Breaking News
Loading...
Jumat, 07 Desember 2012

Info Post

Manajemen Perubahan Perguruan Tinggi Islam
Konsep dan Praksis Prof. Dr. Imam Suprayogo
Oleh:
Fridiyanto, M.Pd.I*

A. Pendahuluan

Albert Einstein mengatakan bahwa sesuatu yang pasti adalah perubahan. Sedangkan Evelyn Waugh menyatakan change is the only evidence of life. Perubahan merupakan keniscayaan bagi kehidupan manusia. Sejarah peradaban manusia selalu ada fase-fase perubahan, begitu juga sejarah peradaban Islam yang selalu menghadapi dan berhadap hadapan dengan perubahan.  Rhenald Kasali dalam bukunya Change, menulis bahwa “tak peduli berapa jauh jalan salah yang anda jalani, putar arah sekarang juga.”

Konteks pendidikan Islam khususnya Perguruan Tinggi Agama Islam yang meliputi IAIN, STAIN, UIN dan PTAIS, harus siap menghadapi perubahan dan perkembangan,  persaingan dan tantangan. Manajemen perubahan untuk sebuah kualitas total seperti tidak bisa ditawar dalam merebut pasar. PTAI harus merubah diri, menghadapi perubahan, dan melakukan perubahan.

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang merupakan sebuah model PTAIN yang sukses dalam melakukan perubahan. Perubahan STAIN Malang menjadi UIN Malang sepertinya telah melangkahi dan jauh meninggalkan PTAIN lain yang ada di Indonesia. Di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Imam Suprayogo, STAIN Malang telah menembus batas imajiner: bahwa sulit bagi STAIN maupun IAIN untuk melakukan perubahan, bahwa sulit untuk mengintegrasikan ilmu umum dan ilmu agama, serta ungkapan pesimisme lainnya mengenai wider mandate.

Prof. Dr. Imam Suprayogo  sebagai pemimpin perubahan di UIN Malang, dapat dikategorikan sebagai pembaharu pendidikan Islam, karena telah menjadi model dan menginspirasi PTAI lainnya untuk mengikuti perubahan yang sukses di UIN Malang, minimal mengikuti kesuksesan perbaikan kualitas kalaulah tidak dapat  berubah menjadi UIN.

Kepemimpinan mutu sangat dibutuhkan dalam sebuah manajemen perubahan. Prof. Dr. Imam Suprayogo  telah menampakkan kualitas kepemimpinan selama beberapa periode memimpin di UIN Malang. Olehkarena itu perlu mempelajari pemikiran, konsep, kepemimpinan dan manajerial Prof. Dr. Imam Suprayogo  agar dapat menjadi referensi untuk praksis  bagi pemimpin PTAI dan warga kampus PTAI dalam melakukan perubahan. Artikel ini mendiskusikan peran kepemimpinan Prof. Dr. Imam Suprayogo  dalam mengelola perubahan di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.


B. Manajemen Perubahan

Terdapat sembilan teori besar tentang manajemen perubahan: 1) Teori Force-Field  dipelopori Kurt Lewin, 1951; 2) Teori Motivasi dari Beckhard dan Harris, 1987; 3) Teori Proses Perubahan Manajerial dari Beer, 1990; 4) Teori-teori Organizational Development dalam perubahan; 5) Teori Perubahan Alfa, Beta, dan Gamma; 6) Teori Contingency dalam manajemen perubahan dari Tannembaum dan Schmidt, 1973; 7) Teori-teori Manajemen Kerjasama; 8) Teori-teori untuk Mengatasi Resistensi dalam Perubahan; 9) Model Accounting-Turaround dari Harlan D.Platt, 1998 (Kasali, 2006).
            Kurt Lewin, Bapak Manajemen Perubahan mengemukakan teori Force-Field  yang mengutamakan kekuatan-kekuatan penekan. Perubahan terjadi karena tekanan terhadap organisasi, individu, atau kelompok. Perubahan yang ingin dilakukan nantinya akan berhadapan dengan keengganan untuk berubah (resistences) maka perlu dikelola dengan memperkuat driving forces agar dapat melemahkan kelompok resisten. Kurt Lewin merumuskan langkah: 1) unfreezing; 2) Changing; 3) Refreezing. Ketiga tahap ini menjelaskan perlunya proses penyadaran tentang pentingnya perubahan yang selanjutnya melakukan perubahan dengan memperlemah resistensi. Pada tahap akhir, diperlukan membawa organisasi kembali kepada keseimbangan.
            Teori Motivasi merumuskan bahwa perubahan akan terjadi kalau terpenuhi syarat-syarat berikut: Manfaat-Biaya, manfaat yang diperoleh lebih besar akibat adanya perubahan. Ketidakpuasan, adanya ketidakpuasan yang kuat dari keadaan sekarang. Persepsi Masa Depan, anggota organisasi melihat adanya harapan yang lebih baik di masa depan. Cara Praktis, meyakini adanya cara yang praktis dilakukan untuk keluar dari situasi sekarang.
            Teori Proses Perubahan Manajerial menyadari perlunya melibatkan banyak orang untuk mewujudkan perubahan yang kendali dipegang oleh pemimpin organisasi yang berusaha untuk memperoleh dukungan, konsensus dan komitmen. Dalam menjalankan misi perubahan, teori ini mengadopsi ilmu-ilmu lain seperti Psikologi, Sosiologi dan Antropologi, sehingga seorang pemimpin memiliki peta psikologis dan budaya organisasi berbasis karakter individu  sehingga dapat meminimalisir stres dan konflik dalam proses perubahan.
            Teori-teori Pengembangan Organisasi dalam Perubahan Organisasi merupakan teori  yang menyentuh dua kategori yang berinteraksi, yaitu manusia dan teknologi. Manusia adalah elemen yang melakukan proses organisasi seperti komunikasi, pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah. Sedangkan teknologi elemen yang mempengaruhi struktur organisasi, seperti desain pekerjaan, metode kerja, dan desain organisasi. Teori ini meyakini bahwa perlu  adanya pendekatan tekno-struktur dan manusia-proses agar intervensi pada dua kategori ini menghasilkan pemenuhan kebutuhan manusia dalam penyelesaian tugas.
            Teori Perubahan Alfa-Beta dan Gamma yang merumuskan bahwa perubahan Alfa adalah perubahan kepercayaan yang terjadi pada satu dimensi waktu yang stabil sebelum dan setelah adanya tim kerja. Sedangkan perubahan Beta yaitu perubahan yang terjadi dalam menilai kepercayaan.  Perubahan Gamma, yaitu perubahan yang terjadi karena manusia atau kelompok melihat adanya faktor yang lebih penting dari yang sedang diamati.
            Teori Contingency dalam Manajemen Perubahan berpendapat bahwa keberhasilan pengambilan keputusan sangat ditentukan oleh gaya yang dianut dalam mengelola dan mengimplementasi perubahan. Teori Contingency (kemungkinan) mengatakan bahwa tidak hanya motivasi, komitmen, dan partisipasi anggota organisasi yang dibutuhkan tetapi perlu menganalisis kesiapan kedua belah pihak.
            Teori Kerjasama, meyakini bahwa perubahan tidak bisa dilakukan tanpa adanya kerjasama dari semua pihak. Teori ini mempelajari, mengapa manusia mau memutuskan untuk bekerjasama dan bagaimana memperoleh kerjasama. Menurut Williams (2002), orang mau bekerjasama, dikarenakan hal berikut: 1) Motivasi memperoleh penghargaan  atau khawatir mendapatkan sanksi; 2) Motivasi kesetiaan terhadap profesi, pekerjaan, atau perusahaan; 3) Motivasi moral, karena dengan bekerjasama dapat diterima secara moral; 4) Motivasi menjalankan keahlian; 5) Motivasi karena sesuai dengan sikap hidup; 6) Motivasi kepatuhan terhadap kekuasaan.
            Teori-teori untuk Mengatasi Resistensi dalam Perubahan menawarkan cara mengatasi resistensi dalam melakukan perubahan. Teori ini mengajukan enam strategi untuk mengatasi resistensi, yaitu: Komunikasi, Partisipasi, Fasilitasi, Negosiasi, Manipulasi, dan Paksaan. Teori ini mempunyai fleksibilitas, bahwa tiap kelompok yang berbeda, maka teori yang digunakan juga berbeda, tergantung tingkat resistensi.
Model Accounting-Turaround  lebih menekankan kepada akuntansi dan hukum. Teori ini menyatakan bahwa tidak semua korporat (organisasi) dapat diselamatkan atau untuk berubah, harus ada persyaratan untuk itu, diantaranya: adanya dukungan dari para stakeholder, masih adanya core business yang mampu mendatangkan cashflow, adanya tim manajemen yang kokoh, sumber-sumber pembiayaan jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Teori Putarhaluan (turnaround) dapat dilakukan oleh organisasi yang mengalami penurunan karena kerugian atau manajerial yang tidak baik. Guna melakukan perbaikan, hal pertama yang dilakukan adalah analisis keuangan organisasi. Model Accounting-Turaround  memang sangat teknis dibandingkan delapan teori sebelumnya yang telah dijelaskan.

C. Cita dan Fakta PTAI

Menurut Prof. Dr. Imam Suprayogo bahwa lulusan Perguruan Tinggi Islam belum memahami sumber ajaran Islam (Al-Qur’an an Hadits); kemampuan berbahasa lulusan PTAI masih rendah, khususnya Bahasa Arab dan Bahasa Inggris; lulusan PTAI masih kurang dalam komunikasi lisan dan tulisan; lulusan PTAI belum total menjalankan peran kepemimpinan umat; lulusan PTAI masih menghadapi kesulitan merebut lapangan kerja yang tersedia; lulusan PTAI masih banyak bergantung (dependensi) terhadap orang lain; lulusan PTAI masih rendah dalam menguasai keilmuan yang ditekuninya.

Prof. Dr. Imam Suprayogo menyimpulkan  permasalahan tersebut dikarenakan beberapa faktor berikut: a) Pengajaran dengan pendekatan kuliah sistem SKS; b) pengajaran masih bersifat formalitas yang bersifat perkuliahan dan ujian; c) masih minimnya pelatihan dan kegiatan akademis; d) hubungan dosen dan mahasiswa yang masih bersifat formal dan proses pembelajaran yang masih seperti di SMA; e) masih kurangya riset-riset yang dilakukan.

Secara tegas Prof. Dr. Imam Suprayogo mengidentifikasi bahwa rendahnya kualitas PTAI dapat dilihat dari dua elemen, yaitu dosen dan mahasiswa. Dosen PTAI berstatus pegawai negeri mempengaruhi motivasi kerja mereka, selain Dosen Berstatus Pegawai Negeri; Imbalan kurang mencukupi sehingga kekampus hanya sebatas menjalankan tugas mengajar dan menilai hasil kerja mahasiswa. Sehingga yang terjadi antara dosen dengan mahasiswa masih transaksional. Dosen yang memiliki otonomi tidak diimbangi dengan supervisi yang efektif, selain itu tidak adanya kompetisi dan seleksi terhadap dosen-dosen berprestasi membuat dosen cepat merasa puas dengan prestasi yang minimal.

Sedangkan mahasiswa, menurut Prof. Dr. Imam Suprayogo, mahasiswa kurang terlihat memiliki target dan orientasi pencapaian kualitas; Kegiatan mahasiswa masih sebatas kuliah secara rutin (kuliah, ujian, lulus dan wisuda); Tidak terjadinya  kompetisi untuk mengembangkan prestasi; Masih kurangnya kesadaran terhadap tuntutan profesi masa depan; dan Masih banyak mahasiswa mempercayai ijazah adalah bekal hidup. Faktor-faktor ini membuat mahasiswa banyak melakukan aktifitas yang sifatnya pelarian, seperti politik praktis, dan budaya hedonis.

Tidak cukup hanya dengan permasalahan dosen dan mahasiswa tersebut, Prof. Dr. Imam Suprayogo menambahkan bahwa lambannya perubahan dan peningkatan mutu di PTAI dikarenakan faktor-faktor berikut: Kebersihan dan keindahan kampus belum berhasil dijaga secara maksimal, Bernuansa kantor dan suasana serba formal, Nuansa  keberagamaan kurang terasa, Wajah kampus belum memberikan kesan sebagai taman ilmu, Belum berhasil terbangun rasa percaya diri dan bangga terhadap kampusnya.

Sedangkan dalam aspek pelayanan, PTAI masih menampakkan hal berikut: Birokratis, kaku dan formal; Suasana menunggu petunjuk, petunjuk pelaksanaan  dan petunjuk teknis; Bersifat rutin dan (sebagai akibatnya) membosankan; Kehangatan dalam kegiatan berfikir, berdzikir dan bersilaturrahim belum berhasil tercipta secara maksimal. Guna menjawab tantangan-tantangan itu, secara sederhana  Prof. Dr. Imam Suprayogo menginginkan Perguruan Tinggi Agama Islam memiliki profil berikut:
         Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam harus mampu memahami sumber ajaran Islam (Al Qur’an dan Hadits).
         Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam minimal mampu menguasai Bahasa Arab dan Bahasa Inggris.
         Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam mampu berkomunikasi secara lisan dan tulisan dengan baik.
         Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam mampu menjadi pemimpin kegiatan spiritual (Imam Sholat, Khutbah, Haji).
         Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam mampu hidup mandiri secara Ekonomi, Sosial dan Budaya.
         Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam harus mampu menguasai bidang ilmu pilihannya.
         Kampus menggambarkan penampilan Islami.
         Para guru besar dan dosen menyandang kewibawaan sebagai ilmuwan.
         Kepemimpinan dan manajemennya terbuka dan  dinamis.
         Orientasi kegiatan semua pihak ke arah pengembangan ilmu.
         Pelayanan cepat, tepat, profesional dan santun.
         Prestasi keseluruhan unggul.

Keinginan Prof. Dr. Imam Suprayogo terhadap profil Perguruan Tinggi Agama Islam (UIN Malang) tersebut bisa dipastikan sama dengan IAIN di Indonesia. Namun dalam praksisnya UIN Malang lebih sukses mewujudkan profil ideal tersebut.

D. Konsep dan Praksis  Perubahan

Menurut Prof. Dr. Imam Suprayogo Perubahan akan terjadi apabila: Ada ide atau keinginan untuk berubah, Gerakan harus dimulai oleh pemimpinnya, Didukung oleh sumber daya  kekuatan pengubah, Ada pemimpin untuk menggerakkan perubahan, Ada dukungan semua pihak. Selanjutnya, bahwa perubahan perlu didukung sumber daya kekuatan pengubah, yaitu: Orang-orang yang memiliki integritas tinggi terhadap perubahan, Suasana kebersamaan, Orang-orang  yang menyandang jiwa berkorban tinggi, Orang-orang  yang  lebih berorientasi pada  ilmu daripada  ideologi.

Dalam konteks pembaharuan yang dilakukan di UIN Malang, maka Prof. Dr. Imam Suprayogo melakukan hal berikut: Memahami internal kampus secara menyeluruh dan mendalam, Memahami apa yang telah dilakukan oleh orang lain, Memahami peluang dan kekuatan serta upaya membangunnya, Memahami cara orang lain menjadi sukses, bukan sekedar kesuksesan orang lain, Membangun keyakinan dan kepercayaan terhadap kampus ke depan, Merumuskan visi dan misi serta tradisi yang akan dikembangkan, Melakukan konsolidasi internal maupun eksternal, dan Membangkitkan seluruh komponen yang ada.

Sebagai seorang Sosiolog, Prof. Dr. Imam Suprayogo sangat menyadari pentingnya pola interaksi dengan civitas akademika. Maka dalam memulai perubahan, aspek psikologi sosial (civitas akademika) selalu menjadi perhatiannya dengan melakukan: mengintensifkan silaturrahmi, Menjaga kebersamaan, cita-cita dan visi  hari depan, Memberikan kepercayaan dan peran-peran secara proporsional,serta  Menyusun rencana-rencana konkrit.
E. Manajemen Syari’ah

Manajemen Syari’ah adalah  perilaku yang terkait dengan nilai keimanan dan ketauhidan (Hafidhuddin, 2003). Jika kegiatan seseorang yang tergabung dalam sebuah lembaga didasari oleh nilai tauhid, maka dia menyadari bahwa adanya pengawasan dari Allah. Konsep Manajemen Syari’ah inilah yang diterapkan oleh Prof. Dr. Imam Suprayogo dalam melakukan perubahan STAIN Malang menjadi UIN Malang, dan masih diterapkan selama memimpin UIN Malang. Pada gambar Model Manajemen Pengembangan  Kampus STAIN Malang / UIN Malang, dapat dilihat bahwa segala aktifitas Civitas akademika, Visi dan Misi, Profil lulusan bermuara kepada ridho Allah SWT. Secara transeden segala aktifitas perubahan selalu didasarkan dan diinspirasikan pada prinsip Iman dan Amal saleh. Pada tahap empiris, aktifitas membaca adalah salah satu langkah penting dalam membangun kesadaran yang akan menginspirasi kebangkitan. Konsep thoharoh (bersuci) dipaparkan oleh Prof. Dr. Imam Suprayogo dengan maksud mengeliminir resistensi (budaya negatif) terhadap perubahan (budaya positif). Tahap yang penting adalah konsep jihad (perjuangan), dimana dibutuhkan sebuah pengagungan tehadap Allah SWT, sabar, rela berkorban, serta kesungguhan dalam mencapai cita-cita perjuangan. Hal penting berikutnya adalah kebersamaan.
Budaya kampus yang ingin dibangunnya, seperti: Menghargai dan memuliakan ilmuwan, Ikhlas menjadikan seluruh warga kampus sebagai teman perjuangan hidup, Menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan istiqomah, Dinamis, inovatif sebagaimana tuntutan masyarakat yang selalu berubah. Pola yang dibangun ini sangat memperhatikan aspek humanisme dengan selalu menanamkan spirit ajaran Islam.
            Tidak hanya dalam tataran konsep, permasalahan pembangunan fisik juga menjadi perhatian, diantaranya adalah adalah perlunya ada rencana strategis pembangunan: Sumber daya manusia yang handal, Mesjid, Ma’had, Perpustakaan, Laboratorium, Ruang belajar, Perkantoran (pelayanan), Pusat seni dan olahraga. Cita-cita akhir dari konsep pengembangan  yang digagas Prof. Dr. Imam Suprayogo adalah profil lulusan yang memilki kedalaman spiritual, keagungan akhlaq, keluasan ilmu, dan kematangan profesional. Nilai-nilai manajerial yang Islami sangat kental menjadi budaya kampus.

Gambar
Model Manajemen Pengembangan
Kampus STAIN Malang / UIN Malang
Ridho Allah SWT


F. Filosofi Kepemimpinan

Berlatar belakang budaya Jawa, membuat Prof. Dr. Imam Suprayogo meresapi kearifan lokal budaya Jawa dan menerapkan dalam gaya kepemimpinannya, baginya seorang pemimpin haruslah berwatak: (a) Menang  tanpo ngasorake; (b) Sugih tanpo bondo; (c) Sekti tanpo aji-aji; (d) Nglurug tanpo bolo; (e) Kayungyun dening pepoyaning kautaman. Filosofi tersebut berarti, menang tanpa membuat lawan merasa kalah, kaya tanpa benda, sakti tanpa mantra-mantra, mendatangi lawan sendirian, dan selalu berpegang teguh pada tujuan utama.
Bagi Prof. Dr. Imam Suprayogo, seorang pemimpin sejati harus menyadari bahwa bawahan adalah aset utama lembaga yang bukan hanya sekedar alat, tetapi adalah manusia yang memiliki martabat, untuk itulah bawahan harus diakui keakuannya. Bawahan membutuhkan perhatian yang berhak mendapatkan keadilan, kejujuran dan masa depan yang lebih baik. Seorang pemimpin harus memilki teknik yang praktis dalam bergaul dengan bawahannya sehingga membuat mereka nyaman dengan atasan sehingga merasa tugas berikutnya dapat mengaktualisasi dirinya. Kepercayaan dan pendelegasian kepada bawahan adalah kunci agar keterlibatan mereka lebih total dan dapat bertanggung jawab. Pada dasarnya bawahan tidak suka dicurigai, diberi predikat tidak mampu dan bodoh, apalagi tanpa ada bimbingan atasan ketika menghadapi kesulitan dalam mengemban tugas lembaga.

Sebagai seorang pemimpin perubahan, Prof. Dr. Imam Suprayogo menganjurkan kepada civitas akademika untuk berjiwa besar, kaya akan ide prakarsa dan mau melaksanakannya, harus berani menanggung segala resiko, siap berkorban untuk kemajuan, memilki integritas tinggi terhadap lembaga, kepemimpinan dan manajerial modern, beriman kukuh, ber-Islam, ber-Ikhsan dalam segala aktifitasnya.

Kegagalan pencapaian tujuan organisasi sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan. Kepemimpinan yang lemah akan membuat lembaga kurang dinamis bahkan stagnan berdampak pada rendahnya kualitas produk dan kaya akan masalah, menurunnya kepercayaan masyarakat, kesulitan menghimpun kekuatan, potensi, dan pada akhirnya adalah sulit bagi pengembangan organisasi. Olehkarena itu seorang pemimpin harus menghindari kepemimpinan yang terlampau hirarkis dan birokratis sehingga mempersulit persoalan yang semestinya mudah diselesaikan. Seorang pemimpin jangan bersifat tertutup terhadap informasi, sehingga informasi bisa menyebar rata. Kepemimpinan lembaga pendidikan yang kental nuansa politis harus dihindari karena akan menyebabkan konflik-konflik disfungsional. Seorang pemimpin harus tanggap terhadap perubahan, bersikap visioner dengan tidak hanya melakukan benchmarking internal melainkan juga melakukannya  dengan kompetitor eksternal, naluri ekspansif diperlukan untuk pengembangan lembaga.

G. Perubahan Paradigma

Menurut Prof. Dr. Imam Suprayogo fungsi-fungsi manajemen: Merencanakan  Mengkomunikasikan, Mengkoordinasi, Memotivasi, Mengendalikan  Mengarahkan, Memimpin sudah menjadi konsep yang tradisional dan tidak cukup lagi dalam mengatasi perubahan. Maka perlu ada perubahan konsep yang moderat sebagai berikut:  Membuat Mampu (Enabling), Memperlancar (Facilitating), Berkonsultasi (Consulting), Bekerjasama (Collaborrating), Membimbing (Mentoring), Mendukung (Supporting).
            Perubahan paradigma berpikir akan mempengaruhi teknis pelaksanaan dalam manajerial PTAI. Meretas kekakuan konsep manajemen tradisional, Prof. Dr. Imam Suprayogo menawarkan gagasan perubahan paradigma sebagaimana dalam tabel Perubahan Paradigma berikut.
Tabel
Perubahan Paradigma

Manajemen Tradisional
Manajemen Perubahan
Stabilitas
Perubahan tidak Berkesudahan
Hirarkhis birokratis
Leadership dari setiap orang
Organisasi yang kaku
Fleksibilitas permanen
Pengendalian melalui aturan
Melalui visi dan nilai
Informasi dijaga dan tertutup
Information Sharing
Hanya menerima yang pasti
Menerima keraguan
Reaktif, penghindaran resiko
Proaktif, keberanian beresiko
Berfokus intern organisasi
Berfokus lingkungan kompetitif
Keunggulan bertahan
Inovasi keunggulan kompetitif yg berubah terus menerus
Bersaing pada pasar yang ada
Bersaing pada pasar masa depan kontemporer

Berdasarkan tabel perubahan paradigma tersebut dapat dilihat bahwa kekakuan dan resistensi organisasi lembaga PTAI adalah penyebab lambatnya terjadi perubahan. Maka Prof. Dr. Imam Suprayogo meretasnya dengan manajerial yang lebih transparan, akomodatif, namun tetap berprinsip dan visioner.

4. Konsep Pohon Ilmu UIN Malang

Permasalahan dikotomi ilmu agama dan non agama bukanlah masalah baru, pada masa klasik permasalahan ini sudah ditulis oleh Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun. Sains modern Barat mengenyampingkan status keilmuan keagamaan, padahal ilmu agama tidak bisa menghindari membicarakan Tuhan, malaikat, dan permasalahan ghaib lainnya (Kartanegara, 2005: 20). Menurut Kartanegara ilmu-ilmu sekuler positivistik yang dikenalkan ke dunia Islam lewat imperialisme Barat telah membuat dikotomi yang sangat kuat antara ilmu agama dan ilmu positivistik. Permasalahan dikotomi inilah yang masih berlangsung saat ini di sisem pendidikan Indonesia, khususnya di pesantren dan PTAI.

Integrasi ilmu yang berlandaskan tauhid serta menggali kembali khasanah keilmuan klasik Islam dan penelitian-penelitian Barat maka integrasi ilmu dapat dilakukan. Menurut Faruqi, Islamisasi ilmu dimaksudkan untuk memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern sekuler dan Islam yang relegius kedalam sebuah model yang utuh, maka diperlukan hal berikut: a) Penguasaan disiplin ilmu modern; b)Penguasaan khasanah warisan Islam; c) Membangun relevansi Islam dengan disiplin ilmu modern; d) Memadukan nilai dan khasanah warisan Islam secara kreatif dengan ilmu modern; e) Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah (Faruqi, 1995).

Al-Faruqi mengajukan 12 langkah untuk mewujudkan Islamisasi ilmu: a) Penguasaan disiplin ilmu modern; b) Survei disiplin ilmu; c) Penguasaan khasanah Islam; d) Penguasaan khasanah ilmiah Islam; e) Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin ilmu; f) penilaian kritis terhadap disiplin keilmuan modern dan tingkat perkembangannya di masa kini; g) Penilaian kritis terhadap khasanah Islam dan tingkat perkembangannya disaat ini; h) Survei permasalahan yang dihadapi umat Islam; i) Survei permasalahan yang dihadapi umat manusia; j) Analisa sintesa kreatif dan sintesa; k) Penuangan kembali disiplin ilmu modern kembali ke dalam kerangka Islam; l) Penyebaran ilmu-ilmu yang telah di Islamkan.

Secara tegas Al-Faruqi mengatakan bahwa umat Islam tidak bisa diharapkan untuk bangkit kembali  jika sistem pendidikannya tidak dirubah dan kesalahannya tidak dikoreksi. Bagi Al-Faruqi yang diperlukan adalah pembaharuan terhadap sistem lembaga pendidikan Islam. Dualisme dalam sistem pendidikan Islam yang berlangsung hingga saat ini harus dihilangkan, dan berupaya mengintegrasikannya dengan spirit Islam yang juga berfungsi sebagai bagian integral dari program ideologis Islam (Faruqi, 1998)

Upaya integrasi ilmu inilah yang menjadi core business UIN Malang dengan konsep pohon ilmu yang digagas Prof. Dr. Imam Suprayogo. Konsep pohon ilmu ini menjadi filosofi bahkan menjadi branding UIN Malang untuk memperlihatkan kekhasan pengembangan ilmu di UIN Malang. Prof. Dr. Imam Suprayogo mengilustrasikan bahwa Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Pancasila, Filsafat, Ilmu Alamiah Dasar dan Ilmu Sosial dasar sebagai akar. Sedangkan  Alqur’an, Al-Sunnah, Sirah Nabawiyah, Pemikiran Islam, Masyarakat Islam adalah sebagai pohon. Selanjutnya Ilmu-ilmu: Ekonomi, Psikologi, Hukum, Teknik, MIPA, Bahasa dan sastra, Tarbiyah sebagai cabang pohon.

G. Kesimpulan
Konsep dan praksis manajemen perubahan STAIN Malang menjadi UIN Malang yang dilakukan oleh Prof. Dr. Imam Suprayogo selalu berdasarkan pada ajaran Islam dengan memperhatikan aspek humanisitis. Kepemimpinan thingking out of box adalah faktor utama bagi kesuksesan Prof.Dr. Imam Suprayogo dalam memimpin proses perubahan dan membuat perubahan di UIN Malang. Kesuksesan UIN Malang dikarenakan adanya core business (integrasi ilmu) dan memiliki branding image (Pohon Ilmu UIN Malang dan Kampus Islami).

BAHAN BACAAN


Didin Hafidhuddin, Manajemen Syari’ah dalam Praktik. Jakarta: Gema Insani Press. 2003

Faruqi, Ismail, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka. 1995.
___________, Jihad Intelektual, terj. Priyono, Surabaya: Risalah Gusti. 1998

Mulyadhi Kartanegara, Integrasi ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Jakarta: Arasy Mizan

R. Eko Indrajit, Manajemen Perguruan Tinggi Modern. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2006

Rhenald Kasali, Change!. Jakarta: Gramedia. 2006


* Dosen Mata Kuliah Perencanaan Strategik Pendidikan di Program Studi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara.


0 komentar: