Breaking News
Loading...
Jumat, 07 Desember 2012

Info Post

Bab I
Pendahuluan
    A.      Latar Belakang Masalah
Dalam kegiatan Perkantoran, banyak hal yang perlu diperhatikan untuk menciptakan keefektivan serta keefisienan di dalamnya. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan coba memahas salah satu hal terpenting dalam dunia perkantoran, yaitu Komunikasi Dalam Organisasi.
Sebelum membahas pengertian komunikasi organisasi sebaiknya kita uraikan terminologi yang melekat pada konteks komunikasi organisasi, yaitu komunikasi dan organisasi.  Komunikasi berasal dari bahasa latin “communis” atau ‘common” dalam Bahasa Inggris yang berarti sama. Berkomunikasi berarti kita berusaha untuk mencapai kesamaan makna, “commonness”.  Atau dengan ungkapan yang lain, melalui komunikasi kita mencoba berbagi informasi, gagasan atau sikap kita dengan partisipan lainnya. 
Kendala utama dalam berkomunikasi adalah seringkali kita mempunyai makna yang berbeda terhadap lambang yang sama.
Manusia di dalam kehidupannya harus berkomunikasi, artinya memerlukan orang lain dan membutuhkan kelompok atau masyarakat untuk saling berinteraksi. Hal ini merupakan suatu hakekat bahwa sebagian besar pribadi manusia terbentuk dari hasil integrasi sosial dengan sesama dalam kelompok dan masyarakat. Di dalam kelompok/organisasi itu selalu terdapat bentuk kepemimpinan yang merupakan masalah penting untuk kelangsungan hidup kelompok, yang terdiri dari pemimpin dan bawahan/karyawan. Di antara kedua belah pihak harus ada two-way-communications atau komunikasi dua arah atau komunikasi timbal balik, untuk itu diperlukan adanya kerja sama yang diharapkan untuk mencapai cita-cita, baik cita-cita pribadi, maupun kelompok, untuk mencapai tujuan suatu organisasi.
Kerja sama tersebut terdiri dari berbagai maksud yang meliputi hubungan sosial/kebudayaan. Hubungan yang terjadi merupakan suatu proses adanya suatu keinginan masing-masing individu, untuk memperoleh suatu hasil yang nyata dan dapat memberikan manfaat untuk kehidupan yang berkelanjutan.
B.       Rumusan Masalah
a.       Teori Umum Komunikasi Dalam Organisasi
b.      Teori Khusus Komunikasi Dalam Organisasi



Bab II
Analisa
Organisasi atau Organization bersumber dari kata kerja bahasa Latin Organizare yang memiliki defenisi:to form as or into a whole consisting of interdependent or coordinated parts”yang artinya: “membentuk sebagai atau menjadi keseluruhan dari bagian- bagian yang saling bergantung atau terkoordinasi”.
Banyak para tokoh yang mendefenisikan Organisasi, di antaranya adalah:
a.         "a stable system of individuals who work togather to achieve, through a hierarchy of ranks and division of labour, common goals"(Suatu sistem yang mapan dari mereka yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, melalui suatu jenjang kepangkatan dan pembagian tugas)[1]
b.        Organization is the means by which management coordinates material and human resources through the design of a formal structure of tasks and authority (Organisasi adalah sarana dimana manajemen mengkoordinasikan sumber bahan dan sumber daya manusia melalui pola struktur formal dari tugas-tugas dan wewenang)[2]
Menurut Perspektif kami, bahwa banyak hal yang berkolaborasi dengan Organisasi yang dalam hal ini berpengaruh penting dalam kegiatan perkantoran. Maka dari itu kami memiliki argumen bahwa:
1.        Tujuan organisasi TIDAK MUNGKIN tercapai tanpa manajemen.
2.        Manajemen TIDAK MUNGKIN ada tanpa organisasi.
3.        Manajemen ada, jika ada tujuan yang akan dicapai atau diselesaikan.
4.        Korelasi antara Ilmu Komunikasi dengan organisasi terletak pada peninjauannya yang terfokus kepada manusia-manusia yang terlibat dalam mencapai tujuan organisasi.
Tujuan utama dalam mempelajari komunikasi adalah memperbaiki organisasi. Memperbaiki organisasi biasanya ditafsirkan sebagai “memperbaiki hal-hal untuk mencapai tujuan manajemen”. Dengan kata lain, orang mempelajari komunikasi organisasi untuk menjadi menajer yang lebih baik.
Sebagian penulis berpendapat bahwa manajemen adalah komunikasi. Seringkali teori tradisional dan petunjuk mengenai organisasi dan komunikasi organisasi ditulis dari suatu perspektif manajerial dan sangat menekankan suatu pandangan obyektif.
Karenanya, kami memandang studi komunikasi organisasi sebagai landasan kuat bagi karier dalam manajemen, pengembangan sumber daya manusia, dan komunikasi perusahaan, dan tugas-tugas lain yang berorientasikan manusia dalam organisasi.
Komunikasi Organisasi dapat didefinisikan sebagai pertunjukkan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian suatu organisasi tertentu. Suatu organisasi terdiri dari dari unit-unit komunikasi dalam hubungan hierarkis antara yang satu dengan lainnya dan berfungsi dalam suatu lingkungan.
Komunikasi organisasi terjadi kapan pun, setidak-tidaknya satu orang yang menduduki suatu jabatan dalam suatu organisasi menafsirkan suatu pertunjukkan. Karena fokusnya adalah komunikasi di antara anggota-anggota suatu organisasi. Analisi komunikasi organisasi menyangkut penelaahan atas banyak transaksi yang terjadi secara simultan.
Bila kita melihat apa yang terjadi ketika seseorang terlibat dalam komunikasi, kita menemukan bahwa terdapat dua bentuk umum tindakan yang terjadi :
1.        Penciptaan pesan atau, lebih tepatnya, penciptaan pertunjukan bahwa anda membawa sesuatu untuk diperhatikan seseorang atau orang lain, menyebarkan sesuatu sehingga sesuatu tersebut dapat terlihat secara lengkap dan menyenangkan[3].
2.        Penafsiran pesan atau penafsiran pertunjukkan dengan menguraikan atau memahami sesuatu dengan suatu cara tertentu.
Contoh : Ketika anda berpakaian warna merah di pagi hari, anda menciptakan pertunjukkan bagi diri anda sendiri. Anda menempatkan diri anda sendiri, atau setidaknya apa yang anda rasa anda pikirkan mengenai diri anda sendiri, sehingga terpandang jelas. Anda menempatkan diri anda sendiri dalam suatu posisi yang menyenangkan bagi pengamatan tertentu. Pakaian anda, perhiasan, dan hiasan wajah merepresentasikan diri anda sendiri kepada orang lain.
Ada aksioma komunikasi yang berbunyi “seseorang tidak dapat tidak berkomunikasi (A person cannot not communicate)”. [4]
Secara teknis, seseorang tidak dapat menghindari untuk menunjukkan pesan. Apa yang anda tunjukkan atau tempatkan sehingga terlihat jelas memang merepresentasikan anda. Anda adalah “suatu pertunjukkan pesan yang berjalan”. Hal yang sama dapat diterapkan kepada kantor anda, karena Kantor adalah suatu pertunjukkan-pesan bagi mereka yang mengunjunginya.


