Breaking News
Loading...
Rabu, 05 Desember 2012

Info Post

Bab I
Pendahuluan
   A.    Latar Belakang
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Kondisi umum sektor pendidikan di Indonesia ditandai oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM), sekitar 58% dari tenaga kerja Indonesia hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD) atau kurang. Pada saat yang sama, hanya 4% dari tenaga kerja yang berpendidikan tinggi.
Dalam kondisi demikian itulah otonomi daerah (termasuk di dalamnya sektor pendidikan) dilaksanakan. Di era otonomi daerah, urusan pendidikan dari tingkat TK hingga SLTA menjadi tanggung jawab daerah, hanya perguruan tinggi yang masih dipegang Pusat. Jelas bahwa masa depan pendidikan sangat tergantung pada kemampuan Pemda dalam mengelola sektor pendidikan.
B.     Rumusan Masalah
Setelah uraian Latar belakang di atas, maka kami dapat membuat Rumusan Masalah, yaitu: “Bagaimana Konsep Otonomi daerah, dan bagaimana Pola pembiayaan dalam sektor pendidikan, serta Otonomi Daerah dalam Mengatasi Kesenjangan Sistem Pendidikan di Setiap Daerah?”

Bab II
Pembahasan
1.        Konsep Otomi Daerah
A.    Arti Otonomi Daerah
Berbagai definisi tentang desentralisasi dan otonomi daerah telah banyak dikemukakan oleh pakar sebagai bahan perbandingan dan bahasan dalam upaya menemukan pengertian yang mendasar tentang pelaksanaan otonomi daerah sebagai manifestasi desentralisasi. Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai mandiri. Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”. Jadi, Otonomi Daerah adalah kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa tekanan dari luar.
Yang dimaksud dengan desentralisasi adalah transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari seseorang atau agen pemerintah pusat kepada beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat kepada publik yang dilayani. Landasan yang mendasari transfer ialah teritorial dan fungsional.[1]
Menggunakan istilah desentralisasi untuk menunjukkan adanya proses perpindahan kekuasaan politik fiskal dan administratif kepada unit pemerintah sub nasional. Oleh karena itu yang terpenting adalah adanya pemerintah daerah yang terpilih melalui pemilihan lokal (elected sub-national goverment). Dan jika tidak, maka negara tersebut tidak dianggap sudah terdesentralisasikan. Jadi, desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.[2]
B.     Arti Penting Otonomi Daerah – Desentralisasi
Ada beberapa alasan mengapa kebutuhan terhadap desentralisasi di Indonesia saat ini dirasakan sangat mendesak. Yaitu karena:
1.        Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta. Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah lain di lalaikan.
2.        Pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata.
3.        Kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu daerah berkembang pesat sekali, sedangkan pembangunan di banyak daerah masih lamban dan bahkan terbengkalai.
Sementara itu, ada alasan lain yang didasarkan pada kondisi ideal, sekaligus memberikan landasan filosofis bagi penyelenggaraan pemerintah daerah (desentralisasi), yaitu:[3]
1.        Dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
2.        Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi.
3.        Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan pada daerah.
4.        Dari sudut kultur, desentralisasi perlu diadakan supaya adanya perhatian sepenuhnya ditumpukan kepada kekhususan sesuatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.
5.        Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung dapat membantu pembangunan tersebut.
C.    Visi Otonomi Daerah
1.        Politik
Karena otonomi adalah buah dari kebijakan desentalisasi dan demokrasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang respontif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung jawaban publik.
2.        Ekonomi
Otonomi daerah disatu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan. Ekonomi didaerah, dan dipihak lain terbukanya peluang bagi pemerintahan daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi didaerahnya.
3.        Sosial dan budaya
Otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang kondusif dalam menciptakan kemampuan masyarakat untuk merespon dinamika kehidupan disekitarnya.
Berdasarkan visi ini, maka konsep dasar otonomi daerah yang kemudian melandasi lahirnya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999, merangkum hal-hal berikut ini:
1.        Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah.
2.        Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat lokal dalam pemilihan dan penetapan kepala Daerah.
3.        Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur demokrasi demi menjamin tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang berkualifikasi tinggi dengan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula.
4.        Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan, setara dengan beban tugas yang dipikul, selaras dengan kondisi daerah serta lebih responsif terhadap kebutuhan daerah.
5.        Peningkatan efisien administrasi keuangan darah serta pengaturan yang lebih jelas atas sumber-sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian revenue (pendapatan) dari sumber penerimaan yang berkait dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi serta tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.
6.        Perwujudan desentralisasi fiskal dari pemerintahan pusat yang bersifat alokasi subsidi berbentuk block gran, peraturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang ada.
D.    Model Desentralisasi
1.        Dekonsentrasi
Desentralisasi dalam bentuk dekonsentrasi (deconcentration), menurut Rondinelli pada hakikatnya hanya merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab administratif antara departemen pusat dengan pejabat pusat dilapangan tanpa adanya penyerahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau keleluasan untuk membuat keputusan.
Rondinelli selanjutnya membedakan dua tipe dekonsentrasi yaitu :
Ø  Field administration (administrasi lapangan). Pejabat lapangan diberi keleluasaan untuk mengambil keputusan seperti merencanakan, membuat keputusan-keputusan rutin dan menyesuikan pelaksanaan kebijaksanaan pusat dengan kondisi setempat.
Ø  Local administrasion (administrasi lokal). Terdiri dari dua tipe yaitu integrated local administration (administrasi lokal yang terpadu) dan unintegrated local administration (administrasi lokal yang tidak padu). Dalam tipe integrated local administration, tenaga-tenaga dari departemen pusat yang ditempatkan didaerah berada langsung di bawah perintah dan supervisi kepala daerah yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat.
2.        Delegasi
Delegation to semi autonomus sebagai bentuk kedua yang disebutkan oleh Rondinelli adalah pelimpahan keputusan dan kewenangan untuk melakukan tugas-tugas khusus suatu organisasi yang tidak secara langsung berada dibawah pengawasan pemerintah pusat. Delegasi menurut Litvack merujuk kepada sebuah situasi dimana pemerintah pusat mentrasfer tanggung jawab (responsibility) pengambilan keputusan dan fungsi administrasi publik kepada pemerintah daerah atau kepada organisasi semi otonomi yang sepenuhnya tidak dikendalikan oleh pemerintah pusat akan tetapi pada akhirnya tetapi pada akhirnya tetap bertanggung jawab (accountable) kepadanya.
3.        Devolusi
Konsekuensi dari devolusi adalah pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintahan diluar pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu kepada unit-unit itu untuk dilaksanakan secara mandiri.


4.        Privatisasi
Privatisasi adalah suatu tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta dan swadaya masyarakt, tetapi dapat pula merupakan peleburan badan Pemerintah menjadi badan usaha swasta.
2.        Pola pembiayaan dalam sektor pendidikan
Pasca Reformasi tahun 1998, membawa perubahan fundamental dalam sistem pendidikan nasional. Perubahan sistem pendidikan tersebut mengikuti perubahan sistem pemerintah yang sentralistik menuju desentralistik atau yang lebih dikenal dengan otonomi pendidikan dan kebijakan otonomi nasional itu mempengaruhi sistem pendidikan Indonesia.[4]
Sistem pendidikan Indonesia pun menyesuaikan dengan model otonomi. Kebijakan otonomi di bidang pendidikan (otonomi pendidikan) kemudian banyak membawa harapan akan perbaikan sistem pendidikan di Indonesia di masa akan datang.
Implementasi Kebijakan Otonomi daerah yang didasarkan pada UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, yaitu memutuskan suatu keputusan dan atau kebijakan secara mandiri dimana kewenangan yang dulu berada di pusat sekarang telah diserahkan kepada daerah dalam hal ini propinsi dan kabupaten/kota. Pemberian otonomi ini dimaksudkan untuk lebih memandirikan daerah dan memberdayakan masyarakat sehingga lebih leluasa dalam mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri. Pemberian otonomi yang luas dan bertanggung jawab dilaksanakan dengan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, berkeadilan, dan memperhatikan potensi serta keanekaragaman daerah, dengan titik sentral otonomi pada tingkat yang paling dekat dengan rakyat, yaitu kabupaten dan kota.
Hal yang esensial dari otonomi daerah adalah semakin besarnya tanggung jawab daerah untuk mengurus tuntas segala permasalahan yang tercakup di dalam pembangunan masyarakat di daerahnya, termasuk bidang pendidikan.[5]
Pembiayaan SMP dan SMA dilakukan melalui Kanwil Diknas (di tingkat propinsi) dan Kandepdiknas (di tingkat kabupaten/kota). Setelah diberlakukannya otonomi daerah, seluruh pengelolaan sekolah dari SD hingga SMA menjadi tanggung jawab Pemda. Konsekwensinya, tidak ada lagi Kanwil dan Kandepdiknas, yang ada hanyalah Dinas Pendidikan di tingkat kabupaten/kota yang berada di bawah kendali Pemda, dan Dinas Pendidikan propinsi yang berada di bawah kendali Pemprop.
Antara Dinas Pendidikan kabupaten/kota dengan Dinas Pendidikan propinsi tidak ada hubungan hierarkhis, sedangkan propinsi masih tetap mengemban amanat sebagai perwakilan pemerintah pusat. Dengan konfigurasi kelembagaan seperti itu, jelas bahwa Pusat tidak lagi punya “tangan” di daerah untuk mengimplementasikan program-programnya.
Implikasinya, setiap program di tingkat sekolah harus dilakukan melalui koordinasi dengan Pemda, atau khususnya Dinas Pendidikan kabupaten/kota.
Dengan konfigurasi kelembagaan yang seperti itu pula, pola pembiayaan pendidikan mengalami perubahan yang cukup mendasar. Pasal 48 Undang Undang-undang No. 20 Tahun 2003 menjelaskan bahwa:
1.        Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.
2.        Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat I diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Dengan demikian daerah memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk membiayai sektor pendidikan dengan menggunakan APBD-nya. Dukungan dari Pusat (dan Propinsi) tetap dimungkinkan, tetapi juga harus melalui mekanisme APBD, atau paling tidak tercatat di dalam APBD kabupaten/kota.
Tantangan pertama yang harus dihadapi oleh para pengelola pendidikan adalah masalah pendanaan. Sebagai ilustrasi, rendahnya kualitas gedung sekolah, terutama SD, merupakan salah satu dampak keterbatasan kemampuan pemerintah dalam memobilisasi dana untuk sektor pendidikan. Di sisi lain, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memberi beban yang sangat berat bagi pemerintah. Pasal 49 menyatakan sebagai berikut:
1.        Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
2.        Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
3.        Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.        Dana pendidikan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5.        Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat I, ayat II, ayat III, dan ayat IV diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

3.        Otonomi Daerah dalam Mengatasi Kesenjangan Sistem Pendidikan di Setiap Daerah
Kesenjangan yang terjadi pada sistem pendidikan di Indonesia memang tidak dapat dipungkiri. Kesempatan belajar bagi setiap anak di seluruh Indonesia tidak sama, begitupun berbagai akses yang dimiliki mereka untuk mengenyam pendidikan yang layak sangat bermacam-macam. Dengan diberlakukannya otonomi daerah diharapkan akan muncul sebuah harapan baru untuk mengatasi masalah pendidikan di setiap daerah seperti kesenjangan sistem pendidikan di Indonesia.
Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, pada kelompok bidang pendidikan dan kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan pemerintah meliputi:
1.      Penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya
2.      Penetapan standar materi pelajaran pokok
3.      Penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik
4.      Penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan
5.      Penetapan persayaratan penerimaan, perpindahan sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa
6.      Penetapan persayaratan peningkatan/zoning, pencarian, pemanfaatan, pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda cagar budaya, serta persyaratan penelitian arkeologi
7.      Pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, danmonumen yang diakui secara internasional
8.      Penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah dan luar sekolah
9.      Pengaturan dan pengembangan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh, serta pengaturan sekolah internasional
10.  Pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia
Menyelenggarakan pemerintahan jarak jauh atau dikenal dengan asas sentralisasi tidak akan efektif, begitupun di dalam dunia pendidikan. Hal ini dikarenakan pemerintah pusat tidak dapat melakukan pengawasan terhadap semua daerah terutama yang jauh dari pusat pemerintahan. Oleh karena itu, diperlukan asas dalam mengelola daerah yang meliputi desentalisasi pelayanan publik/rakyat dan dekonsentrasi. Untuk memudahkan pelayanan pendidikan kepada rakyat/publik, otonomi daerah dapat digunakan. Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya otonomi daerah, akan tercipta suatu otonomi pendidikan yang mampu mengatur sistem pendidikan di suatu daerah sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing.
Indonesia dikenal dengan pluralisme, sehingga sudah saatnya setiap daerah melaksanakan program pendidikan yang terbaik untuk daerahnya. Sedangkan pemerintah pusat membuat regulasi dan memberikan pengawasan serta bertanggung jawab sepenuhnya bagi terlaksana pendidikan nasional tersebut sebaik mungkin. Otonomi pendidikan sangat tepat dilaksanakan, karena persoalan serta kendala terlaksananya program pendidikan di setiap daerah pada umumnya berbeda-beda. Otonomi pendidikan harus dilakukan, mengingat kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah di setiap daerah juga berbeda-beda. Dengan otonomi pendidikan yang dilakukan di setiap daerah, pendidikan di setiap daerah akan semakin berkembang.
Di daerah yang sudah maju seperti di kota-kota besar yang berada di Pulau Jawa yang letaknya dekat pusat pemerintahan Indonesia, sistem pendidikannya berkembang dengan pesat. Sekolah-sekolah umum negeri memiliki fasilitas pendidikan yang memadai dan akses pendidikan yang baik dan mudah. Sistem pendidikan yang diterapkanpun beragam dan dianggap sesuai dengan perkembangan zaman yang menuntut kompetensi yang baik. Sekolah internasional, homeschooling dan sekolah umum negeri yang memiliki sistem pendidikan yang maju seperti kelas internasional dan akselarasi ditawarkan. Setiap orang tua dapat dengan mudah memilih sekolah yang diinginkan denagn sistem pendidikan yang paling tepat atau dianggap cocok untuk anak-anaknya. Sementara itu, di daerah yang terpencil, masih banyak anak yang masih belum mendapatkan pendidikan dengan baik karena kekurangan guru, ruang kelas yang tidak layak dan akses ke sekolah yang sulit ditempuh. Jangankan untuk mengembangkan sistem pendidikan di sekolah, untuk memperbaiki gedung saja dananya tidak ada. Jika hanya mengandalkan perhatian pemerintah pusat, keadaan ini akan terus berlangsung. Oleh karena itu perlu adanya otonomi pendidikan di daerah.
Pembahasan di atas telah menunjukan bahwa otonomi pelaksanaan pendidikan merupakan salah satu jawaban terbaik terlaksananya program pembelajaran masyarakat dari tingkat dasar, menengah pertama, menengah atas maupun perguruan tinggi. Selain itu, kepala daerah memiliki tanggung jawab terhadap kemajuan pendidikan di daerahnya.
Bab III
Penutup
A.      Simpulan
1.        Otonomi daerah merupakan kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
2.        Desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
3.        Arti penting otonomi daerah :
Ø  Untuk terciptanya efisien – efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Ø  Sebagai sarana pendidikan politik
Ø  Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
Ø  Stabilitas politik
Ø  Kesetaraan politik
Ø  Akuntabilitas publik.
4.        Model desentralisasi :
Ø Dekonsentrasi
Ø Delegasi
Ø Devolusi
Ø Privatisasi
5.        Sejarah otonomi daerah di Indonesia tercantum dalam :
Ø UU No. 1 Tahun 1945
Ø UU No. 22 Tahun 1948
Ø UU No. 1 Tahun 1957
Ø UU No. 18 Tahun 1965
Ø UU No. 5 Tahun 1975
Ø UU No. 22 Tahun 1999
Ø UU No. 25 Tahun 1999
6.        Hal yang esensial dari otonomi daerah adalah semakin besarnya tanggung jawab daerah untuk mengurus tuntas segala permasalahan yang tercakup di dalam pembangunan masyarakat di daerahnya, termasuk bidang pendidikan.
7.        Pembiayayaan Pendidikan termaktub dalam: Pasal 48 Undang Undang-undang No. 20 Tahun 2003
B.       Saran
Pada dasarnya, teori yang ada dalam Makalah kami ini mengenai Otonomi Daerah, sudah sangat memadai apabila pelaksanaannya di lapangan, benar- benar diImplikasikan. Namun, pada kenyataannya sangat berbanding terbalik. Oleh karena itu, sudah selayaknya pemerintah lebih memprioritaskan PELAKSANAAN, dari pada sekedar WACANA belaka.


Daftar Pustaka
Bisri, I. (2004). Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-prinsip dari implementasi hukum di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mubarak, Z., et al. (2008). Mata kuliah pengembangan kepribadian terintegrasi: buku ajar III manusia, akhlak, budi pekerti & masyarakat. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.








[1] M. Turner dan D. Hulne (dalam Teguh Yuwono, ed., 2001,h.27)
[2] Shahid Javid Burki dkk (dalam ebidem)
[3] The Liang Gie sebagai berikut (Jose Riwu Kaho, 2001,h.8)
[4] Suyanto, 2006
[5] Jalal dan Supriadi, 2001

0 komentar: