa Indonesia sebagai negara yang merdeka, bersatu dan
berdaulat penuh. Bangsa Indonesia telah bertekad bulat untuk membangun dan
mengembangkan bangsa dengan Pancasila sebagai landasan Ideologi dan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusionalnya.
3.
Faktor Perkembangan Masyarakat
Perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan
Indonesia pada khususnya mau tidak mau akan menuju kepada masyarakat
informasi (informatical society) sebagai kelanjutan atau
perkembangan dari masyarakat industri atau modern. Jika masyarakat modern
memiliki ciri-ciri rasional, berorientasi ke depan, bersikap terbuka, menghargai
waktu, kreatif, mandiri dan inovatif, maka pada masyarakat informasi ciri-ciri
tersebut belum cukup. Pada masyarakat informasi, manusia selain harus memiliki
ciri-ciri masyarakat modern pada umumnya, juga harus memiliki ciri-ciri lain,
yaitu menguasai dan mampu mendaya gunakan arus informasi, mampu bersaing, terus
menerus belajar (serba ingin tahu), mampu menjelaskan, imajinatif, mampu
mengubah tantangan menjadi peluang, dan menguasai kemampuan menggunakan
berbagai metode dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi.
Peran media elektronik yang demikian besar akan
menggeser agen-agen sosialisasi yang berlangsung secara tradisional seperti
yang dilakukan orang tua, guru, pemerintah dan sebagainya. Komputer dapat
menjadi teman bermain, orang tua yang akrab, guru yang memberi nasehat, juga
sewaktu-waktu dapat memberikan jawaban segera terhadap pertanyaan-pertanyaan
eksistensial dan mendasar.
Kemajuan dalam bidang informasi tersebut pada akhirnya
akan berpengaruh pada kejiwaan dan kepribadian masyarakat. Pada era
informasi yang sanggup bertahan hanyalah mereka yang berorientasi ke depan,
yang mampu mengubah pengetahuan menjadi kebijakan dan ciri-ciri lain
sebagaimana dimiliki oleh masyarakat modern.
Itulah gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat
manusia mau tidak mau harus menghadapinya. Masa depan yang demikian itu
selanjutnya akan mempengaruhi dunia pendidikan, baik dari kelembagaan,
materi pendidikan, guru, metode, sarana dan prasarana dan lain sebagainya. Hal
ini pada gilirannya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan
khususnya pendidikan Islam. Hal ini perlu dilakukan jika dunia pendidikan Islam
ingin tetap bertahan secara fungsional dalam memandu perjalanan umat manusia.
4.
Faktor Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Kemajuan teknologi dalam tiga dasawarsa ini
telah menampakkan pengaruhnya pada setiap dan semua kehidupan individu,
masyarakat dan negara. Dapat dikatakan bahwa tidak ada orang yang dapat
menghindar dari pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK),
IPTEK bukan saja dirasakan individu, akan tetapi dirasakan pula oleh
masyarakat, bangsa dan negara.
Kehadiran IPTEK di negara-negara maju, sudah lama
dirasakan pengaruhnya, karena pada negara-negara tersebutlah kemajuan
itu mula-mula dicapai. Sebaliknya bagi negara-negara berkembang, pengaruh
tersebut baru mulai dirasakan antara lain seperti dalam bidang informasi,
buku-buku, media TV, radio, video, internet dan lain sebagainya.
Sekarang yang menjadi persoalan sekaligus pertanyaan
bagi kita tentunya adalah bagaimana dengan eksistensi pendidikan Islam
dalam menghadapi arus perkembangan IPTEK yang sangat pesat tersebut.
Bagaimanapun tampaknya pendidikan Islam (terutama lembaganya) dituntut untuk
mampu mengadaptasikan dirinya dengan kondisi yang ada. Disamping dapat mengadaptasi
dirinya, pendidikan Islam juga dituntut untuk menguasai IPTEK, dan kalau perlu
merebutnya.
Kenyataan untuk merebut teknologi dan ilmu pengetahuan
tersebut adalah sangat penting, sebab sekarang pembangunan nasional diarahkan
dengan orientasi pada teknologi industri, dalam hal ini tak terkecuali dalam
bidang pendidikan.
Bab III
Penutup
A.
Simpulan
Menjadi bangsa yang maju dan sejahtera, tidak bisa
tidak, memang harus dimulai dari pendidikan berkualitas yang bisa
diakses oleh semua kelompok masyarakat. Pendidikan yang berkualitas baik secara
filosofis-teoritis maupun teknis-praktis akan meningkatkan kualitas yang utuh
bagi pendidikan nasional kita. Oleh karena itu, pendidikan bukan hanya
tanggungjawab pemerintah, tetapi juga masyarakat, keduanya harus bersatu-padu
dalam memajukan dan mencerdaskan anak bangsa menuju Indonesia baru yang demokratis,
adil dan sejahtera.
Dari beberapa konsep pendidikan
multikultural yang telah dipaparkan, dapat ditarik kesimpulan bahwa
pendidikan multikultural adalah salah satu solusi konstruktif dalam
mengembangkan pembaharuan pendidikan, dan ternyata konsep-konsep tersebut
banyak disokong oleh ajaran-ajaran Islam yang termaktub dalam al-Qur’an dan
al-Hadits. Relevansi pendidikan multikultural merupakan aplikasi
strategis ajaran Islam yang mempunyai konsep dasar “rahmatan lil ‘alamin”.
Begitu sentralnya kedudukan ilmu dalam
pembangunan sebuah peradaban, maka menurut kami, umat Islam yang sedang
membangun sebuah peradaban harus menguasahakan secara maksimal alih ilmu pengetahuan
dari bangsa yang menguasainya meskipun mereka bukan Muslim. Demikian pula
pencarian ilmu itu tidak terbatas pada ilmu agama Islam saja, tetapi juga
termasuk ilmu-ilmu sekuler yang bermanfaat, sebab kedua ilmu itu sama
cepatnya mengantarkan manusia pada kebahagiaan dunia.
B.
Saran
Dengan diperolehnya gambaran teoritik
tentang upaya-upaya pembaharuan pendidikan agama islam melalui konsep
multikultural, maka ada beberapa implikasi sebagai usaha yang
mengikutinya, yaitu:
1.
Kepada pendidik agar
senantiasa menanamkan sikap toleransi, demokratis, humanis dan menghargai pluralisme
kepada peserta didik.
2.
Kepada pemegang otoritas
kekuasaan agar tidak mengintervensi dan memberikan kebijakan legal
konsep pembaharuan pendidikan melalui pendidikan multikultural
3.
Kepada masyarakat agar
bersama-sama mengawal jalannya kependidikan sebagai “balancing system”
Daftar
Pustaka
Agus Salim Sitompul,
Menyatu dengan Umat Menyatu dengan Bangsa, Pemikiran Keislaman HMI (1947-1997),
Jakarta : Logos, 2002
Azyumardi Azra,
Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, Jakarta: PT.
Logos Wacana Ilmu, 1999
Hans N. Weiler,
“Educational Planning and Social Change: A Critical Review of Concept and
Practice, dalam Philip G. Altbach et al, (editors), Comparative Education”, New
York: Macmillan Publishing Co., Inc., 1982
H.A.R. Tilaar,
Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru, 70 Tahun, Jakarta : Grassindo, 2002
[2] Menurut Junius Mauegha 1982:90
yang dikutip dari Kruchrikov 1976
[3] Muhammad Abdul Jawad (2004:1)
[4] Prof. Santoso S. Harjoyo ( Cece
Wijaya dkk., 1992 : 6 )
[5] H.M. Arifin ( 1991 : 31 )
[6] Dadang S. Anshori (2000:18)
[7] H.A.R. Tilaar, 2003:168
[8] menurut Zakiyyudin Baidhawy
(2005:78),
[9] Zakiyyudin Baidhawy (2005:85)
[10] Hujair A.H. Sanaky (2003:157)
0 komentar:
Posting Komentar