Bab III
Pembahasan
A.      Teori Umum Komunikasi Dalam Organisasi
Pada tataran teoritis, paling tidak kita mengenal atau memahami komunikasi dari dua perspektif, yaitu:
1.        Perspektif Kognitif.  Komunikasi menurut Colin Cherry, yang mewakili perspektif kognitif  adalah penggunaan lambang-lambang (symbols) untuk mencapai kesamaan makna atau berbagi informasi tentang satu objek atau kejadian.  Informasi adalah sesuatu (fakta, opini, gagasan) dari satu partisipan kepada partisipan lain melalui penggunaan kata-kata atau lambang lainnya.  Jika pesan yang disampaikan diterima secara akurat, receiver akan memiliki informasi yang sama seperti yang dimiliki sender, oleh karena itu tindak komunikasi telah terjadi.
2.        Perspektif Perilaku. Menurut BF. Skinner dari perspektif perilaku memandang komunikasi sebagai perilaku verbal atau simbolik di mana sender berusaha mendapatkan satu efek yang dikehendakinya pada receiver.  Masih dalam perspektif perilaku, FEX Dance menegaskan bahwa komunikasi adalah adanya satu respons melalui lambang-lambang verbal di mana simbol verbal tersebut bertindak sebagai stimuli untuk memperoleh respons.  Kedua pengertian komunikasi yang disebut terakhir, mengacu pada hubungan stimulus respons antara sender dan receiver.
Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan berbagai pesan organisasi di dalam kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi.[5] Komunikasi formal adalah komunikasi yang disetujui oleh organisasi itu sendiri dan sifatnya berorientasi kepentingan organisasi. Isinya berupa cara kerja di dalam organisasi, produktivitas, dan berbagai pekerjaan yang harus dilakukan dalam organisasi. Misalnya: memo, kebijakan, pernyataan, jumpa pers, dan surat-surat resmi. Adapun komunikasi informal adalah komunikasi yang disetujui secara sosial. Orientasinya bukan pada organisasi, tetapi lebih kepada anggotanya secara individual.
Istilah organisasi berasal dari bahasa Latin organizare, yang secara harafiah berarti paduan dari bagian-bagian yang satu sama lainnya saling bergantung. Di antara para ahli ada yang menyebut paduan itu sistem, ada juga yang menamakannya sarana.
Organisasi sebagai suatu sistem yang mapan dari mereka yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, melalui jenjang kepangkatan, dan pembagian tugas.[6]
Organisasi sebagai sarana dimana manajemen mengoordinasikan sumber bahan dan sumber daya manusia melalui pola struktur formal dari tugas-tugas dan wewenang.[7]
Korelasi antara ilmu komunikasi dengan organisasi terletak pada peninjauannya yang terfokus kepada manusia-manusia yang terlibat dalam mencapai tujuan organisasi itu. Ilmu komunikasi mempertanyakan bentuk komunikasi apa yang berlangsung dalam organisasi, metode dan teknik apa yang dipergunakan, media apa yang dipakai, bagaimana prosesnya, faktor-faktor apa yang menjadi penghambat, dan sebagainya. Jawaban-jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah untuk bahan telaah untuk selanjutnya menyajikan suatu konsepsi komunikasi bagi suatu organisasi tertentu berdasarkan jenis organisasi, sifat organisasi, dan lingkup organisasi dengan memperhitungkan situasi tertentu pada saat komunikasi dilancarkan.
1.        Model Komunikasi Dalam Organisasi
Dalam melakukan komunikasi organisasi  ada 3 (tiga) model dalam komunikasi:[8]
a)      Model komunikasi linier (one-way communication), dalam model ini komunikator memberikan suatu stimuli dan komunikan melakukan respon yang diharapkan tanpa mengadakan seleksi dan interpretasi. Komunikasinya bersifat monolog.
b)      Model komunikasi interaksional. Sebagai kelanjutan dari model yang pertama, pada tahap ini sudah terjadi feedback atau umpan balik. Komunikasi yang berlangsung bersifat dua arah dan ada dialog, di mana setiap partisipan memiliki peran ganda, dalam arti pada satu saat bertindak sebagai komunikator, pada saat yang lain bertindak sebagai komunikan.
c)      Model komunikasi transaksional. Dalam model ini komunikasi hanya dapat dipahami dalam konteks hubungan (relationship) antara dua orang atau lebih. Pandangan ini menekankan bahwa semua perilaku adalah komunikatif. Tidak ada satupun yang tidak dapat dikomunikasikan.
2.        Fungsi Komunikasi Dalam Organisasi[9]
a)      Fungsi informatif. Organisasi dapat dipandang sebagai suatu sistem pemrosesan informasi. Maksudnya, seluruh anggota dalam suatu organisasi berharap dapat memperoleh informasi yang lebih banyak, lebih baik dan tepat waktu. Informasi yang didapat memungkinkan setiap anggota organisasi dapat melaksanakan pekerjaannya secara lebih pasti. Orang-orang dalam tataran manajemen membutuhkan informasi untuk membuat suatu kebijakan organisasi ataupun guna mengatasi konflik yang terjadi di dalam organisasi. Sedangkan karyawan (bawahan) membutuhkan informasi untuk melaksanakan pekerjaan, di samping itu juga informasi tentang jaminan keamanan, jaminan sosial dan kesehatan, izin cuti, dan sebagainya.
b)      Fungsi regulatif. Fungsi ini berkaitan dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam suatu organisasi. Terdapat dua hal yang berpengaruh terhadap fungsi regulatif, yaitu:
1.         Berkaitan dengan orang-orang yang berada dalam tataran manajemen, yaitu mereka yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan semua informasi yang disampaikan. Juga memberi perintah atau intruksi supaya perintah-perintahnya dilaksanakan sebagaimana semestinya.
2.         Berkaitan dengan pesan. Pesan-pesan regulatif pada dasarnya berorientasi pada kerja. Artinya, bawahan membutuhkan kepastian peraturan tentang pekerjaan yang boleh dan tidak boleh untuk dilaksanakan.
c)      Fungsi persuasif. Dalam mengatur suatu organisasi, kekuasaan dan kewenangan tidak akan selalu membawa hasil sesuai dengan yang diharapkan. Adanya kenyataan ini, maka banyak pimpinan yang lebih suka untuk mempersuasi bawahannya daripada memberi perintah. Sebab pekerjaan yang dilakukan secara sukarela oleh karyawan akan menghasilkan kepedulian yang lebih besar dibanding kalau pimpinan sering memperlihatkan kekuasaan dan kewenangannya.
d)     Fungsi integratif. Setiap organisasi berusaha untuk menyediakan saluran yang memungkinkan karyawan dapat melaksanakan tugas dan pekerjaan dengan baik. Ada dua saluran komunikasi yang dapat mewujudkan hal tersebut, yaitu:
1.         Saluran komunikasi formal seperti penerbitan khusus dalam organisasi tersebut (buletin, newsletter) dan laporan kemajuan organisasi.
2.         Saluran komunikasi informal seperti perbincangan antar pribadi selama masa istirahat kerja, pertandingan olahraga, ataupun kegiatan darmawisata. Pelaksanaan aktivitas ini akan menumbuhkan keinginan untuk berpartisipasi yang lebih besar dalam diri karyawan terhadap organisasi.
3.      Prinsip-Prinsip Teori Management Klasikal
Griffin membahas komunikasi organisasi mengikuti teori management klasik, yang menempatkan suatu bayaran pada daya produksi, presisi, dan efisiensi. Adapun prinsip-prinsip dari teori management klasikal adalah sebagai berikut:[10]
1.        Kesatuan komando- suatu karyawan hanya menerima pesan dari satu atasan.
2.        Rantai Skalar- garis otoritas dari atasan ke bawahan, yang bergerak dari atas sampai ke bawah untuk organisasi; rantai ini, yang diakibatkan oleh prinsip kesatuan komando, harus digunakan sebagai suatu saluran untuk pengambilan keputusan dan komunikasi.
3.        Divisi Pekerjaan- manegement perlu arahan untuk mencapai suatu derajat tingkat spesialisasi yang dirancang untuk mencapai sasaran organisasi dengan suatu cara efisien.
4.        Tanggung Jawab Dan Otoritas- perhatian harus dibayarkan kepada hak untuk memberi order dan ke ketaatan seksama; suatu ketepatan keseimbangan antara tanggung jawab dan otoritas harus dicapai.
5.        Disiplin- ketaatan, aplikasi, energi, perilaku, dan tanda rasa hormat yang keluar seturut kebiasaan dan aturan disetujui.
6.        Mengebawahkan Kepentingan Individu Dari Kepentingan Umum- melalui contoh peneguhan, persetujuan adil, dan pengawasan terus-menerus.
4.        Pendekatan Komunikasi Dalam Organisasi
1.        Pendekatan sistem. Karl Weick (pelopor pendekatan sistem informasi) menganggap struktur hirarkhi, garis rantai komando komunikasi, prosedur operasi standar merupakan mungsuh dari inovasi. Ia melihat organisasi sebagai kehidupan organis yang harus terus menerus beradaptasi kepada suatu perubahan lingkungan dalam orde untuk mempertahankan hidup. Pengorganisasian merupakan proses memahami informasi yang samar-samar melalui pembuatan, pemilihan, dan penyimpanan informasi. Weick meyakini organisasi akan bertahan dan tumbuh subur hanya ketika anggota-anggotanya mengikutsertakan banyak kebebasan (free-flowing) dan komunikasi interaktif. Untuk itu, ketika dihadapkan pada situasi yang mengacaukan, manajer harus bertumpu pada komunikasi dari pada aturan-aturan. Teori Weick tentang pengorganisasian mempunyai arti penting dalam bidang komunikasi karena ia menggunakan komunikasi sebagai basis pengorganisasian manusia dan memberikan dasar logika untuk memahami bagaimana orang berorganisasi. Menurutnya, kegiatan-kegiatan pengorganisasian memenuhi fungsi pengurangan ketidakpastian dari informasi yang diterima dari lingkungan atau wilayah sekeliling. Ia menggunakan istilah ketidakjelasan untuk mengatakan ketidakpastian, atau keruwetan, kerancuan, dan kurangnya predictability. Semua informasi dari lingkungan sedikit banyak sifatnya tidak jelas, dan aktivitas-aktivitas pengorganisasian dirancang untuk mengurangi ketidakpastian atau ketidakjelasan. Weick memandang pengorganisasian sebagai proses evolusioner yang bersandar pada sebuah rangkaian tiga proses:
a)      Penentuan (enachment)
b)      Seleksi (selection)
c)      Penyimpanan (retention)
2.        Pendekatan budaya. Asumsi interaksi simbolik mengatakan bahwa manusia bertindak tentang sesuatu berdasarkan pada pemaknaan yang mereka miliki tentang sesuatu itu. Mendapat dorongan besar dari antropolog Clifford Geertz, ahli teori dan ethnografi, peneliti budaya yang melihat makna bersama yang unik adalah ditentukan organisasi. Organisasi dipandang sebagai budaya. Suatu organisasi merupakan sebuah cara hidup (way of live) bagi para anggotanya, membentuk sebuah realita bersama yang membedakannya dari budaya-budaya lainnya. Pacanowsky dan para teoris interpretatif lainnya menganggap bahwa budaya bukan sesuatu yang dipunyai oleh sebuah organisasi, tetapi budaya adalah sesuatu suatu organisasi. budaya organisasi dihasilkan melalui interaksi dari anggota-anggotanya. Tindakan-tindakan yang berorientasi tugas tidak hanya mencapai sasaran-sasaran jangka pendek tetapi juga menciptakan atau memperkuat cara-cara yang lain selain perilaku tugas ”resmi” dari para karyawan, karena aktivitas-aktivitas sehari-hari yang paling membumi juga memberi kontribusi bagi budaya tersebut. Pendekatan ini mengkaji cara individu-individu menggunakan cerita-cerita, ritual, simbol-simbol, dan tipe-tipe aktivitas lainnya untuk memproduksi dan mereproduksi seperangkat pemahaman.
3.        Pendekatan kritik. Stan Deetz, salah seorang penganut pendekatan ini, menganggap bahwa kepentingan-kepentingan perusahaan sudah mendominasi hampir semua aspek lainnya dalam masyarakat, dan kehidupan kita banyak ditentukan oleh keputusan-keputusan yang dibuat atas kepentingan pengaturan organisasi-organisasi perusahaan, atau manajerialisme. Bahasa adalah medium utama dimana realitas sosial diproduksi dan direproduksi. Manajer dapat menciptakan kesehatan organisasi dan nilai-nilai demokrasi dengan mengkoordinasikan partisipasi stakeholder dalam keputusan-keputusan korporat.
Dengan landasan konsep-konsep komunikasi dan organisasi sebagaimana yang telah diuraikan, maka kita dapat memberi batasan tentang komunikasi dalam organisasi secara sederhana, yaitu komunikasi antarmanusia (human communication) yang terjadi dalam kontek organisasi.  Atau dengan meminjam definisi dari Goldhaber, komunikasi organisasi diberi batasan sebagai arus pesan dalam suatu jaringan yang sifat hubungannya saling bergabung satu sama lain (the flow of messages within a network of interdependent relationships).
Sebagaimana telah disebut, bahwa arus komunikasi dalam organisasi meliputi komunikasi vertikal dan komunikasi horisontal.  Masing-masing arus komunikasi tersebut mempunyai perbedaan fungsi yang sangat tegas.  Ronald Adler dan George Rodman, mencoba menguraikan masing-masing, fungsi dari kedua arus komunikasi dalam organisasi tersebut sebagai berikut:[11]
  1. Downward communication, yaitu komunikasi yang berlangsung ketika orang-orang yang berada pada tataran manajemen mengirimkan pesan kepada bawahannya.  Fungsi arus komunikasi dari atas ke bawah ini adalah:a) Pemberian atau penyimpanan instruksi kerja (job instruction)b) Penjelasan dari pimpinan tentang mengapa suatu tugas perlu untuk dilaksanakan (job retionnale)c) Penyampaian informasi mengenai peraturan-peraturan yang berlaku (procedures and practices)d) Pemberian motivasi kepada karyawan untuk bekerja lebih baik.
  2. Upward communication, yaitu komunikasi yang terjadi ketika bawahan (subordinate) mengirim pesan kepada atasannya.  Fungsi arus komunikasi dari bawah ke atas ini adalah:a) Penyampaian informai tentang pekerjaan pekerjaan ataupun tugas yang sudah dilaksanakanb) Penyampaian informasi tentang persoalan-persoalan pekerjaan ataupun tugas yang tidak dapat diselesaikan oleh bawahanc) Penyampaian saran-saran perbaikan dari bawahand) Penyampaian keluhan dari bawahan tentang dirinya sendiri maupun pekerjaannya.
  3. Horizontal communication, yaitu tindak komunikasi ini berlangsung di antara para karyawan ataupun bagian yang memiliki kedudukan yang setara.  Fungsi arus komunikasi horisontal ini adalah:a)  Memperbaiki koordinasi tugasb)  Upaya pemecahan masalahc)  Saling berbagi informasid)  Upaya pemecahan konflik. e)   Membina hubungan melalui kegiatan bersama.
5.        Proses Komunikasi
Proses komunikasi diawali oleh sumber (source) baik individu ataupun kelompok yang berusaha berkomunikasi dengan individu atau kelompok lain, sebagai berikut:
  1. Langkah pertama yang dilakukan sumber adalah ideation yaitu penciptaan satu gagasan atau pemilihan seperangkat informasi untuk dikomunikasikan.  Ideation ini merupakan landasan bagi suatu pesan yang akan disampaikan.
  2. Langkah kedua dalam penciptaan suatu pesan adalah encoding, yaitu sumber menerjemahkan informasi atau gagasan dalam wujud kata-kaya, tanda-tanda atau lambang-lambang yang disengaja untuk menyampaikan informasi dan diharapkan mempunyai efek terhadap orang lain.  Pesan atau message adalah alat-alat di mana sumber mengekspresikan gagasannya dalam bentuk bahasa lisan, bahasa tulisan ataupun perilaku nonverbal seperti bahasa isyarat, ekspresi wajah atau gambar-gambar.
  3. Langkah ketiga dalam proses komunikasi adalah penyampaian pesan yang telah disandi (encode).  Sumber menyampaikan pesan kepada penerima dengan cara berbicara, menulis, menggambar ataupun melalui suatu tindakan tertentu.  Pada langkah ketiga ini, kita mengenal istilah channel atau saluran, yaitu alat-alat untuk menyampaikan suatu pesan.  Saluran untuk komunikasi lisan adalah komunikasi tatap muka, radio dan telepon.  Sedangkan saluran untuk komunikasi tertulis meliputi setiap materi yang tertulis ataupun sebuah media yang dapat mereproduksi kata-kata tertulis seperti: televisi, kaset, video atau OHP (overheadprojector).  Sumber berusaha untuk mebebaskan saluran komunikasi dari gangguan ataupun hambatan, sehingga pesan dapat sampai kepada penerima seperti yang dikehendaki.
  4. Langkah keempat, perhatian dialihkan kepada penerima pesan.  Jika pesan itu bersifat lisan, maka penerima perlu menjadi seorang pendengar yang baik, karena jika penerima tidak mendengar, pesan tersebut akan hilang.  Dalam proses ini, penerima melakukan decoding, yaitu memberikan penafsiran interpretasi terhadap pesan yang disampaikan kepadanya.  Pemahaman (understanding) merupakan kunci untuk melakukan decoding dan  hanya terjadi dalam pikiran penerima.  Akhirnya penerimalah yang akan menentukan bagaimana memahami suatu pesan dan bagaimana pula memberikan respons terhadap pesan tersebut.
  5. Proses terakhir dalam proses komunikasi adalah feedback atau umpan balik yang memungkinkan sumber mempertimbangkan kembali pesan yang telah disampaikannya kepada penerima.  Respons atau umpan balik dari penerima terhadap pesan yang disampaikan sumber dapat berwujud kata-kata ataupun tindakan-tindakan tertentu.  Penerima bisa mengabaikan pesan tersebut ataupun menyimpannya.  Umpan balik inilah yang dapat dijadikan landasan untuk mengevaluasi efektivitas komunikasi.

6.        Hambatan Komunikasi Dalam Organisasi
  1. Hambatan Teknis. Keterbatasan fasilitas dan peralatan komunikasi. Dari sisi teknologi, semakin berkurang dengan adanya temuan baru dibidang kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, sehingga saluran komunikasi dapat diandalkan dan efesien sebagai media komunikasi. Menurut Cruden dan Sherman, jenis hambatan teknis dari komunikasi :[12]
a)         Tidak adanya rencana atau prosedur kerja yang jelas
b)        Kurangnya informasi atau penjelasan
c)         Kurangnya ketrampilan membaca
d)        Pemilihan media [saluran] yang kurang tepat.
  1. Hambatan Semantik. Gangguan semantik menjadi hambatan dalam proses penyampaian pengertian atau idea secara secara efektif. Definisi semantik sebagai studi atas pengertian, yang diungkapkan lewat bahasa. Kata-kata membantu proses pertukaran timbal balik arti dan pengertia [komunikator dan komunikan], tetapi seringkali proses penafsirannya keliru. TIDAK ADANYA hubungan antara Simbol [kata] dan apa yang disimbolkan [arti atau penafsiran], dapat mengakibatkan kata yang dipakai ditafsirkan sangat berbeda dari apa yang dimaksudkan sebenarnya. Untuk menghindari mis komunikasi semacam ini, seorang komunikator harus memilih kata-kata yang tepat sesuai dengan karakteristik komunikannya, dan melihat kemungkinan penafsiran terhadap kata-kata yang dipakainya.
  2. Hambatan Manusiawi.Terjadi karena adanya faktor, emosi dan prasangka pribadi, persepsi, kecakapan atau ketidakcakapan, kemampuan atau ketidakmampuan alat-alat pancaindera seseorang, dll. Menurut Cruden dan Sherman :
a)      Hambatan yang berasal dari perbedaan individual manusia.Perbedaan persepsi, perbedaan umur, perbedaan keadaan emosi, ketrampilan mendengarkan,perbedaan status, pencairan informasi, penyaringan informasi.
b)      Hambatan yang ditimbulkan oleh iklim psikologis dalam organisasi.Suasana iklim kerja dapat mempengaruhi sikap dan perilaku staf dan efektifitas komunikasi organisasi.
B.       Teori Khusus Komunikasi Dalam Organisasi
Sebenarnya, kami tidak ada menemui teori khusus pada komunikasi dalam organisasi. Namun, pada makalah ini kami mencantumkan teori khusus, dikarenakan kami memisahkan antara teori umum yang bersifat barat dengan teori khusus yang kami perbuat dengan latar perspektif islam.
Peradaban masyarakat Madinah pada masa awal adalah bukti konkret keberhasilan dakwah Rasulullah Muhammad SAW. Digam­barkan, hubungan sosial masyarakatnya sangat hangat dan indah, saling menghargai dan menghormati di tengah-tengah perbedaan, tidak saling memaksakan kehendak dan pendapat sendiri. Keberhasilan ini tidak lepas dari ke­mam­puan Rasulullah dalam mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi dengan baik yang ditopang dengan keluhuran budi pekerti. Jika ditelusuri sirah (sejarah) Nabi, akan dijumpai bahwa keberhasilan itu karena beliau menerapkan seluruh prinsip-prinsip komunikasi dalam al-Qur'an secara konsisten. Tulisan ini mencoba menjelaskan tentang prinsip-prinsip komunikasi dengan mengambil inspirasi dari al-Qur’an, bagaimana harus dipahami dan dimaknai pada masa modern dewasa ini sebagai landasan etis untuk pengembangan ilmu komunikasi yang lebih luhur dan mencerahkan.
MANUSIA, di samping makhluk beragama, adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu hidup bermasyarakat dan senan­tiasa membu­tuh­kan peran-serta pihak lain. Artinya, berinteraksi sosial atau hidup bermasya­rakat merupakan sesuatu yang tumbuh sesuai dengan fitrah dan kebutuhan kemanusiaan. Dalam hal ini, al-Qur`an banyak memberikan arahan atau nilai-nilai positif yang harus dikembangkan; juga nilai-nilai negatif yang semestinya untuk dihin­darkan.
Bahkan, di dalam QS. al-Hujurāt/49: 13, penggunaan redaksi ya ayyuhan-nas ―walaupun ayatnya adalah mada­niyah― menunjuk­kan bahwa saling mengenal yang dimaksud­kan itu tidak membe­dakan suku, ras, bahasa, kebudayaan, bahkan ideologi. Maka, ketika manusia tidak peduli dengan lainnya, tidak mau saling menge­nal atau, dengan istilah lain, ia lebih menonjolkan sikap egoistiknya, maka berarti ia telah kehilangan sifat dasar kemanusiaannya.
Manusia sebagai makhluk sosial menduduki posisi yang sangat pen­ting dan strategis. Sebab, hanya manusialah satu-satunya makh­luk yang  diberi karunia bisa berbicara. Dengan kemampuan bicara itulah, memung­kinkan manusia membangun hubungan sosialnya. Sebagaimana bisa dipa­hami dari firman Allah علمه البيان “menga­jarnya pandai berbicara” (al-Rahmân/55: 4). Banyak penafsiran yang mun­cul berkenaan dengan kata al-bayān, namun yang paling kuat adalah berbicara (al-nuthq, al-kalām).[13] Hanya saja, menurut Ibn 'Asyur, kata al-bayān juga mencakup isyarah-isyarah lainnya, seperti kerlingan mata, anggukan kepala. Dengan demikian, al-bayān meru­pakan karunia yang terbesar bagi manusia. Bukan saja ia dapat dikenali jati dirinya, akan tetapi, ia menjadi pembeda dari binatang.[14]
Kemampuan bicara berarti kemampuan berkomunikasi. Ber­ko­mun­ikasi adalah sesuatu yang dihajatkan di hampir setiap kegiatan manusia. Dalam sebuah penelitian telah dibuktikan, hampir 75 % sejak bangun dari tidur manusia berada dalam kegiatan komunikasi. Dengan komunikasi kita dapat membentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan, meme­lihara kasih sayang, menyebar­kan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Akan tetapi, dengan komunikasi, juga kita dapat menumbuh-suburkan perpecahan, meng­hidupkan permusuhan, menanamkan keben­cian, merintangi kema­juan, dan menghambat pemikiran.[15]
Kenyataan ini sekaligus memberi gambaran betapa kegiatan komu­ni­kasi bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan oleh setiap manusia. Anggapan ini barangkali didasarkan atas dasar asumsi bahwa komunikasi merupakan suatu yang lumrah dan alamiah yang tidak perlu diperma­salah­kan. Sedemi­kian lumrahnya, sehingga seseorang cenderung tidak melihat kompleksi­tas­nya atau tidak menyadari bahwa dirinya sebenarnya berkeku­rangan atau tidak berkompeten dalam kegiatan pribadi yang paling pokok ini. Dengan demikian, berkomunikasi secara efektif sebenarnya merupakan suatu perbuatan yang paling sukar dan kompleks yang pernah dilakukan seseorang.[16]
Dalam sebuah ungkapan Arab disebutkan :الكلام صفة المتكلم Ucapan atau perkataan menggambarkan si pembicara'.[17] Dari per­nya­taan ini dapat dipahami bahwa perkataan/ucapan, atau dengan istilah lain, kemampuan berkomunikasi akan mencerminkan apakah seseorang adalah terpelajar atau tidak. Dengan demikian, berkomu­nikasi tidaklah identik dengan menyam­paikan sebuah informasi. Para pakar komunikasi, sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin Rah­mat, berpendapat bahwa setiap komunikasi mengan­dung dua aspek, yaitu aspek isi dan aspek kandungan, di mana yang kedua mengkla­si­fikasikan yang pertama dan karena itu merupakan metako­muni­kasi (di luar komunikasi). Komunikasi memang bukan hanya menyam­paikan informasi tetapi yang terpenting adalah mengatur hubungan sosial di antara komunikan.[18]
Untuk itu, demi terciptanya suasana kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat, maka harus dikembangkan bentuk-bentuk komunikasi yang beradab, yang digambarkan oleh Jalaludin Rahmat, yaitu sebuah bentuk komunikasi di mana sang  komunikator akan menghargai apa yang mereka hargai; ia berempati dan berusaha memahami realitas dari perspektif mereka. Pengetahuannya tentang khalayak bukanlah untuk menipu, tetapi untuk memahami mereka, dan bernegosiasi dengan mereka, serta bersama-sama saling memu­lia­kan kemanusiaannya. Adapun gambaran kebalikannya yaitu apa­bila sang komunikator menjadikan pihak lain sebagai obyek; ia hanya menuntut agar orang lain bias memahami pendapatnya; semen­tara itu, ia sendiri tidak bisa menghormati pendapat orang lain. Dalam komunikasi bentuk kedua ini, bukan saja ia telah mendehuma­ni­sasikan mereka, tetapi juga dirinya sendiri.[19]
Prinsip-prinsip Komunikasi dalam al-Qur'an
Ada hal penting yang lebih dulu dijelaskan terkait dengan tema bahasan di atas.  Pertama, al-Qur'an tidak memberikan uraian secara spesifik tentang komunikasi. Kata 'komunikasi' berasal dari bahasa Latin, communicatio, dan bersumber dari kata cummunis yang ber­arti sama, maksudnya sama makna. Artinya, suatu komunikasi dika­takan komunikatif jika antara masing-masing pihak mengerti bahasa yang digunakan, dan paham terhadap apa yang diper­cakapkan.[20]
Dalam proses komunikasi, paling tidak, terdapat tiga unsur, yaitu komunikator, media dan komunikan.[21]
Para pakar komunikasi juga menjelaskan bahwa komunikasi tidak hanya bersifat informatif, yakni agar orang lain mengerti dan paham, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain mau menerima ajaran atau informasi yang disampaikan, melakukan kegiatan atau perbuatan, dan lain-lain. Bahkan menurut Hovland, seperti yang dikutip oleh Onong, bahwa berkomunikasi bukan hanya terkait dengan penyampaian informasi, akan tetapi juga bertujuan pemben­tukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude).[22]
Kedua, meskipun al-Qur'an secara spesifik tidak membi­ca­rakan masalah komunikasi, namun, jika diteliti ada banyak ayat yang memberikan gambaran umum prinsip-prinsip komunikasi. Dalam hal ini, penulis akan merujuk kepada term-term khusus yang diasum­sikan sebagai penjelasan dari prinsip-prinsip komunikasi tersebut. Antara lain, term qaulan balighan, qaulan maisuran, qaulan kari­man, qaulan ma’rufan, qaulan layyinan, qaulan sadidan, juga ter­ma­suk qaul al-zur, dan lain-lain.
1.        Prinsip Qaul baligh
Di dalam al-Qur'an term qaul baligh hanya disebutkan sekali, yaitu surah an-Nisa': 63:
فكيف إذا أصابتهم مصيبة بما قدمت أيديهم ثم جاءوك يحلفون بالله إن أردنا إلا إحسانا وتوفيقا, أولئك الذين يعلم الله ما فى قلوبهم فأعرض عنهم و عظهم و قل لهم فى أنفسهم قولا بليغا (النساء/4: 62-63)
"Maka bagaimana halnya apabila (kelak) musibah menimpa mereka (orang munafik) disebabkan perbuatan tangannya sendiri, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad) sambil bersum­pah, “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain kebaik­an dan kedamaian.” Mereka itu adalah orang-orang yang (sesung­guhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.  (Q.s. an-Nisa'/4: 62-63)
Ayat ini menginformasikan tentang kebusukan hati kaum munafik, bahwa mereka tidak akan pernah bertahkim kepada Rasu­lullah saw, meski mereka bersumpah atas nama Allah, kalau apa yang mereka lakukan semata-mata hanya menghendaki kebaikan. Walapun begitu, beliau dilarang menghukum mereka secara fisik (makna dari “berpalinglah dari mereka”), akan tetapi, cukup mem­beri nasehat sekaligus ancaman bahwa perbuatan buruknya akan mengakibatkan turunnya siksa Allah,[23] dan berkata kepada mereka dengan perkataan yang baligh.
Term balīgh, yang berasal dari ba la gha, oleh para ahli bahasa dipahami sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Juga bisa dimaknai dengan “cukup” (al-kifāyah). Sehingga perkataan yang balīgh adalah perkataan yang merasuk dan membekas dalam jiwa.[24]Sementara menurut al-Ishfahani,[25] bahwa perkataan tersebut me­ngan­dung tiga unsur utama, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehendaki, dan isi perkataan adalah suatu kebenaran. Sedang­kan term balīgh dalam konteks pembicara dan lawan bicara, adalah bahwa si pembicara secara sengaja hendak menyampaikan sesuatu dengan cara yang benar agar bisa diterima oleh pihak yang diajak bicara. Secara rinci, para pakar sastra, seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab, membuat kriteria-kriteria khusus tentang suatu pesan dianggap balīgh, antara lain:[26]
1.        Tertampungnya seluruh pesan dalam kalimat yang disam­pai­kan
2.        Kalimatnya tidak bertele-tele, juga tidak terlalu pendek sehingga pengertiannya menjadi kabur
3.        Pilihan kosa katanya tidak dirasakan asing bagi si  pendengar
4.        Kesesuaian kandungan dan gaya bahasa dengan lawan bicara
5.        Kesesuaian dengan tata bahasa.

2.        Prinsip Qaul karim
Term ini ditemukan di dalam al-Qur'an hanya sekali, yaitu surah al-Isra': 23:
و قضى ربك الا تعبدوا إلا إياه و بالوالدين احسانا, امايبلغن عندك الكبر احدهما او كلاهما فلا تقل لهما اف ولا تنهرهما و قل لهما قولا كريما (الاسراء/17: 23):
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik." (Q.s. al-Isra'/17: 23(Ayat di atas menginformasikan bahwa ada dua ketetapan Allah yang menjadi kewajiban setiap manusia, yaitu menyembah Allah dan berbakti kepada kedua orang tua.
Ajaran ini sebenarnya ajaran kema­nusiaan yang bersifat umum, karena setiap manusia pasti menyan­dang dua predikat ini sekaligus, yakni sebagai makhluk ciptaan Allah, yang oleh karenanya harus menghamba kepada-Nya semata; dan anak dari kedua orang tuanya. Sebab, kedua orang tuanyalah yang menjadi perantara kehadirannya di muka bumi ini. Bukan hanya itu, struktur ayat ini, di mana dua pernyataan tersebut dirangkai dengan huruf wawu 'athaf, yang salah satu fungsinya adalah menggabung­kan dua pernyataan yang tidak bisa saling dipisahkan, menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orag tua menjadi parameter bagi kualitas penghambaan manusia kepada Allah. Dalam sebuah hadis dinyatakan:
Dari Abi Hurairah r.a., dari Nabi Saw. Bersabda, "Merugilah 3 x, seseorang yang menemukan salah satu atau kedua orang tuanya sudah lanjut usia tidak bisa masuk surga. (H.r. Ahmad).
Berkaitan dengan inilah, al-Qur'an memberikan petunjuk ba­gai­mana cara berprilaku dan berkomunikasi secara baik dan benar kepada kedua orang tua, terutama sekali, di saat keduanya atau salah satunya sudah berusia lanjut. Dalam hal ini, al-Qur'an menggunakan term karīm, yang secara kebahasaan berarti mulia. Term ini bisa disandarkan kepada Allah, misalnya, Allah Maha Karim, artinya Allah Maha Pemurah; juga bisa disandarkan kepada manusia, yaitu menyangkut keluhuran akhlak dan kebaikan prilakunya. Artinya, sese­orang akan dikatakan karim, jika kedua hal itu benar-benar ter­bukti dan terlihat dalam kesehariannya.[27]Namun, jika term karīm dirangkai dengan kata qaul atau perkataan, maka berarti suatu perkataan yang menjadikan pihak lain tetap dalam kemuliaan, atau perkataan yang membawa manfaat bagi pihak lain tanpa bermaksud merendahkan.[28] Di sinilah Sayyid Quthb menyatakan bahwa perkataan yang karīm, dalam konteks hubungan dengan kedua orang tua, pada hakikatnya adalah tingkatan yang tertinggi yang harus dilakukan oleh seorang anak. Yakni, bagaimana ia berkata kepadanya, namun keduanya tetap merasa dimuliakan dan dihormati.[29]  Ibn 'Asyur menyatakan bahwa qaul karīm adalah perkataan yang tidak memojokkan pihak lain yang membuat dirinya merasa seakan terhina.
Contoh yang paling jelas adalah ketika seorang anak ingin menasehati orang tuanya yang salah, yakni dengan tetap menjaga sopan santun dan tidak bermak­sud menggurui, apalagi sampai menyinggung perasaan­nya.[30] Yang pasti qaul karīm, adalah setiap perkataan yang dikenal lembut, baik, yang mengandung unsur pemuliaan dan penghormatan.
3.        Prinsip Qaul Maisūr
Di dalam al-Qur'an hanya ditemukan sekali saja, yaitu surah al-Isra'/17: 28:
"Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut." (Q.s. al-Isra'/17: 28)
Ibn Zaid berkata, "Ayat ini turun berkenaan dengan kasus suatu kaum yang minta sesuatu kepada Rasulullah saw  namun beliau tidak mengabulkan permintaannya, sebab beliau tahu kalau mereka seringkali membelanjakan harta kepada hal-hal yang tidak berman­faat. Sehingga berpalingnya beliau adalah semata-mata karena berharap pahala. Sebab, dengan begitu beliau tidak mendukung kebiasaan buruknya dalam menghambur-hamburkan harta. Namun begitu, harus tetap berkata dengan perkataan yang menyenangkan atau melegakan."[31]
Ayat ini juga mengajarkan, apabila kita tidak bisa memberi atau mengabulkan permintaan karena memang tidak ada, maka harus disertai dengan perkataan yang baik dan alasan-alasan yang rasional. Pada prinsipnya, qaul maisūr adalah segala bentuk perka­taan yang baik, lembut, dan melegakan.[32] Ada juga yang menje­laskan, qaul maisūr adalah menjawab dengan cara yang sangat baik, perkataan yang lembut dan tidak mengada-ada. Ada juga yang mengidentikkan qaul maisūr dengan  qaul ma'rūf. Artinya, perkata­an yang maisūr adalah ucapan yang wajar dan sudah dikenal sebagai perkataan yang baik bagi masyarakat setempat.[33]
4.        Prinsip Qaul ma'ruf
Di dalam al-Qur'an term ini disebutkan sebanyak empat kali, yaitu Q.s. al-Baqarah/2: 235, al-Nisa'/4: 5 dan 8, al-Ahzab/33: 32. Di dalam Q.s. al-Baqarah/2: 235, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks meminang wanita yang telah ditinggal mati suaminya. Sementara di dalam Q.s. an-Nisa'/4: 5 dan 8, qaul ma'ruf dinyatakan dalam konteks tanggung jawab atas harta seorang anak yang belum me­man­faatkannya secara benar (safih). Sedangkan di Q.s. al-Ahzab/33: 32, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks istri-istri Nabi Saw. Kata ma'ruf disebutkan di dalam al-Qur'an sebanyak 38 kali, yang bisa diperinci sebagai berikut:
1.        Terkait dengan tebusan dalam masalah pembunuhan setelah mendapatkan pemaafan terkait dengan wasiyat
2.        Terkait dengan persoalan thalaq, nafkah, mahar, 'iddah, pergaulan suami-istri
3.        Terkait dengan dakwah
4.        Terkait dengan pengelolaan harta anak yatim
5.         Terkait dengan pembicaraan atau ucapan
6.         Terkait dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya
Menurut al-Ishfahani, term ma'ruf menyangkut segala bentuk perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan syara'.[34] Dari sinilah ke­mu­dian muncul pengertian bahwa ma'ruf adalah kebaikan yang bersifat lokal. Sebab, jika akal dijadikan sebagai dasar pertimbangan dari setiap kebaikan yang muncul, maka tidak akan sama dari masing-masing daerah dan lokasi.
Misalnya dalam kasus pembagian warisan, dimana saat itu juga hadir beberapa kerabat yang ternyata tidak memperoleh bagian warisan, juga orang-orang miskin dan anak-anak yatim, oleh al-Qur'an diperintahkan agar berkata kepada mereka dengan perkataan yang ma'ruf. Hal ini sangatlah tepat, karena perkataan baik tidak bias diformulasikan secara pasti, karena hanya akan membatasi dari apa yang dikehandaki oleh al-Qur'an. Di samping itu, juga akan terkait dengan budaya dan adat istiadat yang berlaku di masing-masing daerah. Boleh jadi, suatu perkataan dianggap ma'ruf oleh suatu daerah, ternyata tidak ma'ruf bagi daerah lain. Begitu juga, dalam kasus-kasus lain sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Qur'an, seperti meminang wanita yang sudah habis masa 'iddahnya, menase­hati istri, memberi pengertian kepada anak yatim menyangktu pengelolaan hartanya. Sementara menurut Ibn 'Asyur, qaul ma'ruf adalah perkataan baik yang melegakan dan menyenangkan lawan bicaranya.[35]
Dalam beberapa konteks al-Razi menjelaskan, bahwa qaul ma'ruf adalah perkataan yang baik, yang menancap ke dalam jiwa, sehingga yang diajak bicara tidak merasa dianggap bodoh (safih);[36] perkataan yang mengandung penyesalan ketika tidak bisa memberi atau membantu;[37] Perkataan yang tidak menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai perkataan yang baik.[38]
5.        Prinsip Qaul layyin
Di dalam al-Qur'an hanya ditemukan sekali saja, Q.s. Thaha/ 20: 44: “Pergilah kamu bedua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia benar-benar telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut." (Q.s. Thaha/20: 43-44)
Ayat ini memaparkan kisah nabi Musa dan Harun ketika diperin­tah­kan untuk  menghadapi Fir'aun, yaitu agar keduanya ber­ka­ta kepada Fir'aun dengan perkataan yang layyin. Asal makna layyin adalah lembut atau gemulai, yang pada mulanya digunakan untuk menunjuk gerakan tubuh. Kemudian kata ini dipinjam (isti'arah) untuk menunjukkan perkataan yang lembut.[39] Semen­tara yang dimaksud dengan qaul layyin adalah perkataan yang mengan­dung anjuran, ajakan, pemberian contoh, di mana si pembi­cara berusaha meyakinkan pihak lain bahwa apa yang disampaikan adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara tersebut. Dengan demikian, qaul layyin adalah salah satu metode dakwah, karena tujuan utama dakwah adalah mengajak orang lain kepada kebenaran, bukan untuk memaksa dan unjuk kekuatan.[40]
Ada hal yang menarik untuk dikritisi, misalnya, kenapa Musa harus berkata lembut padahal Fir'aun adalah tokoh yang sangat jahat. Menurut al-Razi, ad dua alasan, pertama, sebab Musa pernah dididik dan ditanggung kehidupannya semasa bayi sampai dewasa. Hal ini, merupakan pendidikan bagi setiap orang, yakni bagaimana seha­rus­nya bersikap kepada orang yang telah berjasa besar dalam hidupnya; kedua, biasanya seorang penguasa yang zalim itu cenderung bersikap lebih kasar dan kejam jika diperlakukan secara kasar dan dirasa tidak menghormatinya.
6.        Prinsip Qaul sadid
Di dalam al-Qur'an qaul sadid disebutkan dua kali, pertama, Q.s. an-Nisa'/4: 9:"Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seki­ranya mereka  meninggalkan keturunan yang lemah di belakang me­reka yang mereka khawatir atas (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar." (Q.s. al-Nisa'/4: 9).
Ayat ini turun dalam kasus seseorang yang mau meninggal ber­maksud mewasiyatkan seluruh kekayaan kepada orang lain, padahal anak-anaknya masih membutuhkan harta tersebut. Dalam kasus ini, perkataan yang harus disampaikan kepadanya harus tepat dan argumentatif. Inilah makna qaul sadīd. Misalnya, dengan perkatan, "bahwa anak-anakmu adalah yang paling berhak atas hartamu ini. Jika seluruhnya kamu wasiyatkan, bagaimana dengan nasib anak-anakmu kelak." Melalui ayat ini juga, Allah ingin mengingatkan kepa­da setiap orang tua hendaknya mempersiapkan masa depan anak-anaknya dengan sebaik-baiknya agar tidak hidup terlantar yang justru akan menjadi beban orang lain.
Dan kedua, Q.s. al-Ahzab/33: 70
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. (Q.s. al-ahzab/33: 70)
Ayat ini diawali dengan seruan kepada orang-orang beriman. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu konsekwensi keimanan ada­lah berkata dengan perkataan yang sadīd. Atau dengan istilah lain, qaul sadīd menduduki posisi yang cukup penting dalam konteks kualitas keimanan dan ketaqwaan seseorang. Sementara berkaitan dengan qaul sadid,  terdapat banyak penafsiran, antara lain, perka­taan yang jujur dan tepat sasaran. perkataan yang lembut dan mengandung pemuliaan bagi pihak lain, pembicaraan yang tepat sasaran dan logis, perkataan yang tidak menyakitkan pihak lain, perkataan yang memiliki kesesuaian antara yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hatinya.

7.        Prinsip Qaul Zur
Di dalam al-Qur'an, qaul zur hanya ditemukan sekali, Q.s. al-Hajj: 30:
"Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa menga­gung­kan apa yang terhormat di sisi Allah (hurumāt) maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan dihalalkan bagi kamu semua hewan ternak, kecuali yang diterangkan kepadamu (keharam­an­nya), maka jauhilah olehmu (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta. (Q.s. al-Hajj/22: 30)
Ayat ini dapat dipahami, bahwa ketika seseorang menga­gung­kan masya'ir haram dan memakan binatang yang dihalalkan, akan tetapi tidak menjauhi syirik dan perkataan dusta (zūr), maka pengagungan tersebut tidak memiliki dampak spiritual apapun bagi dirinya. Atau juga bisa dipahami bahwa perkataan dusta (zur) hakikatnya sama dengan menyembah berhala, dalam hal sama-sama mengikuti hawa nafsu. Atau lebih konkritnya, sama-sama menuhan­kan hawa nafsu.
Asal makna kata zūr adalah menyimpang/melenceng (mā`il). Perkataan zūr dimaknai kizb (dusta), karena menyimpang/melen­ceng dari yang semestinya atau yang dituju. Qaul zūr juga ditafsirkan mengharamkan yang  halal atau sebaliknya; serta saksi palsu. Rasulullah saw, sebagaimana dikutip oleh al-Razi, bersabda , "saksi palsu itu sebanding syirik. Menurut al-Qurthubi, ayat ini mengandung ancaman bagi yang memberikan saksi dan sumpah palsu. Ia termasuk salah satu dosa besar, bahkan termasuk tindak pidana.
8.        Membangun Komunikasi Beradab
Unsur yang terpenting di dalam komunikasi adalah komuni­kator, komunike, dan komunikan. Namun, ada hal di luar dari ketiga unsur ini ini, yaitu teknik atau cara. Bahkan, dalam beberapa kasus, seringkali cara lebih penting dari pada isi, sebagaimana dalam ungkapan Arab : الطريقة اهم من المادة  "Cara lebih penting dari pada isi". Tentu saja, pernyataan ini masih bisa diperdebatkan; namun, yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa cara penyampaian (berkomu­nikasi) terkadang, atau bahkan, seringkali lebih penting dari isi. Dalam hal ini, bisa digambarkan melalui sebuah kasus. Ada seorang anak muda yang baru belajar agama. Di antara materi yang pernah didengar atau diterima adalah bahwa "setiap muslim harus berani berkata benar meskipun pahit". Setelah mendengar nasehat ini, yang tergambar pertama kali di benaknya adalah orang tuanya yang seringkali meninggalkan shalat atau bahkan tidak pernah shalat.  Kemudian si anak muda tersebut, dengan maksud menasehati orang tuanya, menemui orang tuanya lalu berkata kepadanyan, "Pak…apa bapak gak takut masuk neraka, kok sampai setua ini bapak gak pernah shalat sih…". Pernyataan ini benar, tetapi rangkaian kata yang disampaikan cenderung meremehkan pihak lain, terlebih ia adalah orang tuanya sendiri atau orang yang usianya jauh lebih tua. Belum lagi, jika hal itu disampaikan dengan intonasi yang meninggi. Ini adalah contoh sederhana dari komunikasi yang tidak beradab.
Dengan demikian, komunikasi beradab, pada prinsipnya, me­ru­pakan suatu proses untuk mengkomunikasi kebenaran dan mem­bangun hubungan sosial dengan komunikannya atau bermeta­komunikasi. Sebab, miskomunikasi hanya akan menjadikan berpa­lingnya komunikan, yang berarti hilang pula informasi kebenaran itu. Inilah yang ditegaskan oleh al-Qur`an: "Maka disebabkan rahmat Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…"(QS. Ali ‘Imran/3: 159)
Ayat ini secara khusus ditujukan Rasulullah saw, namun, secara umum, adalah dimaksud untuk mendidik umatnya, bagaimana car amenyikapi orang yang menolak kebenaran yang disampaikan kepadanya sebagai upaya untuk membangun sebuah komunikasi yang baik itu, yaitu dengan bersikap lembut dan santun, serta bertutur kata yang baik.
Hanya saja, ayat ini juga memunculkan pertanyaan, apakah Rasulullah mendapatkan rahmat sehingga bersikap lemah lembut? Atau apakah Rasulullah bersikap lemah lembut, sehingga beliau memperoleh rahmat? Ayat di atas memang bisa dipahami secara berbalik,  pertama, sebab rahmat Allah lah, Rasulullah saw bisa bersi­kap lemah lembut. Namun, pemahaman semacam ini akan mena­fikan suatu kenyataan bahwa Rasulullah adalah sosok yang berakhlaq sangat mulia. Bahkan, jauh sebelum turunnya ayat ini atau sebelum diangkat jadi Rasul. Oleh karena itu, penulis lebih cenderung memahami ayat tersebut dengan pemahaman kedua, yaitu bahwa rahmat dan keluhuran akhlaq menyatu secara berkelindan. Artinya, rahmat Allah tidak akan diberikan kepada hamba-Nya yang memang tidak layak untuk mendapatkannya.
Dengan demikian, ayat ini seharusnya dipandang sebagai bentuk penghargaan Allah kepada Rasulullah saw. Hasan al-Bashri berkata, "Ini merupakan akhlaq  Rasulullah saw yang diutus oleh Allah untuk mendidik umatnya. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa Rasulullah menyandang dua predikat sekaligus, yaitu pemimpin agama dan pemimpin negara. Sebagai pemimpin agama, beliau telah berhasil mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi dengan cara yang sangat indah, terutama sekali yang terkait dengan ajaran-ajaran yang memiliki tingkat sensisifitas yang tinggi di kalangan masyarakat.[41] Sedangkan sebagai pemimpin negara, beliau telah berhasil membangun sebuah negara, yang didasarkan pada politik kesejahtaraan bukan politik kekuasaan. Dalam hal ini, beliau telah mengajarkan kepada umatnya bahwa kemampuan bermeta­ko­munikasi secara tepat bukan saja untuk berkomunikasi yang berhasil, tetapi juga erat kaitannya dengan kesadaran diri sendiri dan orang lain.
Secara umum, upaya pembangunan komunikasi beradab bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
1.        Komunikasi dan Pendidikan
Dalam konteks komunikasi beradab, pendidikan dalam hal lebih ditekankan kepada pendidikan berbasis karakter atau akhlaq. Sebuah pembangunan karakter (character building) tidak identik dengan transfer ilmu. Sehingga di dalam Islam diperkenalkan dengan isitilah tarbiyah yang berasal dari rabbā-yurabbī-tarbiyatan yang didefinisikan oleh al-Ishfahani, yaitu mendorong dan mengawal pihak lain menuju kepada kesempur­na­annya.
Dengan mengacu pengertian tersebut, maka pendidikan bu­kan­lah bersifat indokrinasi atau propaganda, akan tetapi, suatu proses yang bersifat komunikatif. Dalam hal ini, bisa digunakan prinsip-prinsip qaul maisūr, yaitu segala bentuk perkataan yang baik, lembut, dan melegakan; menjawab dengan cara yang sangat baik, benar dan tidak mengada-ada; mengucapkan dengan cara yang wajar. Semakin bertambah umur, maka metode yang digunakan tentu saja berbeda ketika masih anak-anak. Namun, secara prinsip tetap sama, yaitu melahirkan generasi yang berkaraker. Misalnya,  pada saat su­dah dewasa, maka yang diterapkan adalah prinsip-prinsip qaul sadīd, yang di antaranya adalah tepat sasaran dan logis, memiliki kesesu­aian antara apa yang ada di dalam hati dengan yang diucapkan. Di sini proses komunikasi pendidikan tidak hanya dipahami sebagai proses transfer pengetahuan yang bersifat satu arah; akan tetapi, harus ada upaya yang sungguh-sungguh dari pihak pendidik/ gu­ru, sebagai komunikator, untuk mampu memberikan keteladan yang baik, sebagai upaya bermetakomunikasi. Juga kedua orang tuanya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya.
Bahkan, secara naluriah, seorang anak sangat senang dan bangga jika bisa meneladani kedua orang tuanya. Ketidak sempurnaan proses komunikasi pendidikan terjadi, misalnya hanya mengajarkan pelaja­ran-pelajaran yang berbasis kompetensi tetapi tidak menanamkan nilai-nilai berbasis karakter atau akhlaq. Bahkan, hal ini bisa dianggap sebagai bentuk kriminalitas pendidikan. Faktor kegagalan guru/orang tua dalam proses pendidikan, antara lain, disebabkan kegagalan membangun komunikasi yang beradab tersebut.
2.        Komunikasi dan Masyarakat
Masyarakat adalah orang kebanyakan, yang secara sosial dan pendidikan biasanya rendah dan lemah. Sehingga, masyarakat meru­pakan suatu kelompok manusia yang paling mudah untuk dipenga­ruhi dan diprovokasi. Oleh karena itu, dalam konteks mem­ba­ngun hubungan masyarakat ini, seharusnya menerapkan prinsip-prinsip qaul balīgh, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehen­daki,dan isi perkataan adalah suatu kebenaran, bukan sema­ta-mata bersifat profokatif dan manipulatif.
Di sinilah, kelu­huran akhlak si komunikator menjadi sangat penting, dalam konteks mem­bangun hubungan sosial maupun politik. Sebab, pengeta­hu­an­nya tentang khalayak tidak dimaksudkan untuk menipu dan mem­provokasi. Akan tetapi untuk memahami, bernegosiasi, serta bersa­ma-sama saling memuliakan kemanusiaannya. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana seandainya jiwa dan ka­rak­ter sang komunikator itu tidak baik, seperti ambisius, serakah, dan lain-lain, maka kemampuan retorika dan logikanya justru akan dijadikan sebagai alat untuk mempengaruhi bahkan mencuci otak masyarakatnya demi memenuhi ambisinya, melanggengkan penga­ruh dan kekuasaanya.
Dalam hal ini, bisa dilihat pada kasus Fir'aun: "Dan Fir'aun berkata, "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetaui tuhan bagimu selain aku…"Melalui kata-katanya ini Fir'aun ingin mempengarui pikiran dan jiwa mereka, bahwa ia memang layak diposisikan sebagai tuhan, karena pada kenyataannya hanya dialah yang bias menjamin tingkat kelayakan hidup rakyat Mesir saat itu. Fir'aun paham betul dengan apa yang diinginkan oleh rakyat Mesir, yaitu hidup sejahtera, layak, terpenuhinya seluruh kebutuhan hidup­nya. Ia berusaha untuk memperoleh dukungan seluas-luasnya, bukan sekedar untuk memantapkan posisinya sebagai penguasa tanpa tanding, sekaligus utuk menjatuhkan lawan politiknya, Musa as.
3.        Komunikasi dan Dakwah
Inti dakwah adalah mengajak orang lain untuk mengikuti apa yang diserukannya. Oleh karenanya, kemampuan berkomunikasi dan bermetakomunikasi dengan baik adalah menduduki posisi yang cukup strategis. Demikian itu, karena Islam memandang bahwa setiap muslim adalah da’i. Sebagai da'i, ia seantiasa dituntut untuk mau dan mampu mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi secara baik. Sebab, kesalahan dalam mengkomunikasikan ajaran Islam, justru akan membawa akibat yang cukup serius dalam perkembangan dakwah Islam itu sendiri.
Dalam firman Allah dinyatakan: "Hendaklah ada di antara kamu, suatu umat yang selalu mengajak kepada kebaikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar " (QS. Ali ‘Imran/3: 104). Ayat tersebut memberi arahan kepada setiap anggota masyarakat, terutama umat muslim, agar selalu mengajak kepada kebaikan (al-khair), memerintahkan dengan ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Tentu saja, bukan tanpa sengaja jika ayat ini mendahulukan, da'wah ilā al-khair dari pada al-amr bil-ma'ruf. Meskipun dari sisi penerjemahan keduanya bisa saja memiliki arti yang sama, yaitu 'kebaikan', namun oleh para ahli tafsir, kata al-khair dipahami sebagai kebaikan yang bersifat universal, seperti keadilan, kejujuran, kepedulian sosial, dan lain-lain. Artinya, konsep ini juga harus dipandang sebagai konsep universal. Dengan demikian, mengajak kepada al-khair, sebenarnya juga menjadi concern bagi agama-agama di luar Islam. Sebab, setiap agama selalu menghendaki terciptanya kehidupan yang harmonis, aman, tentram, saling meng­hormati sesama, dan sebagainya.
Oleh karena itu, sebagai bagian dari masyarakat, mereka harus memiliki komitmen yang sama untuk peduli terhadap segala bentuk prilaku-prilaku anti sosial yang terjadi di masyarakatnya. Dalam hal ini, umat muslim harus senantiasa tampil yang terdepan untuk menyeru atau mengkomuni­kasikan, sekaligus memberi keteladanan.
Dengan demikian, tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur adalah sebagai kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Artinya, masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan sosial yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betapapun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri. Masyarakat semacam ini pernah dibangun oleh Rasulullah saw sewaktu berada di Madinah; dan ini merupakan bukti konkrit dari keberhasilan dakwah beliau. Keberhasilan ini tentu saja suatu prestasi yang luar biasa yang tidak bisa begitu saja dipandang dari sisi kebenaran Islam dan keagungan al-Qur'an semata. Akan tetapi, ada faktor lain yang dianggap cukup dominan dalam konteks dakwah dan pembangunan masyarakat Madinah ini, yaitu kemampuan beliau dalam mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi tersebut dengan baik dan persuasif, yang ditopang oleh keluhuran budi pekerti beliau sendiri. Jika kita telusuri sirah (sejarah) Nabi, maka akan dijumpai betapa beliau telah menerapkan seluruh prinsip-prinsip komunikasi dalam al-Qur'an, sebgaimana diuraikan, secara konsisten.









    

Bab IV
Penutup
A.      Simpulan
Banyak hal yang kami ungkapkan dalam makalah kecil kami ini, namun kami coba untuk menyimpulkan beberapa hal, seperti:
1.        Komunikasi berasal dari bahasa latin “communis” atau ‘common” dalam Bahasa Inggris yang berarti sama. Berkomunikasi berarti kita berusaha untuk mencapai kesamaan makna, “commonness”.  Atau dengan ungkapan yang lain, melalui komunikasi kita mencoba berbagi informasi, gagasan atau sikap kita dengan partisipan lainnya.
2.        Organisasi adalah sarana dimana manajemen mengkoordinasikan sumber bahan dan sumber daya manusia melalui pola struktur formal dari tugas-tugas dan wewenang.
3.        Komunikasi Organisasi dapat didefinisikan sebagai pertunjukkan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian suatu organisasi tertentu. Suatu organisasi terdiri dari dari unit-unit komunikasi dalam hubungan hierarkis antara yang satu dengan lainnya dan berfungsi dalam suatu lingkungan.
4.        Manusia sebagai makhluk sosial menduduki posisi yang sangat pen­ting dan strategis. Sebab, hanya manusialah satu-satunya makh­luk yang  diberi karunia bisa berbicara. Dengan kemampuan bicara itulah, memung­kinkan manusia membangun hubungan sosialnya. Sebagaimana bisa dipa­hami dari firman Allah علمه البيان “menga­jarnya pandai berbicara” (al-Rahmân/55: 4). Banyak penafsiran yang mun­cul berkenaan dengan kata al-bayān, namun yang paling kuat adalah berbicara (al-nuthq, al-kalām).  Hanya saja, menurut Ibn 'Asyur, kata al-bayān juga mencakup isyarah-isyarah lainnya, seperti kerlingan mata, anggukan kepala. Dengan demikian, al-bayān meru­pakan karunia yang terbesar bagi manusia. Bukan saja ia dapat dikenali jati dirinya, akan tetapi, ia menjadi pembeda dari binatang.
5.        Kemampuan bicara berarti kemampuan berkomunikasi. Ber­ko­mun­ikasi adalah sesuatu yang dihajatkan di hampir setiap kegiatan manusia. Dalam sebuah penelitian telah dibuktikan, hampir 75 % sejak bangun dari tidur manusia berada dalam kegiatan komunikasi. Dengan komunikasi kita dapat membentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan, meme­lihara kasih sayang, menyebar­kan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Akan tetapi, dengan komunikasi, juga kita dapat menumbuh-suburkan perpecahan, meng­hidupkan permusuhan, menanamkan keben­cian, merintangi kema­juan, dan menghambat pemikiran.
B.       Saran
Dengan adanya makalah kami ini semoga ilmu tentang komunikasi kita semakin bertambah baik untuk ke depannya, dan kesemuanya itu takkan terjadi tanpa adanya kesadaran dari diri kita sendiri dan seringnya memuhasabah diri seiring berjalannya waktu.


Daftar Pustaka
A. Husnul Hakim IMZI - Dosen Fak. Ushuluddin Institut PTIQ Jakarta
Em Griffin, 2003, A First Look at Communication Theory, McGrraw-Hill Companies
http://adiprakosa.blogspot.com/2007/12/teori-komunikasi-organisasi.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_organisasi

Sendjaja, 1994, Teori-Teori Komunikasi, Universitas Terbuka





[1] Evert M. Rogers dan Rekha Agarwala Rogers dalam bukunya Communications in Organization
[2] Robert Bonnington dan Berverd E. Needles, Jr. dalam bukunya Modern Business : A Systems Approach
[3]  menurut Random House Dictionary of The English Language 1987
[4] Smith and Williamson, 1977, hlm. 61
[5] Wiryanto, 2005
[6] Everet M.Rogers dalam bukunya Communication in Organization
[7] Robert Bonnington dalam buku Modern Business: A Systems Approach
[8] Steward L.Tubbs dan Sylvia Moss dalam Human Communication
[9] Sendjaja (1994)
[10] Griffin (2003) dalam A First Look at Communication Theory
[11] Ronald Adler dan George Rodman dalam buku Understanding Human Communication
[12] Menurut Cruden dan Sherman dalam bukunya Personel Management, 1976
[13] Lihat, antara lain, al-Thabari, Jami' al-Bayān, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988),  jilid 13, juz 27, h. 114-115, al-Shabuni, Mukhtashar Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Rasyad, tt.), jilid 3, h. 415, Al-Zamakhsyari, al-Kasysyāf.
[14] Ibn 'Asyur, al-Tahrīr wa al-Tanwīr,  (Tunis, Isa al-Babī al-Halabī, 1384 H), jilid 17, h. 4243
[15] Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996),  cet. ke-10, h. Kata Pengantar.
[16] James G. Robbins dan Barbara S. Jones, Komuniasi Yang Efektif, terje­mahan Turman Sirait, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1986), h. 3
[17] Lihat al-Sakhawi, al-Maqāshid al-Hasanah, (Beirut: Dar al-Hijrah, 1986), h. 319
[18] Jalaluddin Rahmat dalam majalah al-Hikmah, diterbitkan oleh Yayasan al-Muthahhari, Bandung, halaman iftitah.
[19] Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual, (Bandung: Penerbit Mizan, 1992), cet. ke-4, h. 63.
[20] Onong Uchana Effendy, Ilmu Komunikasi, h. 9
[21] YS. Gunadi, Himpunan Istilah Komunikasi, Jakarta, GRASINDO, 1998), h. 69.
[22] Onong Uchana, Ilmu Komunikasi, h. 10
[23] Al-Thabari, Jāmi' al-Bayān, jilid 5, h. 153.
[24] Ibn 'Asyur, al-Tahrir, jilid  4, h. 978.
[25] Al-Ishfahani, al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur'an, (Beirut: Dar al-ma'rifah, tt.), ditahqiq oleh Muhammad Sayyid Kailani,, dalam term balagha, h. 60.
[26] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000), jilid 2, h. 468.
[27] Al-Ishfahani, al-Mufradāt, pada term karama, h. 428.

[28] Al-Ishfahani, al-Mufradāt, h. 429.
[29] Sayyid Quthb, Fī Zhilāl al-Qur'ān, juz 13, h. 318.
[30] Ibn 'Asyur, al-Tahrīr wa al-Tanwīr, juz 15, h. 70
[31] Al-Qurthubi, Al-Jāmi' li ahkām Al-Qur'ān, jilid 10, h. 107
[32] Al-Qurthubi, al-Jāmi', jilid 10, h. 107.
[33] Al-Razi, Mafātīh al-Ghaīb, jilid 20, h. 155.

[34] Al-Ishfahani, al-Mufradāt, pada term 'arafa, h. 331.
[35] Ibn 'Asyur, al-Tahrīr, jilid 4, h. 252 dan al-Sya'rawi, Tafsīr al-Sya'rawi, jilid 4: 2016
[36] Al-Razi, Mafātīh, jilid 9, h. 152.
[37] Al-Razi, Mafātīh, jilid 9, h. 161.
[38] Al-Razi, Mafātīh, jilid 25, h. 180.

[39] Ibn 'Asyur, al-Tahrīr, jilid 16, h. 225
[40] Ibn 'Asyur, al-Tahrīr, jilid 16, h. 225

[41] Bisa dilihat pada peristiwa yang melatarbelakangi turunnya surah al-Lahab, (lihat Al-Shabuni, Mukhtashar Tafsir Ibn katsir, jilid 3, h. 689 dan Al-Thabari, Jami' al-Bayan, juz 30, jilid 15, h. 336

0 komentar: