Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak,
wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka
pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Sedangkan
yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat.
Kondisi
umum sektor pendidikan di Indonesia ditandai oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM), sekitar 58%
dari tenaga kerja Indonesia hanya berpendidikan
Sekolah Dasar (SD) atau kurang. Pada saat yang sama, hanya 4% dari tenaga kerja yang berpendidikan tinggi.
Dalam
kondisi demikian itulah otonomi daerah (termasuk di dalamnya sektor pendidikan)
dilaksanakan. Di era otonomi daerah, urusan pendidikan dari tingkat TK hingga
SLTA menjadi tanggung jawab daerah, hanya perguruan tinggi yang masih dipegang
Pusat. Jelas bahwa masa depan pendidikan sangat tergantung pada kemampuan Pemda
dalam mengelola sektor pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Setelah uraian
Latar belakang di atas, maka kami dapat membuat Rumusan Masalah, yaitu: “Bagaimana
Konsep Otonomi daerah, dan bagaimana Pola pembiayaan dalam sektor pendidikan,
serta Otonomi Daerah dalam Mengatasi
Kesenjangan Sistem Pendidikan di Setiap
Daerah?”
Bab II
Pembahasan
1.
Konsep Otomi Daerah
A.
Arti Otonomi Daerah
Berbagai definisi tentang desentralisasi dan otonomi
daerah telah banyak dikemukakan oleh pakar sebagai bahan perbandingan dan
bahasan dalam upaya menemukan pengertian yang mendasar tentang pelaksanaan
otonomi daerah sebagai manifestasi desentralisasi. Otonomi dalam makna sempit
dapat diartikan sebagai mandiri. Sedangkan dalam makna yang lebih luas
diartikan sebagai “berdaya”. Jadi, Otonomi
Daerah adalah kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan
keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu
mencapai kondisi tersebut maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk
melakukan apa saja secara mandiri tanpa tekanan dari luar.
Yang dimaksud dengan desentralisasi adalah transfer
kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari
seseorang atau agen pemerintah pusat kepada beberapa individu atau agen lain
yang lebih dekat kepada publik yang dilayani. Landasan yang mendasari transfer
ialah teritorial dan fungsional.[1]
Menggunakan istilah desentralisasi untuk menunjukkan
adanya proses perpindahan kekuasaan politik fiskal dan administratif kepada
unit pemerintah sub nasional. Oleh karena itu yang terpenting adalah adanya
pemerintah daerah yang terpilih melalui pemilihan lokal (elected sub-national
goverment). Dan jika tidak, maka negara tersebut tidak dianggap sudah
terdesentralisasikan. Jadi, desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan dan
tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.[2]
B. Arti Penting Otonomi Daerah – Desentralisasi
Ada beberapa alasan mengapa kebutuhan terhadap
desentralisasi di Indonesia saat ini dirasakan sangat mendesak. Yaitu karena:
1.
Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat
terpusat di Jakarta. Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah lain di
lalaikan.
2.
Pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata.
3.
Kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara
satu daerah dengan daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu daerah
berkembang pesat sekali, sedangkan pembangunan di banyak daerah masih lamban
dan bahkan terbengkalai.
Sementara itu, ada alasan lain yang didasarkan pada
kondisi ideal, sekaligus memberikan landasan filosofis bagi penyelenggaraan
pemerintah daerah (desentralisasi), yaitu:[3]
1.
Dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan,
desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak
saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
2.
Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi
dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam
pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi.
3.
Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan
mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk
mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk
diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan pada daerah.
4.
Dari sudut kultur,
desentralisasi perlu diadakan supaya adanya perhatian sepenuhnya ditumpukan
kepada kekhususan sesuatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan
ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.
5.
Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi,
desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan
secara langsung dapat membantu pembangunan tersebut.
C. Visi Otonomi Daerah
1.
Politik
Karena otonomi adalah buah dari kebijakan
desentalisasi dan demokrasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk
membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara
demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang respontif
terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara mekanisme pengambilan
keputusan yang taat pada asas pertanggung jawaban publik.
2.
Ekonomi
Otonomi daerah disatu pihak harus menjamin lancarnya
pelaksanaan kebijakan. Ekonomi didaerah, dan dipihak lain terbukanya peluang
bagi pemerintahan daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk
mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi didaerahnya.
3.
Sosial dan budaya
Otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi
menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama memelihara
nilai-nilai lokal yang dipandang kondusif dalam menciptakan kemampuan
masyarakat untuk merespon dinamika kehidupan disekitarnya.
Berdasarkan visi ini, maka konsep dasar otonomi daerah
yang kemudian melandasi lahirnya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999,
merangkum hal-hal berikut ini:
1.
Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan
dalam hubungan domestik kepada daerah.
2.
Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat lokal
dalam pemilihan dan penetapan kepala Daerah.
3.
Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan
kultur demokrasi demi menjamin tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang
berkualifikasi tinggi dengan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula.
4.
Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan
eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih
sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan, setara
dengan beban tugas yang dipikul, selaras dengan kondisi daerah serta lebih
responsif terhadap kebutuhan daerah.
5.
Peningkatan efisien administrasi keuangan darah serta
pengaturan yang lebih jelas atas sumber-sumber pendapatan negara dan daerah,
pembagian revenue (pendapatan) dari sumber penerimaan yang berkait dengan
kekayaan alam, pajak dan retribusi serta tata cara dan syarat untuk pinjaman
dan obligasi daerah.
6.
Perwujudan desentralisasi fiskal dari pemerintahan
pusat yang bersifat alokasi subsidi berbentuk block gran, peraturan pembagian
sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah untuk
menetapkan prioritas pembangunan serta optimalisasi upaya pemberdayaan
masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang ada.
D. Model Desentralisasi
1.
Dekonsentrasi
Desentralisasi dalam bentuk dekonsentrasi
(deconcentration), menurut Rondinelli pada hakikatnya hanya merupakan pembagian
kewenangan dan tanggung jawab administratif antara departemen pusat dengan
pejabat pusat dilapangan tanpa adanya penyerahan kewenangan untuk mengambil
keputusan atau keleluasan untuk membuat keputusan.
Rondinelli selanjutnya membedakan dua tipe dekonsentrasi yaitu :
Rondinelli selanjutnya membedakan dua tipe dekonsentrasi yaitu :
Ø Field
administration (administrasi lapangan). Pejabat lapangan diberi keleluasaan
untuk mengambil keputusan seperti merencanakan, membuat keputusan-keputusan
rutin dan menyesuikan pelaksanaan kebijaksanaan pusat dengan kondisi setempat.
Ø Local
administrasion (administrasi lokal). Terdiri dari dua tipe yaitu integrated
local administration (administrasi lokal yang terpadu) dan unintegrated local
administration (administrasi lokal yang tidak padu). Dalam tipe integrated
local administration, tenaga-tenaga dari departemen pusat yang ditempatkan
didaerah berada langsung di bawah perintah dan supervisi kepala daerah yang
diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat.
2.
Delegasi
Delegation to semi autonomus sebagai bentuk kedua yang
disebutkan oleh Rondinelli adalah pelimpahan keputusan dan kewenangan untuk
melakukan tugas-tugas khusus suatu organisasi yang tidak secara langsung berada
dibawah pengawasan pemerintah pusat. Delegasi menurut Litvack merujuk kepada
sebuah situasi dimana pemerintah pusat mentrasfer tanggung jawab
(responsibility) pengambilan keputusan dan fungsi administrasi publik kepada
pemerintah daerah atau kepada organisasi semi otonomi yang sepenuhnya tidak
dikendalikan oleh pemerintah pusat akan tetapi pada akhirnya tetapi pada
akhirnya tetap bertanggung jawab (accountable) kepadanya.
3.
Devolusi
Konsekuensi dari devolusi adalah pemerintah pusat
membentuk unit-unit pemerintahan diluar pusat dengan menyerahkan sebagian
fungsi-fungsi tertentu kepada unit-unit itu untuk dilaksanakan secara mandiri.
4.
Privatisasi
Privatisasi adalah suatu tindakan pemberian kewenangan
dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta dan swadaya masyarakt,
tetapi dapat pula merupakan peleburan badan Pemerintah menjadi badan usaha
swasta.
2.
Pola
pembiayaan dalam sektor pendidikan
Pasca Reformasi tahun 1998, membawa perubahan fundamental dalam sistem
pendidikan nasional. Perubahan sistem pendidikan tersebut mengikuti perubahan
sistem pemerintah yang sentralistik menuju desentralistik atau yang lebih
dikenal dengan otonomi pendidikan dan kebijakan otonomi nasional itu
mempengaruhi sistem pendidikan Indonesia.[4]
Sistem pendidikan Indonesia pun menyesuaikan dengan
model otonomi. Kebijakan otonomi di bidang pendidikan (otonomi pendidikan)
kemudian banyak membawa harapan akan perbaikan sistem pendidikan di Indonesia
di masa akan datang.
Implementasi Kebijakan Otonomi daerah yang didasarkan
pada UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, yaitu memutuskan suatu
keputusan dan atau kebijakan secara mandiri dimana kewenangan yang dulu berada
di pusat sekarang telah diserahkan kepada daerah dalam hal ini propinsi dan
kabupaten/kota. Pemberian otonomi ini dimaksudkan untuk lebih memandirikan
daerah dan memberdayakan masyarakat sehingga lebih leluasa dalam mengatur dan
melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri. Pemberian otonomi yang luas
dan bertanggung jawab dilaksanakan dengan berdasarkan prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, berkeadilan, dan memperhatikan
potensi serta keanekaragaman daerah, dengan titik sentral otonomi pada tingkat
yang paling dekat dengan rakyat, yaitu kabupaten dan kota.
Hal yang esensial dari otonomi daerah adalah semakin
besarnya tanggung jawab daerah untuk mengurus tuntas segala permasalahan yang
tercakup di dalam pembangunan masyarakat di daerahnya, termasuk bidang
pendidikan.[5]
Pembiayaan SMP dan SMA dilakukan melalui Kanwil Diknas
(di tingkat propinsi) dan Kandepdiknas (di tingkat kabupaten/kota). Setelah diberlakukannya
otonomi daerah, seluruh pengelolaan sekolah dari SD hingga SMA menjadi tanggung
jawab Pemda. Konsekwensinya, tidak ada lagi Kanwil dan Kandepdiknas, yang ada
hanyalah Dinas Pendidikan di tingkat kabupaten/kota yang berada di bawah
kendali Pemda, dan Dinas Pendidikan propinsi yang berada di bawah kendali
Pemprop.
Antara Dinas Pendidikan kabupaten/kota dengan Dinas
Pendidikan propinsi tidak ada hubungan hierarkhis, sedangkan propinsi masih
tetap mengemban amanat sebagai perwakilan pemerintah pusat. Dengan konfigurasi
kelembagaan seperti itu, jelas bahwa Pusat tidak lagi punya “tangan” di daerah
untuk mengimplementasikan program-programnya.
Implikasinya, setiap program di tingkat sekolah harus
dilakukan melalui koordinasi dengan Pemda, atau khususnya Dinas Pendidikan
kabupaten/kota.
Dengan konfigurasi kelembagaan yang seperti itu pula,
pola pembiayaan pendidikan mengalami perubahan yang cukup mendasar. Pasal 48
Undang Undang-undang No. 20 Tahun 2003 menjelaskan bahwa:
1.
Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip
keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.
2.
Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat I diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah. Dengan demikian daerah memiliki tanggung jawab yang sangat besar
untuk membiayai sektor pendidikan dengan menggunakan APBD-nya. Dukungan dari
Pusat (dan Propinsi) tetap dimungkinkan, tetapi juga harus melalui mekanisme
APBD, atau paling tidak tercatat di dalam APBD kabupaten/kota.
Tantangan pertama yang harus dihadapi oleh para
pengelola pendidikan adalah masalah pendanaan. Sebagai ilustrasi, rendahnya
kualitas gedung sekolah, terutama SD, merupakan salah satu dampak keterbatasan
kemampuan pemerintah dalam memobilisasi dana untuk sektor pendidikan. Di sisi
lain, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
memberi beban yang sangat berat bagi pemerintah. Pasal 49 menyatakan sebagai
berikut:
1.
Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
2.
Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah
dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
3.
Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah
untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
4.
Dana pendidikan dari Pemerintah kepada pemerintah
daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
5.
Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat I, ayat II, ayat III, dan ayat IV diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah.
3.
Otonomi Daerah dalam Mengatasi Kesenjangan Sistem
Pendidikan di Setiap Daerah
Kesenjangan yang terjadi pada sistem pendidikan di Indonesia memang tidak
dapat dipungkiri. Kesempatan belajar bagi setiap anak di seluruh Indonesia
tidak sama, begitupun berbagai akses yang dimiliki mereka untuk mengenyam
pendidikan yang layak sangat bermacam-macam. Dengan diberlakukannya otonomi
daerah diharapkan akan muncul sebuah harapan baru untuk mengatasi masalah
pendidikan di setiap daerah seperti kesenjangan sistem pendidikan di Indonesia.
Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan
pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, pada kelompok bidang
pendidikan dan kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan pemerintah meliputi:
1.
Penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar,
serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara
nasional, serta pedoman pelaksanaannya
2.
Penetapan standar materi pelajaran pokok
3.
Penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar
akademik
4.
Penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan
pendidikan
5.
Penetapan persayaratan penerimaan, perpindahan
sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa
6.
Penetapan persayaratan peningkatan/zoning, pencarian,
pemanfaatan, pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda
cagar budaya, serta persyaratan penelitian arkeologi
7.
Pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta
pengelolaan museum nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip,
danmonumen yang diakui secara internasional
8.
Penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar
efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah dan luar sekolah
9.
Pengaturan dan pengembangan pendidikan tinggi,
pendidikan jarak jauh, serta pengaturan sekolah internasional
10. Pembinaan
dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia
Menyelenggarakan pemerintahan jarak jauh atau dikenal dengan asas
sentralisasi tidak akan efektif, begitupun di dalam dunia pendidikan. Hal ini
dikarenakan pemerintah pusat tidak dapat melakukan pengawasan terhadap semua
daerah terutama yang jauh dari pusat pemerintahan. Oleh karena itu, diperlukan
asas dalam mengelola daerah yang meliputi desentalisasi pelayanan publik/rakyat
dan dekonsentrasi. Untuk memudahkan pelayanan pendidikan kepada rakyat/publik,
otonomi daerah dapat digunakan. Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Dengan adanya otonomi daerah, akan tercipta suatu otonomi
pendidikan yang mampu mengatur sistem pendidikan di suatu daerah sesuai dengan
kebutuhan daerah masing-masing.
Indonesia dikenal dengan pluralisme, sehingga sudah
saatnya setiap daerah melaksanakan program pendidikan yang terbaik untuk
daerahnya. Sedangkan pemerintah pusat membuat regulasi dan memberikan
pengawasan serta bertanggung jawab sepenuhnya bagi terlaksana pendidikan
nasional tersebut sebaik mungkin. Otonomi pendidikan sangat tepat dilaksanakan,
karena persoalan serta kendala terlaksananya program pendidikan di setiap
daerah pada umumnya berbeda-beda. Otonomi pendidikan harus dilakukan, mengingat
kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah di setiap daerah juga berbeda-beda.
Dengan otonomi pendidikan yang dilakukan di setiap daerah, pendidikan di setiap
daerah akan semakin berkembang.
Di daerah yang sudah maju seperti di kota-kota besar
yang berada di Pulau Jawa yang letaknya dekat pusat pemerintahan Indonesia,
sistem pendidikannya berkembang dengan pesat. Sekolah-sekolah umum negeri
memiliki fasilitas pendidikan yang memadai dan akses pendidikan yang baik dan
mudah. Sistem pendidikan yang diterapkanpun beragam dan dianggap sesuai dengan
perkembangan zaman yang menuntut kompetensi yang baik. Sekolah internasional,
homeschooling dan sekolah umum negeri yang memiliki sistem pendidikan yang maju
seperti kelas internasional dan akselarasi ditawarkan. Setiap orang tua dapat
dengan mudah memilih sekolah yang diinginkan denagn sistem pendidikan yang
paling tepat atau dianggap cocok untuk anak-anaknya. Sementara itu, di daerah
yang terpencil, masih banyak anak yang masih belum mendapatkan pendidikan
dengan baik karena kekurangan guru, ruang kelas yang tidak layak dan akses ke
sekolah yang sulit ditempuh. Jangankan untuk mengembangkan sistem pendidikan di
sekolah, untuk memperbaiki gedung saja dananya tidak ada. Jika hanya
mengandalkan perhatian pemerintah pusat, keadaan ini akan terus berlangsung.
Oleh karena itu perlu adanya otonomi pendidikan di daerah.
Pembahasan di atas telah menunjukan bahwa otonomi
pelaksanaan pendidikan merupakan salah satu jawaban terbaik terlaksananya
program pembelajaran masyarakat dari tingkat dasar, menengah pertama, menengah
atas maupun perguruan tinggi. Selain itu, kepala daerah memiliki tanggung jawab
terhadap kemajuan pendidikan di daerahnya.
Bab
III
Penutup
A.
Simpulan
1.
Otonomi daerah merupakan kemandirian
suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai
kepentingan daerahnya sendiri.
2.
Desentralisasi merupakan pelimpahan
kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
3.
Arti penting otonomi daerah :
Ø
Untuk terciptanya efisien –
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Ø
Sebagai sarana pendidikan politik
Ø
Pemerintahan daerah sebagai
persiapan untuk karir politik lanjutan.
Ø
Stabilitas politik
Ø
Kesetaraan politik
Ø
Akuntabilitas publik.
4.
Model desentralisasi :
Ø Dekonsentrasi
Ø Delegasi
Ø Devolusi
Ø Privatisasi
5.
Sejarah otonomi daerah di Indonesia
tercantum dalam :
Ø UU No. 1
Tahun 1945
Ø UU No. 22
Tahun 1948
Ø UU No. 1
Tahun 1957
Ø UU No. 18
Tahun 1965
Ø UU No. 5
Tahun 1975
Ø UU No. 22
Tahun 1999
Ø UU No. 25
Tahun 1999
6.
Hal yang esensial dari otonomi
daerah adalah semakin besarnya tanggung jawab daerah untuk mengurus tuntas
segala permasalahan yang tercakup di dalam pembangunan masyarakat di daerahnya,
termasuk bidang pendidikan.
7.
Pembiayayaan Pendidikan termaktub
dalam: Pasal 48 Undang Undang-undang No. 20 Tahun 2003
B.
Saran
Pada dasarnya, teori yang ada dalam Makalah kami ini mengenai
Otonomi Daerah, sudah sangat memadai apabila pelaksanaannya di lapangan, benar-
benar diImplikasikan. Namun, pada kenyataannya sangat berbanding terbalik. Oleh
karena itu, sudah selayaknya pemerintah lebih memprioritaskan PELAKSANAAN, dari pada sekedar WACANA belaka.
Daftar
Pustaka
Bisri, I. (2004). Sistem Hukum
Indonesia: Prinsip-prinsip dari implementasi hukum di Indonesia.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mubarak, Z., et al. (2008). Mata
kuliah pengembangan kepribadian terintegrasi: buku ajar III manusia,
akhlak, budi pekerti & masyarakat. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.
0 komentar:
Posting Komentar