Bab I
Pendahuluan
A. Latar
Belakang Masalah
Dalam
kegiatan Perkantoran, banyak hal yang perlu diperhatikan untuk menciptakan
keefektivan serta keefisienan di dalamnya. Oleh karena itu, dalam makalah ini
kami akan coba memahas salah satu hal terpenting dalam dunia perkantoran, yaitu
Komunikasi Dalam Organisasi.
Sebelum membahas pengertian komunikasi
organisasi sebaiknya kita uraikan terminologi yang melekat pada konteks
komunikasi organisasi, yaitu komunikasi dan organisasi. Komunikasi
berasal dari bahasa latin “communis” atau ‘common” dalam Bahasa Inggris yang
berarti sama. Berkomunikasi berarti kita berusaha untuk mencapai kesamaan
makna, “commonness”. Atau dengan ungkapan yang lain, melalui komunikasi
kita mencoba berbagi informasi, gagasan atau sikap kita dengan partisipan
lainnya.
Kendala utama dalam berkomunikasi adalah
seringkali kita mempunyai makna yang berbeda terhadap lambang yang sama.
Manusia
di dalam kehidupannya harus berkomunikasi, artinya memerlukan orang lain dan
membutuhkan kelompok atau masyarakat untuk saling berinteraksi. Hal ini
merupakan suatu hakekat bahwa sebagian besar pribadi manusia terbentuk dari
hasil integrasi sosial dengan sesama dalam kelompok dan masyarakat. Di dalam
kelompok/organisasi itu selalu terdapat bentuk kepemimpinan yang merupakan
masalah penting untuk kelangsungan hidup kelompok, yang terdiri dari pemimpin dan
bawahan/karyawan. Di antara kedua belah pihak harus ada two-way-communications
atau komunikasi dua arah atau komunikasi timbal balik, untuk itu
diperlukan adanya kerja sama yang diharapkan untuk mencapai cita-cita, baik
cita-cita pribadi, maupun kelompok, untuk mencapai tujuan suatu organisasi.
Kerja
sama tersebut terdiri dari berbagai maksud yang meliputi hubungan
sosial/kebudayaan. Hubungan yang terjadi merupakan suatu proses adanya suatu
keinginan masing-masing individu, untuk memperoleh suatu hasil yang nyata dan
dapat memberikan manfaat untuk kehidupan yang berkelanjutan.
B. Rumusan
Masalah
a. Teori
Umum Komunikasi Dalam Organisasi
b. Teori
Khusus Komunikasi Dalam Organisasi
Bab II
Analisa
Organisasi atau Organization
bersumber dari kata kerja bahasa Latin Organizare
yang memiliki defenisi: “to
form as or into a whole consisting of interdependent or coordinated parts”yang artinya: “membentuk
sebagai atau menjadi keseluruhan dari bagian- bagian yang saling bergantung
atau terkoordinasi”.
Banyak para tokoh yang
mendefenisikan Organisasi, di antaranya adalah:
a.
"a stable system of individuals who work togather to achieve,
through a hierarchy of ranks and division of labour, common goals"(Suatu sistem yang mapan dari mereka yang bekerja
sama untuk mencapai tujuan bersama, melalui suatu jenjang kepangkatan dan
pembagian tugas)[1]
b.
Organization is the means by which management coordinates material and
human resources through the design of a formal structure of tasks and authority
(Organisasi adalah sarana dimana
manajemen mengkoordinasikan sumber bahan dan sumber daya manusia melalui pola
struktur formal dari tugas-tugas dan wewenang)[2]
Menurut Perspektif kami, bahwa
banyak hal yang berkolaborasi dengan Organisasi yang dalam hal ini berpengaruh
penting dalam kegiatan perkantoran. Maka dari itu kami memiliki argumen bahwa:
1.
Tujuan
organisasi TIDAK MUNGKIN tercapai tanpa manajemen.
2.
Manajemen
TIDAK MUNGKIN ada tanpa organisasi.
3.
Manajemen
ada, jika ada tujuan yang akan dicapai atau diselesaikan.
4.
Korelasi
antara Ilmu Komunikasi dengan organisasi terletak pada peninjauannya yang
terfokus kepada manusia-manusia yang terlibat dalam mencapai tujuan organisasi.
Tujuan utama dalam mempelajari
komunikasi adalah memperbaiki organisasi. Memperbaiki
organisasi biasanya ditafsirkan sebagai “memperbaiki hal-hal untuk
mencapai tujuan manajemen”. Dengan kata lain,
orang mempelajari komunikasi organisasi untuk menjadi
menajer yang lebih baik.
Sebagian penulis berpendapat bahwa
manajemen adalah komunikasi. Seringkali teori
tradisional dan petunjuk mengenai organisasi dan komunikasi organisasi ditulis dari suatu perspektif manajerial
dan sangat menekankan suatu pandangan obyektif.
Karenanya, kami memandang studi
komunikasi organisasi sebagai landasan kuat bagi karier
dalam manajemen, pengembangan sumber daya manusia, dan komunikasi
perusahaan, dan tugas-tugas lain yang
berorientasikan manusia dalam organisasi.
Komunikasi
Organisasi dapat didefinisikan sebagai pertunjukkan
dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian suatu
organisasi tertentu. Suatu organisasi terdiri dari dari unit-unit komunikasi
dalam hubungan hierarkis antara yang satu dengan lainnya dan berfungsi dalam
suatu lingkungan.
Komunikasi organisasi
terjadi kapan pun, setidak-tidaknya satu orang yang menduduki suatu
jabatan dalam suatu organisasi menafsirkan suatu
pertunjukkan. Karena fokusnya adalah komunikasi
di antara anggota-anggota suatu organisasi. Analisi komunikasi organisasi
menyangkut penelaahan atas banyak transaksi yang
terjadi secara simultan.
Bila kita melihat apa yang terjadi
ketika seseorang terlibat dalam komunikasi, kita menemukan
bahwa terdapat dua bentuk umum tindakan yang terjadi :
1.
Penciptaan pesan atau,
lebih tepatnya, penciptaan pertunjukan bahwa anda membawa sesuatu untuk diperhatikan
seseorang atau orang lain, menyebarkan sesuatu sehingga sesuatu tersebut dapat
terlihat secara lengkap dan menyenangkan[3].
2.
Penafsiran pesan atau
penafsiran pertunjukkan dengan menguraikan atau memahami sesuatu dengan suatu
cara tertentu.
Contoh : Ketika anda berpakaian warna merah di pagi hari, anda
menciptakan pertunjukkan bagi diri anda sendiri. Anda menempatkan diri anda
sendiri, atau setidaknya apa yang anda rasa anda pikirkan mengenai diri anda
sendiri, sehingga terpandang jelas. Anda menempatkan diri anda sendiri dalam
suatu posisi yang menyenangkan bagi pengamatan tertentu. Pakaian anda, perhiasan,
dan hiasan wajah merepresentasikan diri anda sendiri kepada orang lain.
Ada aksioma komunikasi
yang berbunyi “seseorang tidak dapat tidak berkomunikasi (A person cannot not communicate)”. [4]
Secara teknis,
seseorang tidak dapat menghindari untuk menunjukkan pesan. Apa yang anda tunjukkan
atau tempatkan sehingga terlihat jelas memang merepresentasikan anda. Anda adalah
“suatu pertunjukkan pesan yang berjalan”. Hal yang sama dapat diterapkan kepada
kantor anda, karena Kantor adalah suatu pertunjukkan-pesan bagi mereka yang mengunjunginya.
Bab III
Pembahasan
A.
Teori Umum Komunikasi Dalam Organisasi
Pada
tataran teoritis, paling tidak kita mengenal atau memahami komunikasi dari dua
perspektif, yaitu:
1.
Perspektif Kognitif. Komunikasi
menurut Colin Cherry, yang mewakili perspektif kognitif adalah penggunaan
lambang-lambang (symbols) untuk mencapai kesamaan makna atau berbagi informasi
tentang satu objek atau kejadian. Informasi adalah sesuatu (fakta, opini,
gagasan) dari satu partisipan kepada partisipan lain melalui penggunaan
kata-kata atau lambang lainnya. Jika pesan yang disampaikan diterima
secara akurat, receiver akan memiliki informasi yang sama seperti yang dimiliki
sender, oleh karena itu tindak komunikasi telah terjadi.
2.
Perspektif Perilaku. Menurut BF. Skinner
dari perspektif perilaku memandang komunikasi sebagai perilaku verbal atau
simbolik di mana sender berusaha mendapatkan satu efek yang dikehendakinya pada
receiver. Masih dalam perspektif perilaku, FEX Dance menegaskan bahwa
komunikasi adalah adanya satu respons melalui lambang-lambang verbal di mana
simbol verbal tersebut bertindak sebagai stimuli untuk memperoleh
respons. Kedua pengertian komunikasi yang disebut terakhir, mengacu pada
hubungan stimulus respons antara sender dan receiver.
Komunikasi
organisasi adalah pengiriman dan penerimaan berbagai pesan organisasi di dalam
kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi.[5]
Komunikasi formal adalah komunikasi yang disetujui oleh organisasi itu sendiri
dan sifatnya berorientasi kepentingan organisasi. Isinya berupa cara kerja di
dalam organisasi, produktivitas, dan berbagai pekerjaan yang harus dilakukan
dalam organisasi. Misalnya: memo, kebijakan, pernyataan, jumpa pers, dan
surat-surat resmi. Adapun komunikasi informal adalah komunikasi yang disetujui
secara sosial. Orientasinya bukan
pada organisasi, tetapi lebih kepada anggotanya secara individual.
Istilah
organisasi berasal dari bahasa Latin organizare, yang secara harafiah
berarti paduan dari bagian-bagian yang satu sama lainnya saling bergantung. Di
antara para ahli ada yang menyebut paduan itu sistem, ada juga yang
menamakannya sarana.
Organisasi sebagai suatu sistem yang mapan dari mereka
yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, melalui jenjang kepangkatan,
dan pembagian tugas.[6]
Organisasi sebagai sarana dimana manajemen
mengoordinasikan sumber bahan dan sumber daya manusia melalui pola struktur
formal dari tugas-tugas dan wewenang.[7]
Korelasi
antara ilmu komunikasi dengan organisasi terletak pada peninjauannya yang
terfokus kepada manusia-manusia yang terlibat dalam mencapai tujuan organisasi
itu. Ilmu komunikasi mempertanyakan bentuk komunikasi apa yang berlangsung
dalam organisasi, metode dan teknik apa yang dipergunakan, media apa yang
dipakai, bagaimana prosesnya, faktor-faktor apa yang menjadi penghambat, dan
sebagainya. Jawaban-jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah untuk
bahan telaah untuk selanjutnya menyajikan suatu konsepsi komunikasi bagi suatu
organisasi tertentu berdasarkan jenis organisasi, sifat organisasi, dan lingkup
organisasi dengan memperhitungkan situasi tertentu pada saat komunikasi
dilancarkan.
1.
Model
Komunikasi Dalam Organisasi
a) Model komunikasi linier (one-way communication), dalam
model ini komunikator memberikan suatu stimuli dan komunikan melakukan respon
yang diharapkan tanpa mengadakan seleksi dan interpretasi. Komunikasinya
bersifat monolog.
b) Model komunikasi interaksional. Sebagai kelanjutan dari
model yang pertama, pada tahap ini sudah terjadi feedback atau umpan balik.
Komunikasi yang berlangsung bersifat dua arah dan ada dialog, di mana setiap
partisipan memiliki peran ganda, dalam arti pada satu saat bertindak sebagai
komunikator, pada saat yang lain bertindak sebagai komunikan.
c) Model komunikasi transaksional. Dalam model ini
komunikasi hanya dapat dipahami dalam konteks hubungan (relationship) antara
dua orang atau lebih. Pandangan ini menekankan bahwa semua perilaku adalah
komunikatif. Tidak ada satupun yang tidak dapat dikomunikasikan.
a) Fungsi informatif. Organisasi dapat dipandang sebagai
suatu sistem pemrosesan informasi. Maksudnya, seluruh anggota dalam suatu
organisasi berharap dapat memperoleh informasi yang lebih banyak, lebih baik
dan tepat waktu. Informasi yang didapat memungkinkan setiap anggota organisasi
dapat melaksanakan pekerjaannya secara lebih pasti. Orang-orang dalam tataran
manajemen membutuhkan informasi untuk membuat suatu kebijakan organisasi
ataupun guna mengatasi konflik yang terjadi di dalam organisasi. Sedangkan
karyawan (bawahan) membutuhkan informasi untuk melaksanakan pekerjaan, di
samping itu juga informasi tentang jaminan keamanan, jaminan sosial dan
kesehatan, izin cuti, dan sebagainya.
b) Fungsi regulatif. Fungsi ini berkaitan dengan
peraturan-peraturan yang berlaku dalam suatu organisasi. Terdapat dua hal yang
berpengaruh terhadap fungsi regulatif, yaitu:
1.
Berkaitan
dengan orang-orang yang berada dalam tataran manajemen, yaitu mereka yang
memiliki kewenangan untuk mengendalikan semua informasi yang disampaikan. Juga memberi perintah atau intruksi supaya
perintah-perintahnya dilaksanakan sebagaimana semestinya.
2.
Berkaitan
dengan pesan. Pesan-pesan regulatif pada dasarnya berorientasi pada kerja.
Artinya, bawahan membutuhkan kepastian peraturan tentang pekerjaan yang boleh
dan tidak boleh untuk dilaksanakan.
c) Fungsi persuasif. Dalam mengatur suatu organisasi,
kekuasaan dan kewenangan tidak akan selalu membawa hasil sesuai dengan yang
diharapkan. Adanya kenyataan ini, maka banyak pimpinan yang lebih suka untuk
mempersuasi bawahannya daripada memberi perintah. Sebab pekerjaan yang
dilakukan secara sukarela oleh karyawan akan menghasilkan kepedulian yang lebih
besar dibanding kalau pimpinan sering memperlihatkan kekuasaan dan
kewenangannya.
d) Fungsi integratif. Setiap organisasi berusaha untuk
menyediakan saluran yang memungkinkan karyawan dapat melaksanakan tugas dan
pekerjaan dengan baik. Ada dua saluran komunikasi yang dapat mewujudkan hal
tersebut, yaitu:
1.
Saluran
komunikasi formal seperti penerbitan khusus dalam organisasi tersebut (buletin,
newsletter) dan laporan kemajuan organisasi.
2.
Saluran
komunikasi informal seperti perbincangan antar pribadi selama masa istirahat
kerja, pertandingan olahraga, ataupun kegiatan darmawisata. Pelaksanaan
aktivitas ini akan menumbuhkan keinginan untuk berpartisipasi yang lebih besar
dalam diri karyawan terhadap organisasi.
3.
Prinsip-Prinsip Teori Management Klasikal
Griffin membahas komunikasi organisasi mengikuti teori
management klasik, yang menempatkan suatu bayaran pada daya produksi, presisi,
dan efisiensi. Adapun prinsip-prinsip dari teori management klasikal adalah
sebagai berikut:[10]
1.
Kesatuan komando- suatu karyawan hanya menerima pesan dari
satu atasan.
2.
Rantai Skalar- garis otoritas dari atasan ke bawahan, yang
bergerak dari atas sampai ke bawah untuk organisasi; rantai ini, yang
diakibatkan oleh prinsip kesatuan komando, harus digunakan sebagai suatu
saluran untuk pengambilan keputusan dan komunikasi.
3.
Divisi Pekerjaan- manegement perlu arahan untuk mencapai
suatu derajat tingkat spesialisasi yang dirancang untuk mencapai sasaran
organisasi dengan suatu cara efisien.
4.
Tanggung Jawab Dan Otoritas- perhatian harus dibayarkan kepada hak untuk
memberi order dan ke ketaatan seksama; suatu ketepatan keseimbangan antara
tanggung jawab dan otoritas harus dicapai.
5.
Disiplin- ketaatan, aplikasi, energi, perilaku, dan tanda rasa
hormat yang keluar seturut kebiasaan dan aturan disetujui.
6.
Mengebawahkan Kepentingan Individu Dari
Kepentingan Umum-
melalui contoh peneguhan, persetujuan adil, dan pengawasan terus-menerus.
4.
Pendekatan
Komunikasi Dalam Organisasi
1.
Pendekatan sistem. Karl Weick
(pelopor pendekatan sistem informasi) menganggap struktur hirarkhi, garis
rantai komando komunikasi, prosedur operasi standar merupakan mungsuh dari
inovasi. Ia melihat organisasi sebagai kehidupan organis yang harus terus
menerus beradaptasi kepada suatu perubahan lingkungan dalam orde untuk
mempertahankan hidup. Pengorganisasian merupakan proses memahami informasi yang
samar-samar melalui pembuatan, pemilihan, dan penyimpanan informasi. Weick
meyakini organisasi akan bertahan dan tumbuh subur hanya ketika anggota-anggotanya
mengikutsertakan banyak kebebasan (free-flowing) dan komunikasi
interaktif. Untuk itu, ketika dihadapkan pada situasi yang mengacaukan, manajer
harus bertumpu pada komunikasi dari pada aturan-aturan. Teori Weick tentang
pengorganisasian mempunyai arti penting dalam bidang komunikasi karena ia
menggunakan komunikasi sebagai basis pengorganisasian manusia dan memberikan
dasar logika untuk memahami bagaimana orang berorganisasi. Menurutnya,
kegiatan-kegiatan pengorganisasian memenuhi fungsi pengurangan ketidakpastian
dari informasi yang diterima dari lingkungan atau wilayah sekeliling. Ia
menggunakan istilah ketidakjelasan untuk mengatakan ketidakpastian, atau
keruwetan, kerancuan, dan kurangnya predictability. Semua informasi dari
lingkungan sedikit banyak sifatnya tidak jelas, dan aktivitas-aktivitas
pengorganisasian dirancang untuk mengurangi ketidakpastian atau ketidakjelasan.
Weick memandang pengorganisasian sebagai proses
evolusioner yang bersandar pada sebuah rangkaian tiga proses:
a) Penentuan (enachment)
b) Seleksi (selection)
c) Penyimpanan (retention)
2.
Pendekatan budaya. Asumsi interaksi simbolik mengatakan bahwa manusia
bertindak tentang sesuatu berdasarkan pada pemaknaan yang mereka miliki tentang
sesuatu itu. Mendapat dorongan
besar dari antropolog Clifford Geertz, ahli teori dan ethnografi,
peneliti budaya yang melihat makna bersama yang unik adalah ditentukan
organisasi. Organisasi dipandang sebagai budaya. Suatu organisasi merupakan
sebuah cara hidup (way of live) bagi para anggotanya, membentuk sebuah
realita bersama yang membedakannya dari budaya-budaya lainnya.
Pacanowsky dan para teoris interpretatif lainnya menganggap bahwa
budaya bukan sesuatu yang dipunyai oleh sebuah organisasi, tetapi budaya adalah
sesuatu suatu organisasi. budaya organisasi dihasilkan melalui interaksi dari
anggota-anggotanya. Tindakan-tindakan yang berorientasi tugas tidak hanya
mencapai sasaran-sasaran jangka pendek tetapi juga menciptakan atau memperkuat
cara-cara yang lain selain perilaku tugas ”resmi” dari para karyawan, karena
aktivitas-aktivitas sehari-hari yang paling membumi juga memberi kontribusi
bagi budaya tersebut. Pendekatan ini mengkaji cara individu-individu
menggunakan cerita-cerita, ritual, simbol-simbol, dan tipe-tipe aktivitas
lainnya untuk memproduksi dan mereproduksi seperangkat pemahaman.
3.
Pendekatan kritik. Stan Deetz,
salah seorang penganut pendekatan ini, menganggap bahwa kepentingan-kepentingan
perusahaan sudah mendominasi hampir semua aspek lainnya dalam masyarakat, dan
kehidupan kita banyak ditentukan oleh keputusan-keputusan yang dibuat atas
kepentingan pengaturan organisasi-organisasi perusahaan, atau manajerialisme.
Bahasa adalah medium utama dimana realitas sosial diproduksi dan direproduksi.
Manajer dapat menciptakan kesehatan organisasi dan
nilai-nilai demokrasi dengan mengkoordinasikan partisipasi stakeholder
dalam keputusan-keputusan korporat.
Dengan
landasan konsep-konsep komunikasi dan organisasi sebagaimana yang telah
diuraikan, maka kita dapat memberi batasan tentang komunikasi dalam organisasi
secara sederhana, yaitu komunikasi antarmanusia (human communication) yang
terjadi dalam kontek organisasi. Atau dengan meminjam definisi dari
Goldhaber, komunikasi organisasi diberi batasan sebagai arus pesan dalam suatu
jaringan yang sifat hubungannya saling bergabung satu sama lain (the flow
of messages within a network of interdependent relationships).
Sebagaimana
telah disebut, bahwa arus komunikasi dalam organisasi meliputi komunikasi
vertikal dan komunikasi horisontal. Masing-masing arus komunikasi
tersebut mempunyai perbedaan fungsi yang sangat tegas. Ronald Adler dan
George Rodman, mencoba menguraikan masing-masing, fungsi dari kedua arus
komunikasi dalam organisasi tersebut sebagai berikut:[11]
- Downward communication, yaitu komunikasi yang berlangsung ketika orang-orang yang berada pada tataran manajemen mengirimkan pesan kepada bawahannya. Fungsi arus komunikasi dari atas ke bawah ini adalah:a) Pemberian atau penyimpanan instruksi kerja (job instruction)b) Penjelasan dari pimpinan tentang mengapa suatu tugas perlu untuk dilaksanakan (job retionnale)c) Penyampaian informasi mengenai peraturan-peraturan yang berlaku (procedures and practices)d) Pemberian motivasi kepada karyawan untuk bekerja lebih baik.
- Upward communication, yaitu komunikasi yang terjadi ketika bawahan (subordinate) mengirim pesan kepada atasannya. Fungsi arus komunikasi dari bawah ke atas ini adalah:a) Penyampaian informai tentang pekerjaan pekerjaan ataupun tugas yang sudah dilaksanakanb) Penyampaian informasi tentang persoalan-persoalan pekerjaan ataupun tugas yang tidak dapat diselesaikan oleh bawahanc) Penyampaian saran-saran perbaikan dari bawahand) Penyampaian keluhan dari bawahan tentang dirinya sendiri maupun pekerjaannya.
- Horizontal communication, yaitu tindak komunikasi ini berlangsung di antara para karyawan ataupun bagian yang memiliki kedudukan yang setara. Fungsi arus komunikasi horisontal ini adalah:a) Memperbaiki koordinasi tugasb) Upaya pemecahan masalahc) Saling berbagi informasid) Upaya pemecahan konflik. e) Membina hubungan melalui kegiatan bersama.
5.
Proses
Komunikasi
Proses komunikasi diawali oleh
sumber (source) baik individu
ataupun kelompok yang berusaha berkomunikasi dengan individu atau kelompok
lain, sebagai berikut:
- Langkah pertama yang dilakukan sumber adalah ideation yaitu penciptaan satu gagasan atau pemilihan seperangkat informasi untuk dikomunikasikan. Ideation ini merupakan landasan bagi suatu pesan yang akan disampaikan.
- Langkah kedua dalam penciptaan suatu pesan adalah encoding, yaitu sumber menerjemahkan informasi atau gagasan dalam wujud kata-kaya, tanda-tanda atau lambang-lambang yang disengaja untuk menyampaikan informasi dan diharapkan mempunyai efek terhadap orang lain. Pesan atau message adalah alat-alat di mana sumber mengekspresikan gagasannya dalam bentuk bahasa lisan, bahasa tulisan ataupun perilaku nonverbal seperti bahasa isyarat, ekspresi wajah atau gambar-gambar.
- Langkah ketiga dalam proses komunikasi adalah penyampaian pesan yang telah disandi (encode). Sumber menyampaikan pesan kepada penerima dengan cara berbicara, menulis, menggambar ataupun melalui suatu tindakan tertentu. Pada langkah ketiga ini, kita mengenal istilah channel atau saluran, yaitu alat-alat untuk menyampaikan suatu pesan. Saluran untuk komunikasi lisan adalah komunikasi tatap muka, radio dan telepon. Sedangkan saluran untuk komunikasi tertulis meliputi setiap materi yang tertulis ataupun sebuah media yang dapat mereproduksi kata-kata tertulis seperti: televisi, kaset, video atau OHP (overheadprojector). Sumber berusaha untuk mebebaskan saluran komunikasi dari gangguan ataupun hambatan, sehingga pesan dapat sampai kepada penerima seperti yang dikehendaki.
- Langkah keempat, perhatian dialihkan kepada penerima pesan. Jika pesan itu bersifat lisan, maka penerima perlu menjadi seorang pendengar yang baik, karena jika penerima tidak mendengar, pesan tersebut akan hilang. Dalam proses ini, penerima melakukan decoding, yaitu memberikan penafsiran interpretasi terhadap pesan yang disampaikan kepadanya. Pemahaman (understanding) merupakan kunci untuk melakukan decoding dan hanya terjadi dalam pikiran penerima. Akhirnya penerimalah yang akan menentukan bagaimana memahami suatu pesan dan bagaimana pula memberikan respons terhadap pesan tersebut.
- Proses terakhir dalam proses komunikasi adalah feedback atau umpan balik yang memungkinkan sumber mempertimbangkan kembali pesan yang telah disampaikannya kepada penerima. Respons atau umpan balik dari penerima terhadap pesan yang disampaikan sumber dapat berwujud kata-kata ataupun tindakan-tindakan tertentu. Penerima bisa mengabaikan pesan tersebut ataupun menyimpannya. Umpan balik inilah yang dapat dijadikan landasan untuk mengevaluasi efektivitas komunikasi.
6.
Hambatan
Komunikasi Dalam Organisasi
- Hambatan Teknis. Keterbatasan fasilitas dan peralatan komunikasi. Dari sisi teknologi, semakin berkurang dengan adanya temuan baru dibidang kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, sehingga saluran komunikasi dapat diandalkan dan efesien sebagai media komunikasi. Menurut Cruden dan Sherman, jenis hambatan teknis dari komunikasi :[12]
a)
Tidak adanya rencana
atau prosedur kerja yang jelas
b)
Kurangnya informasi
atau penjelasan
c)
Kurangnya ketrampilan
membaca
d)
Pemilihan media
[saluran] yang kurang tepat.
- Hambatan Semantik. Gangguan semantik menjadi hambatan dalam proses penyampaian pengertian atau idea secara secara efektif. Definisi semantik sebagai studi atas pengertian, yang diungkapkan lewat bahasa. Kata-kata membantu proses pertukaran timbal balik arti dan pengertia [komunikator dan komunikan], tetapi seringkali proses penafsirannya keliru. TIDAK ADANYA hubungan antara Simbol [kata] dan apa yang disimbolkan [arti atau penafsiran], dapat mengakibatkan kata yang dipakai ditafsirkan sangat berbeda dari apa yang dimaksudkan sebenarnya. Untuk menghindari mis komunikasi semacam ini, seorang komunikator harus memilih kata-kata yang tepat sesuai dengan karakteristik komunikannya, dan melihat kemungkinan penafsiran terhadap kata-kata yang dipakainya.
- Hambatan Manusiawi.Terjadi karena adanya faktor, emosi dan prasangka pribadi, persepsi, kecakapan atau ketidakcakapan, kemampuan atau ketidakmampuan alat-alat pancaindera seseorang, dll. Menurut Cruden dan Sherman :
a)
Hambatan yang berasal dari perbedaan individual manusia.Perbedaan
persepsi, perbedaan umur, perbedaan keadaan emosi, ketrampilan
mendengarkan,perbedaan status, pencairan informasi, penyaringan informasi.
b)
Hambatan yang ditimbulkan oleh iklim psikologis dalam organisasi.Suasana
iklim kerja dapat mempengaruhi sikap dan perilaku staf dan efektifitas
komunikasi organisasi.
B.
Teori Khusus Komunikasi Dalam Organisasi
Sebenarnya, kami tidak ada menemui teori khusus pada komunikasi
dalam organisasi. Namun, pada makalah ini kami mencantumkan teori khusus,
dikarenakan kami memisahkan antara teori umum yang bersifat barat dengan teori
khusus yang kami perbuat dengan latar perspektif islam.
Peradaban
masyarakat Madinah pada masa awal adalah bukti konkret keberhasilan dakwah
Rasulullah Muhammad SAW. Digambarkan, hubungan sosial masyarakatnya sangat
hangat dan indah, saling menghargai dan menghormati di tengah-tengah perbedaan,
tidak saling memaksakan kehendak dan pendapat sendiri. Keberhasilan ini tidak
lepas dari kemampuan Rasulullah dalam mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi
dengan baik yang ditopang dengan keluhuran budi pekerti. Jika ditelusuri sirah
(sejarah) Nabi, akan dijumpai bahwa keberhasilan itu karena beliau menerapkan
seluruh prinsip-prinsip komunikasi dalam al-Qur'an secara konsisten. Tulisan
ini mencoba menjelaskan tentang prinsip-prinsip komunikasi dengan mengambil
inspirasi dari al-Qur’an, bagaimana harus dipahami dan dimaknai pada masa
modern dewasa ini sebagai landasan etis untuk pengembangan ilmu komunikasi yang
lebih luhur dan mencerahkan.
MANUSIA,
di samping makhluk beragama, adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu
hidup bermasyarakat dan senantiasa membutuhkan peran-serta pihak lain.
Artinya, berinteraksi sosial atau hidup bermasyarakat merupakan sesuatu yang
tumbuh sesuai dengan fitrah dan kebutuhan kemanusiaan. Dalam hal ini, al-Qur`an
banyak memberikan arahan atau nilai-nilai positif yang harus dikembangkan; juga
nilai-nilai negatif yang semestinya untuk dihindarkan.
Bahkan,
di dalam QS. al-Hujurāt/49: 13, penggunaan redaksi ya ayyuhan-nas ―walaupun
ayatnya adalah madaniyah― menunjukkan bahwa saling mengenal yang dimaksudkan
itu tidak membedakan suku, ras, bahasa, kebudayaan, bahkan ideologi. Maka,
ketika manusia tidak peduli dengan lainnya, tidak mau saling mengenal atau,
dengan istilah lain, ia lebih menonjolkan sikap egoistiknya, maka berarti ia
telah kehilangan sifat dasar kemanusiaannya.
Manusia
sebagai makhluk sosial menduduki posisi yang sangat penting dan strategis.
Sebab, hanya manusialah satu-satunya makhluk yang diberi karunia bisa berbicara.
Dengan kemampuan bicara itulah, memungkinkan manusia membangun hubungan
sosialnya. Sebagaimana bisa dipahami dari firman Allah علمه البيان “mengajarnya
pandai berbicara” (al-Rahmân/55: 4). Banyak penafsiran yang muncul berkenaan
dengan kata al-bayān, namun yang paling kuat adalah berbicara (al-nuthq,
al-kalām).[13] Hanya
saja, menurut Ibn 'Asyur, kata al-bayān juga mencakup isyarah-isyarah lainnya,
seperti kerlingan mata, anggukan kepala. Dengan demikian, al-bayān merupakan
karunia yang terbesar bagi manusia. Bukan saja ia dapat dikenali jati dirinya,
akan tetapi, ia menjadi pembeda dari binatang.[14]
Kemampuan
bicara berarti kemampuan berkomunikasi. Berkomunikasi adalah sesuatu yang
dihajatkan di hampir setiap kegiatan manusia. Dalam sebuah penelitian telah
dibuktikan, hampir 75 % sejak bangun dari tidur manusia berada dalam kegiatan
komunikasi. Dengan komunikasi kita dapat membentuk saling pengertian dan
menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan,
dan melestarikan peradaban. Akan tetapi, dengan komunikasi, juga kita dapat
menumbuh-suburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian,
merintangi kemajuan, dan menghambat pemikiran.[15]
Kenyataan
ini sekaligus memberi gambaran betapa kegiatan komunikasi bukanlah sesuatu
yang mudah dilakukan oleh setiap manusia. Anggapan ini barangkali didasarkan
atas dasar asumsi bahwa komunikasi merupakan suatu yang lumrah dan alamiah yang
tidak perlu dipermasalahkan. Sedemikian lumrahnya, sehingga seseorang
cenderung tidak melihat kompleksitasnya atau tidak menyadari bahwa dirinya
sebenarnya berkekurangan atau tidak berkompeten dalam kegiatan pribadi yang
paling pokok ini. Dengan demikian, berkomunikasi secara efektif sebenarnya
merupakan suatu perbuatan yang paling sukar dan kompleks yang pernah dilakukan
seseorang.[16]
Dalam
sebuah ungkapan Arab disebutkan :الكلام صفة المتكلم Ucapan atau perkataan menggambarkan
si pembicara'.[17] Dari
pernyataan ini dapat dipahami bahwa perkataan/ucapan, atau dengan istilah
lain, kemampuan berkomunikasi akan mencerminkan apakah seseorang adalah
terpelajar atau tidak. Dengan demikian, berkomunikasi tidaklah identik dengan
menyampaikan sebuah informasi. Para pakar komunikasi, sebagaimana yang dikutip
oleh Jalaluddin Rahmat, berpendapat bahwa setiap komunikasi mengandung dua
aspek, yaitu aspek isi dan aspek kandungan, di mana yang kedua mengklasifikasikan
yang pertama dan karena itu merupakan metakomunikasi (di luar komunikasi).
Komunikasi memang bukan hanya menyampaikan informasi tetapi yang terpenting
adalah mengatur hubungan sosial di antara komunikan.[18]
Untuk
itu, demi terciptanya suasana kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat,
maka harus dikembangkan bentuk-bentuk komunikasi yang beradab, yang digambarkan
oleh Jalaludin Rahmat, yaitu sebuah bentuk komunikasi di mana sang
komunikator akan menghargai apa yang mereka hargai; ia berempati dan berusaha
memahami realitas dari perspektif mereka. Pengetahuannya tentang khalayak
bukanlah untuk menipu, tetapi untuk memahami mereka, dan bernegosiasi dengan
mereka, serta bersama-sama saling memuliakan kemanusiaannya. Adapun gambaran
kebalikannya yaitu apabila sang komunikator menjadikan pihak lain sebagai
obyek; ia hanya menuntut agar orang lain bias memahami pendapatnya; sementara
itu, ia sendiri tidak bisa menghormati pendapat orang lain. Dalam komunikasi
bentuk kedua ini, bukan saja ia telah mendehumanisasikan mereka, tetapi juga
dirinya sendiri.[19]
Prinsip-prinsip
Komunikasi dalam al-Qur'an
Ada hal penting yang lebih dulu dijelaskan terkait dengan tema bahasan di atas. Pertama, al-Qur'an tidak memberikan uraian secara spesifik tentang komunikasi. Kata 'komunikasi' berasal dari bahasa Latin, communicatio, dan bersumber dari kata cummunis yang berarti sama, maksudnya sama makna. Artinya, suatu komunikasi dikatakan komunikatif jika antara masing-masing pihak mengerti bahasa yang digunakan, dan paham terhadap apa yang dipercakapkan.[20]
Ada hal penting yang lebih dulu dijelaskan terkait dengan tema bahasan di atas. Pertama, al-Qur'an tidak memberikan uraian secara spesifik tentang komunikasi. Kata 'komunikasi' berasal dari bahasa Latin, communicatio, dan bersumber dari kata cummunis yang berarti sama, maksudnya sama makna. Artinya, suatu komunikasi dikatakan komunikatif jika antara masing-masing pihak mengerti bahasa yang digunakan, dan paham terhadap apa yang dipercakapkan.[20]
Dalam
proses komunikasi, paling tidak, terdapat tiga unsur, yaitu komunikator, media
dan komunikan.[21]
Para
pakar komunikasi juga menjelaskan bahwa komunikasi tidak hanya bersifat
informatif, yakni agar orang lain mengerti dan paham, tetapi juga persuasif,
yaitu agar orang lain mau menerima ajaran atau informasi yang disampaikan,
melakukan kegiatan atau perbuatan, dan lain-lain. Bahkan menurut Hovland, seperti
yang dikutip oleh Onong, bahwa berkomunikasi bukan hanya terkait dengan
penyampaian informasi, akan tetapi juga bertujuan pembentukan pendapat umum
(public opinion) dan sikap publik (public attitude).[22]
Kedua,
meskipun al-Qur'an secara spesifik tidak membicarakan masalah komunikasi,
namun, jika diteliti ada banyak ayat yang memberikan gambaran umum
prinsip-prinsip komunikasi. Dalam hal ini, penulis akan merujuk kepada
term-term khusus yang diasumsikan sebagai penjelasan dari prinsip-prinsip
komunikasi tersebut. Antara lain, term qaulan balighan, qaulan maisuran, qaulan
kariman, qaulan ma’rufan, qaulan layyinan, qaulan sadidan, juga termasuk
qaul al-zur, dan lain-lain.
1.
Prinsip
Qaul baligh
Di
dalam al-Qur'an term qaul baligh hanya disebutkan sekali, yaitu surah an-Nisa':
63:
فكيف إذا أصابتهم مصيبة بما قدمت أيديهم ثم جاءوك يحلفون بالله إن أردنا إلا إحسانا وتوفيقا, أولئك الذين يعلم الله ما فى قلوبهم فأعرض عنهم و عظهم و قل لهم فى أنفسهم قولا بليغا (النساء/4: 62-63)
فكيف إذا أصابتهم مصيبة بما قدمت أيديهم ثم جاءوك يحلفون بالله إن أردنا إلا إحسانا وتوفيقا, أولئك الذين يعلم الله ما فى قلوبهم فأعرض عنهم و عظهم و قل لهم فى أنفسهم قولا بليغا (النساء/4: 62-63)
"Maka
bagaimana halnya apabila (kelak) musibah menimpa mereka (orang munafik)
disebabkan perbuatan tangannya sendiri, kemudian mereka datang kepadamu
(Muhammad) sambil bersumpah, “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki
selain kebaikan dan kedamaian.” Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya)
Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu
dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan
yang membekas pada jiwanya. (Q.s. an-Nisa'/4: 62-63)
Ayat
ini menginformasikan tentang kebusukan hati kaum munafik, bahwa mereka tidak
akan pernah bertahkim kepada Rasulullah saw, meski mereka bersumpah atas nama
Allah, kalau apa yang mereka lakukan semata-mata hanya menghendaki kebaikan.
Walapun begitu, beliau dilarang menghukum mereka secara fisik (makna dari
“berpalinglah dari mereka”), akan tetapi, cukup memberi nasehat sekaligus
ancaman bahwa perbuatan buruknya akan mengakibatkan turunnya siksa Allah,[23]
dan berkata kepada mereka dengan perkataan yang baligh.
Term
balīgh, yang berasal dari ba la gha, oleh para ahli bahasa dipahami sampainya
sesuatu kepada sesuatu yang lain. Juga bisa dimaknai dengan “cukup”
(al-kifāyah). Sehingga perkataan yang balīgh adalah perkataan yang merasuk dan
membekas dalam jiwa.[24]Sementara
menurut al-Ishfahani,[25]
bahwa perkataan tersebut mengandung tiga unsur utama, yaitu bahasanya tepat,
sesuai dengan yang dikehendaki, dan isi perkataan adalah suatu kebenaran.
Sedangkan term balīgh dalam konteks pembicara dan lawan bicara, adalah bahwa
si pembicara secara sengaja hendak menyampaikan sesuatu dengan cara yang benar
agar bisa diterima oleh pihak yang diajak bicara. Secara rinci, para pakar
sastra, seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab, membuat kriteria-kriteria
khusus tentang suatu pesan dianggap balīgh, antara lain:[26]
1.
Tertampungnya seluruh
pesan dalam kalimat yang disampaikan
2.
Kalimatnya tidak
bertele-tele, juga tidak terlalu pendek sehingga pengertiannya menjadi kabur
3.
Pilihan kosa katanya
tidak dirasakan asing bagi si pendengar
4.
Kesesuaian kandungan
dan gaya bahasa dengan lawan bicara
5.
Kesesuaian dengan tata
bahasa.
2.
Prinsip
Qaul karim
Term
ini ditemukan di dalam al-Qur'an hanya sekali, yaitu surah al-Isra': 23:
و قضى ربك الا تعبدوا إلا إياه و بالوالدين احسانا, امايبلغن عندك الكبر احدهما او كلاهما فلا تقل لهما اف ولا تنهرهما و قل لهما قولا كريما (الاسراء/17: 23):
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik." (Q.s. al-Isra'/17: 23(Ayat di atas menginformasikan bahwa ada dua ketetapan Allah yang menjadi kewajiban setiap manusia, yaitu menyembah Allah dan berbakti kepada kedua orang tua.
و قضى ربك الا تعبدوا إلا إياه و بالوالدين احسانا, امايبلغن عندك الكبر احدهما او كلاهما فلا تقل لهما اف ولا تنهرهما و قل لهما قولا كريما (الاسراء/17: 23):
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik." (Q.s. al-Isra'/17: 23(Ayat di atas menginformasikan bahwa ada dua ketetapan Allah yang menjadi kewajiban setiap manusia, yaitu menyembah Allah dan berbakti kepada kedua orang tua.
Ajaran
ini sebenarnya ajaran kemanusiaan yang bersifat umum, karena setiap manusia
pasti menyandang dua predikat ini sekaligus, yakni sebagai makhluk ciptaan
Allah, yang oleh karenanya harus menghamba kepada-Nya semata; dan anak dari
kedua orang tuanya. Sebab, kedua orang tuanyalah yang menjadi perantara
kehadirannya di muka bumi ini. Bukan hanya itu, struktur ayat ini, di mana dua
pernyataan tersebut dirangkai dengan huruf wawu 'athaf, yang salah satu
fungsinya adalah menggabungkan dua pernyataan yang tidak bisa saling
dipisahkan, menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orag tua menjadi parameter
bagi kualitas penghambaan manusia kepada Allah. Dalam sebuah hadis dinyatakan:
Dari Abi Hurairah r.a., dari Nabi Saw. Bersabda, "Merugilah 3 x, seseorang yang menemukan salah satu atau kedua orang tuanya sudah lanjut usia tidak bisa masuk surga. (H.r. Ahmad).
Dari Abi Hurairah r.a., dari Nabi Saw. Bersabda, "Merugilah 3 x, seseorang yang menemukan salah satu atau kedua orang tuanya sudah lanjut usia tidak bisa masuk surga. (H.r. Ahmad).
Berkaitan
dengan inilah, al-Qur'an memberikan petunjuk bagaimana cara berprilaku dan
berkomunikasi secara baik dan benar kepada kedua orang tua, terutama sekali, di
saat keduanya atau salah satunya sudah berusia lanjut. Dalam hal ini, al-Qur'an
menggunakan term karīm, yang secara kebahasaan berarti mulia. Term ini bisa
disandarkan kepada Allah, misalnya, Allah Maha Karim, artinya Allah Maha
Pemurah; juga bisa disandarkan kepada manusia, yaitu menyangkut keluhuran
akhlak dan kebaikan prilakunya. Artinya, seseorang akan dikatakan karim, jika
kedua hal itu benar-benar terbukti dan terlihat dalam kesehariannya.[27]Namun,
jika term karīm dirangkai dengan kata qaul atau perkataan, maka berarti suatu
perkataan yang menjadikan pihak lain tetap dalam kemuliaan, atau perkataan yang
membawa manfaat bagi pihak lain tanpa bermaksud merendahkan.[28]
Di sinilah Sayyid Quthb menyatakan bahwa perkataan yang karīm, dalam konteks
hubungan dengan kedua orang tua, pada hakikatnya adalah tingkatan yang
tertinggi yang harus dilakukan oleh seorang anak. Yakni, bagaimana ia berkata
kepadanya, namun keduanya tetap merasa dimuliakan dan dihormati.[29]
Ibn 'Asyur menyatakan bahwa qaul karīm adalah perkataan yang tidak memojokkan
pihak lain yang membuat dirinya merasa seakan terhina.
Contoh
yang paling jelas adalah ketika seorang anak ingin menasehati orang tuanya yang
salah, yakni dengan tetap menjaga sopan santun dan tidak bermaksud menggurui,
apalagi sampai menyinggung perasaannya.[30]
Yang pasti qaul karīm, adalah setiap perkataan yang dikenal lembut, baik, yang
mengandung unsur pemuliaan dan penghormatan.
3.
Prinsip
Qaul Maisūr
Di
dalam al-Qur'an hanya ditemukan sekali saja, yaitu surah al-Isra'/17: 28:
"Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut." (Q.s. al-Isra'/17: 28)
"Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut." (Q.s. al-Isra'/17: 28)
Ibn
Zaid berkata, "Ayat ini turun berkenaan dengan kasus suatu kaum yang minta
sesuatu kepada Rasulullah saw namun beliau tidak mengabulkan
permintaannya, sebab beliau tahu kalau mereka seringkali membelanjakan harta
kepada hal-hal yang tidak bermanfaat. Sehingga berpalingnya beliau adalah
semata-mata karena berharap pahala. Sebab, dengan begitu beliau tidak mendukung
kebiasaan buruknya dalam menghambur-hamburkan harta. Namun begitu, harus tetap
berkata dengan perkataan yang menyenangkan atau melegakan."[31]
Ayat
ini juga mengajarkan, apabila kita tidak bisa memberi atau mengabulkan
permintaan karena memang tidak ada, maka harus disertai dengan perkataan yang
baik dan alasan-alasan yang rasional. Pada prinsipnya, qaul maisūr adalah
segala bentuk perkataan yang baik, lembut, dan melegakan.[32]
Ada juga yang menjelaskan, qaul maisūr adalah menjawab dengan cara yang sangat
baik, perkataan yang lembut dan tidak mengada-ada. Ada juga yang mengidentikkan
qaul maisūr dengan qaul ma'rūf. Artinya, perkataan yang maisūr adalah
ucapan yang wajar dan sudah dikenal sebagai perkataan yang baik bagi masyarakat
setempat.[33]
4.
Prinsip
Qaul ma'ruf
Di
dalam al-Qur'an term ini disebutkan sebanyak empat kali, yaitu Q.s.
al-Baqarah/2: 235, al-Nisa'/4: 5 dan 8, al-Ahzab/33: 32. Di dalam Q.s.
al-Baqarah/2: 235, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks meminang wanita yang
telah ditinggal mati suaminya. Sementara di dalam Q.s. an-Nisa'/4: 5 dan 8,
qaul ma'ruf dinyatakan dalam konteks tanggung jawab atas harta seorang anak
yang belum memanfaatkannya secara benar (safih). Sedangkan di Q.s.
al-Ahzab/33: 32, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks istri-istri Nabi Saw. Kata
ma'ruf disebutkan di dalam al-Qur'an sebanyak 38 kali, yang bisa diperinci
sebagai berikut:
1.
Terkait dengan tebusan
dalam masalah pembunuhan setelah mendapatkan pemaafan terkait dengan wasiyat
2.
Terkait dengan
persoalan thalaq, nafkah, mahar, 'iddah, pergaulan suami-istri
3.
Terkait dengan dakwah
4.
Terkait dengan
pengelolaan harta anak yatim
5.
Terkait dengan pembicaraan atau ucapan
6.
Terkait dengan
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya
Menurut
al-Ishfahani, term ma'ruf menyangkut segala bentuk perbuatan yang dinilai baik
oleh akal dan syara'.[34]
Dari sinilah kemudian muncul pengertian bahwa ma'ruf adalah kebaikan yang
bersifat lokal. Sebab, jika akal dijadikan sebagai dasar pertimbangan dari
setiap kebaikan yang muncul, maka tidak akan sama dari masing-masing daerah dan
lokasi.
Misalnya
dalam kasus pembagian warisan, dimana saat itu juga hadir beberapa kerabat yang
ternyata tidak memperoleh bagian warisan, juga orang-orang miskin dan anak-anak
yatim, oleh al-Qur'an diperintahkan agar berkata kepada mereka dengan perkataan
yang ma'ruf. Hal ini sangatlah tepat, karena perkataan baik tidak bias
diformulasikan secara pasti, karena hanya akan membatasi dari apa yang
dikehandaki oleh al-Qur'an. Di samping itu, juga akan terkait dengan budaya dan
adat istiadat yang berlaku di masing-masing daerah. Boleh jadi, suatu perkataan
dianggap ma'ruf oleh suatu daerah, ternyata tidak ma'ruf bagi daerah lain.
Begitu juga, dalam kasus-kasus lain sebagaimana yang diungkapkan oleh
al-Qur'an, seperti meminang wanita yang sudah habis masa 'iddahnya, menasehati
istri, memberi pengertian kepada anak yatim menyangktu pengelolaan hartanya.
Sementara menurut Ibn 'Asyur, qaul ma'ruf adalah perkataan baik yang melegakan
dan menyenangkan lawan bicaranya.[35]
Dalam
beberapa konteks al-Razi menjelaskan, bahwa qaul ma'ruf adalah perkataan yang
baik, yang menancap ke dalam jiwa, sehingga yang diajak bicara tidak merasa
dianggap bodoh (safih);[36]
perkataan yang mengandung penyesalan ketika tidak bisa memberi atau membantu;[37]
Perkataan yang tidak menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai perkataan yang baik.[38]
5.
Prinsip
Qaul layyin
Di
dalam al-Qur'an hanya ditemukan sekali saja, Q.s. Thaha/ 20: 44: “Pergilah kamu
bedua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia benar-benar telah melampaui batas; maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah
lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut." (Q.s. Thaha/20: 43-44)
Ayat
ini memaparkan kisah nabi Musa dan Harun ketika diperintahkan untuk
menghadapi Fir'aun, yaitu agar keduanya berkata kepada Fir'aun dengan
perkataan yang layyin. Asal makna layyin adalah lembut atau gemulai, yang pada
mulanya digunakan untuk menunjuk gerakan tubuh. Kemudian kata ini dipinjam
(isti'arah) untuk menunjukkan perkataan yang lembut.[39]
Sementara yang dimaksud dengan qaul layyin adalah perkataan yang mengandung
anjuran, ajakan, pemberian contoh, di mana si pembicara berusaha meyakinkan
pihak lain bahwa apa yang disampaikan adalah benar dan rasional, dengan tidak
bermaksud merendahkan pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara
tersebut. Dengan demikian, qaul layyin adalah salah satu metode dakwah, karena
tujuan utama dakwah adalah mengajak orang lain kepada kebenaran, bukan untuk
memaksa dan unjuk kekuatan.[40]
Ada
hal yang menarik untuk dikritisi, misalnya, kenapa Musa harus berkata lembut
padahal Fir'aun adalah tokoh yang sangat jahat. Menurut al-Razi, ad dua alasan,
pertama, sebab Musa pernah dididik dan ditanggung kehidupannya semasa bayi
sampai dewasa. Hal ini, merupakan pendidikan bagi setiap orang, yakni bagaimana
seharusnya bersikap kepada orang yang telah berjasa besar dalam hidupnya;
kedua, biasanya seorang penguasa yang zalim itu cenderung bersikap lebih kasar
dan kejam jika diperlakukan secara kasar dan dirasa tidak menghormatinya.
6.
Prinsip
Qaul sadid
Di
dalam al-Qur'an qaul sadid disebutkan dua kali, pertama, Q.s. an-Nisa'/4: 9:"Dan
hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka
meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir atas
(kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan
hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar." (Q.s.
al-Nisa'/4: 9).
Ayat
ini turun dalam kasus seseorang yang mau meninggal bermaksud mewasiyatkan
seluruh kekayaan kepada orang lain, padahal anak-anaknya masih membutuhkan
harta tersebut. Dalam kasus ini, perkataan yang harus disampaikan kepadanya
harus tepat dan argumentatif. Inilah makna qaul sadīd. Misalnya, dengan
perkatan, "bahwa anak-anakmu adalah yang paling berhak atas hartamu ini.
Jika seluruhnya kamu wasiyatkan, bagaimana dengan nasib anak-anakmu
kelak." Melalui ayat ini juga, Allah ingin mengingatkan kepada setiap
orang tua hendaknya mempersiapkan masa depan anak-anaknya dengan sebaik-baiknya
agar tidak hidup terlantar yang justru akan menjadi beban orang lain.
Dan kedua, Q.s. al-Ahzab/33: 70
Dan kedua, Q.s. al-Ahzab/33: 70
"Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar. (Q.s. al-ahzab/33: 70)
Ayat
ini diawali dengan seruan kepada orang-orang beriman. Hal ini menunjukkan bahwa
salah satu konsekwensi keimanan adalah berkata dengan perkataan yang sadīd.
Atau dengan istilah lain, qaul sadīd menduduki posisi yang cukup penting dalam
konteks kualitas keimanan dan ketaqwaan seseorang. Sementara berkaitan dengan
qaul sadid, terdapat banyak penafsiran, antara lain, perkataan yang
jujur dan tepat sasaran. perkataan yang lembut dan mengandung pemuliaan bagi
pihak lain, pembicaraan yang tepat sasaran dan logis, perkataan yang tidak
menyakitkan pihak lain, perkataan yang memiliki kesesuaian antara yang diucapkan
dengan apa yang ada di dalam hatinya.
7.
Prinsip
Qaul Zur
Di
dalam al-Qur'an, qaul zur hanya ditemukan sekali, Q.s. al-Hajj: 30:
"Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa yang terhormat di sisi Allah (hurumāt) maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan dihalalkan bagi kamu semua hewan ternak, kecuali yang diterangkan kepadamu (keharamannya), maka jauhilah olehmu (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta. (Q.s. al-Hajj/22: 30)
"Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa yang terhormat di sisi Allah (hurumāt) maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan dihalalkan bagi kamu semua hewan ternak, kecuali yang diterangkan kepadamu (keharamannya), maka jauhilah olehmu (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta. (Q.s. al-Hajj/22: 30)
Ayat
ini dapat dipahami, bahwa ketika seseorang mengagungkan masya'ir haram dan
memakan binatang yang dihalalkan, akan tetapi tidak menjauhi syirik dan
perkataan dusta (zūr), maka pengagungan tersebut tidak memiliki dampak
spiritual apapun bagi dirinya. Atau juga bisa dipahami bahwa perkataan dusta
(zur) hakikatnya sama dengan menyembah berhala, dalam hal sama-sama mengikuti
hawa nafsu. Atau lebih konkritnya, sama-sama menuhankan hawa nafsu.
Asal
makna kata zūr adalah menyimpang/melenceng (mā`il). Perkataan zūr dimaknai kizb
(dusta), karena menyimpang/melenceng dari yang semestinya atau yang dituju.
Qaul zūr juga ditafsirkan mengharamkan yang halal atau sebaliknya; serta
saksi palsu. Rasulullah saw, sebagaimana dikutip oleh al-Razi, bersabda ,
"saksi palsu itu sebanding syirik. Menurut al-Qurthubi, ayat ini
mengandung ancaman bagi yang memberikan saksi dan sumpah palsu. Ia termasuk
salah satu dosa besar, bahkan termasuk tindak pidana.
8.
Membangun
Komunikasi Beradab
Unsur
yang terpenting di dalam komunikasi adalah komunikator, komunike, dan
komunikan. Namun, ada hal di luar dari ketiga unsur ini ini, yaitu teknik atau
cara. Bahkan, dalam beberapa kasus, seringkali cara lebih penting dari pada isi,
sebagaimana dalam ungkapan Arab : الطريقة اهم من المادة "Cara lebih
penting dari pada isi". Tentu saja, pernyataan ini masih bisa
diperdebatkan; namun, yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa cara
penyampaian (berkomunikasi) terkadang, atau bahkan, seringkali lebih penting
dari isi. Dalam hal ini, bisa digambarkan melalui sebuah kasus. Ada seorang
anak muda yang baru belajar agama. Di antara materi yang pernah didengar atau
diterima adalah bahwa "setiap muslim harus berani berkata benar meskipun
pahit". Setelah mendengar nasehat ini, yang tergambar pertama kali di
benaknya adalah orang tuanya yang seringkali meninggalkan shalat atau bahkan
tidak pernah shalat. Kemudian si anak muda tersebut, dengan maksud
menasehati orang tuanya, menemui orang tuanya lalu berkata kepadanyan,
"Pak…apa bapak gak takut masuk neraka, kok sampai setua ini bapak gak
pernah shalat sih…". Pernyataan ini benar, tetapi rangkaian kata yang
disampaikan cenderung meremehkan pihak lain, terlebih ia adalah orang tuanya sendiri
atau orang yang usianya jauh lebih tua. Belum lagi, jika hal itu disampaikan
dengan intonasi yang meninggi. Ini adalah contoh sederhana dari komunikasi yang
tidak beradab.
Dengan
demikian, komunikasi beradab, pada prinsipnya, merupakan suatu proses untuk
mengkomunikasi kebenaran dan membangun hubungan sosial dengan komunikannya
atau bermetakomunikasi. Sebab, miskomunikasi hanya akan menjadikan berpalingnya
komunikan, yang berarti hilang pula informasi kebenaran itu. Inilah yang
ditegaskan oleh al-Qur`an: "Maka disebabkan rahmat Allah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…"(QS. Ali ‘Imran/3: 159)
Ayat
ini secara khusus ditujukan Rasulullah saw, namun, secara umum, adalah dimaksud
untuk mendidik umatnya, bagaimana car amenyikapi orang yang menolak kebenaran
yang disampaikan kepadanya sebagai upaya untuk membangun sebuah komunikasi yang
baik itu, yaitu dengan bersikap lembut dan santun, serta bertutur kata yang
baik.
Hanya
saja, ayat ini juga memunculkan pertanyaan, apakah Rasulullah mendapatkan
rahmat sehingga bersikap lemah lembut? Atau apakah Rasulullah bersikap lemah
lembut, sehingga beliau memperoleh rahmat? Ayat di atas memang bisa dipahami
secara berbalik, pertama, sebab rahmat Allah lah, Rasulullah saw bisa
bersikap lemah lembut. Namun, pemahaman semacam ini akan menafikan suatu
kenyataan bahwa Rasulullah adalah sosok yang berakhlaq sangat mulia. Bahkan,
jauh sebelum turunnya ayat ini atau sebelum diangkat jadi Rasul. Oleh karena
itu, penulis lebih cenderung memahami ayat tersebut dengan pemahaman kedua,
yaitu bahwa rahmat dan keluhuran akhlaq menyatu secara berkelindan. Artinya,
rahmat Allah tidak akan diberikan kepada hamba-Nya yang memang tidak layak
untuk mendapatkannya.
Dengan
demikian, ayat ini seharusnya dipandang sebagai bentuk penghargaan Allah kepada
Rasulullah saw. Hasan al-Bashri berkata, "Ini merupakan akhlaq
Rasulullah saw yang diutus oleh Allah untuk mendidik umatnya. Sebagaimana yang
kita ketahui bersama, bahwa Rasulullah menyandang dua predikat sekaligus, yaitu
pemimpin agama dan pemimpin negara. Sebagai pemimpin agama, beliau telah
berhasil mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi dengan cara yang sangat indah,
terutama sekali yang terkait dengan ajaran-ajaran yang memiliki tingkat
sensisifitas yang tinggi di kalangan masyarakat.[41]
Sedangkan sebagai pemimpin negara, beliau telah berhasil membangun sebuah
negara, yang didasarkan pada politik kesejahtaraan bukan politik kekuasaan.
Dalam hal ini, beliau telah mengajarkan kepada umatnya bahwa kemampuan bermetakomunikasi
secara tepat bukan saja untuk berkomunikasi yang berhasil, tetapi juga erat
kaitannya dengan kesadaran diri sendiri dan orang lain.
Secara
umum, upaya pembangunan komunikasi beradab bisa diklasifikasikan sebagai
berikut:
1.
Komunikasi dan
Pendidikan
Dalam
konteks komunikasi beradab, pendidikan dalam hal lebih ditekankan kepada
pendidikan berbasis karakter atau akhlaq. Sebuah pembangunan karakter
(character building) tidak identik dengan transfer ilmu. Sehingga di dalam
Islam diperkenalkan dengan isitilah tarbiyah yang berasal dari
rabbā-yurabbī-tarbiyatan yang didefinisikan oleh al-Ishfahani, yaitu mendorong
dan mengawal pihak lain menuju kepada kesempurnaannya.
Dengan
mengacu pengertian tersebut, maka pendidikan bukanlah bersifat indokrinasi
atau propaganda, akan tetapi, suatu proses yang bersifat komunikatif. Dalam hal
ini, bisa digunakan prinsip-prinsip qaul maisūr, yaitu segala bentuk perkataan
yang baik, lembut, dan melegakan; menjawab dengan cara yang sangat baik, benar
dan tidak mengada-ada; mengucapkan dengan cara yang wajar. Semakin bertambah
umur, maka metode yang digunakan tentu saja berbeda ketika masih anak-anak.
Namun, secara prinsip tetap sama, yaitu melahirkan generasi yang berkaraker.
Misalnya, pada saat sudah dewasa, maka yang diterapkan adalah
prinsip-prinsip qaul sadīd, yang di antaranya adalah tepat sasaran dan logis,
memiliki kesesuaian antara apa yang ada di dalam hati dengan yang diucapkan. Di
sini proses komunikasi pendidikan tidak hanya dipahami sebagai proses transfer
pengetahuan yang bersifat satu arah; akan tetapi, harus ada upaya yang
sungguh-sungguh dari pihak pendidik/ guru, sebagai komunikator, untuk mampu
memberikan keteladan yang baik, sebagai upaya bermetakomunikasi. Juga kedua
orang tuanya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya.
Bahkan,
secara naluriah, seorang anak sangat senang dan bangga jika bisa meneladani
kedua orang tuanya. Ketidak sempurnaan proses komunikasi pendidikan terjadi,
misalnya hanya mengajarkan pelajaran-pelajaran yang berbasis kompetensi tetapi
tidak menanamkan nilai-nilai berbasis karakter atau akhlaq. Bahkan, hal ini
bisa dianggap sebagai bentuk kriminalitas pendidikan. Faktor kegagalan
guru/orang tua dalam proses pendidikan, antara lain, disebabkan kegagalan
membangun komunikasi yang beradab tersebut.
2.
Komunikasi dan
Masyarakat
Masyarakat
adalah orang kebanyakan, yang secara sosial dan pendidikan biasanya rendah dan
lemah. Sehingga, masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang paling mudah
untuk dipengaruhi dan diprovokasi. Oleh karena itu, dalam konteks membangun
hubungan masyarakat ini, seharusnya menerapkan prinsip-prinsip qaul balīgh,
yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehendaki,dan isi perkataan adalah
suatu kebenaran, bukan semata-mata bersifat profokatif dan manipulatif.
Di
sinilah, keluhuran akhlak si komunikator menjadi sangat penting, dalam konteks
membangun hubungan sosial maupun politik. Sebab, pengetahuannya tentang khalayak
tidak dimaksudkan untuk menipu dan memprovokasi. Akan tetapi untuk memahami,
bernegosiasi, serta bersama-sama saling memuliakan kemanusiaannya. Tidak bisa
dibayangkan, bagaimana seandainya jiwa dan karakter sang komunikator itu
tidak baik, seperti ambisius, serakah, dan lain-lain, maka kemampuan retorika
dan logikanya justru akan dijadikan sebagai alat untuk mempengaruhi bahkan
mencuci otak masyarakatnya demi memenuhi ambisinya, melanggengkan pengaruh dan
kekuasaanya.
Dalam
hal ini, bisa dilihat pada kasus Fir'aun: "Dan Fir'aun berkata, "Hai
pembesar kaumku, aku tidak mengetaui tuhan bagimu selain aku…"Melalui
kata-katanya ini Fir'aun ingin mempengarui pikiran dan jiwa mereka, bahwa ia
memang layak diposisikan sebagai tuhan, karena pada kenyataannya hanya dialah
yang bias menjamin tingkat kelayakan hidup rakyat Mesir saat itu. Fir'aun paham
betul dengan apa yang diinginkan oleh rakyat Mesir, yaitu hidup sejahtera,
layak, terpenuhinya seluruh kebutuhan hidupnya. Ia berusaha untuk memperoleh
dukungan seluas-luasnya, bukan sekedar untuk memantapkan posisinya sebagai
penguasa tanpa tanding, sekaligus utuk menjatuhkan lawan politiknya, Musa as.
3.
Komunikasi dan Dakwah
Inti
dakwah adalah mengajak orang lain untuk mengikuti apa yang diserukannya. Oleh
karenanya, kemampuan berkomunikasi dan bermetakomunikasi dengan baik adalah
menduduki posisi yang cukup strategis. Demikian itu, karena Islam memandang
bahwa setiap muslim adalah da’i. Sebagai da'i, ia seantiasa dituntut untuk mau
dan mampu mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi secara baik. Sebab, kesalahan
dalam mengkomunikasikan ajaran Islam, justru akan membawa akibat yang cukup
serius dalam perkembangan dakwah Islam itu sendiri.
Dalam
firman Allah dinyatakan: "Hendaklah ada di antara kamu, suatu umat yang
selalu mengajak kepada kebaikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar " (QS. Ali ‘Imran/3: 104). Ayat tersebut memberi arahan kepada
setiap anggota masyarakat, terutama umat muslim, agar selalu mengajak kepada
kebaikan (al-khair), memerintahkan dengan ma’ruf, dan mencegah dari yang
munkar. Tentu saja, bukan tanpa sengaja jika ayat ini mendahulukan, da'wah ilā
al-khair dari pada al-amr bil-ma'ruf. Meskipun dari sisi penerjemahan keduanya
bisa saja memiliki arti yang sama, yaitu 'kebaikan', namun oleh para ahli
tafsir, kata al-khair dipahami sebagai kebaikan yang bersifat universal,
seperti keadilan, kejujuran, kepedulian sosial, dan lain-lain. Artinya, konsep
ini juga harus dipandang sebagai konsep universal. Dengan demikian, mengajak
kepada al-khair, sebenarnya juga menjadi concern bagi agama-agama di luar
Islam. Sebab, setiap agama selalu menghendaki terciptanya kehidupan yang
harmonis, aman, tentram, saling menghormati sesama, dan sebagainya.
Oleh
karena itu, sebagai bagian dari masyarakat, mereka harus memiliki komitmen yang
sama untuk peduli terhadap segala bentuk prilaku-prilaku anti sosial yang
terjadi di masyarakatnya. Dalam hal ini, umat muslim harus senantiasa tampil
yang terdepan untuk menyeru atau mengkomunikasikan, sekaligus memberi
keteladanan.
Dengan
demikian, tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur adalah sebagai
kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Artinya, masing-masing
pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan sosial yang lebih luas, memiliki
kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betapapun perbedaan yang ada,
tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri. Masyarakat
semacam ini pernah dibangun oleh Rasulullah saw sewaktu berada di Madinah; dan
ini merupakan bukti konkrit dari keberhasilan dakwah beliau. Keberhasilan ini
tentu saja suatu prestasi yang luar biasa yang tidak bisa begitu saja dipandang
dari sisi kebenaran Islam dan keagungan al-Qur'an semata. Akan tetapi, ada
faktor lain yang dianggap cukup dominan dalam konteks dakwah dan pembangunan
masyarakat Madinah ini, yaitu kemampuan beliau dalam mengkomunikasikan
ajaran-ajaran Ilahi tersebut dengan baik dan persuasif, yang ditopang oleh
keluhuran budi pekerti beliau sendiri. Jika kita telusuri sirah (sejarah) Nabi,
maka akan dijumpai betapa beliau telah menerapkan seluruh prinsip-prinsip
komunikasi dalam al-Qur'an, sebgaimana diuraikan, secara konsisten.
Bab
IV
Penutup
A. Simpulan
Banyak hal yang kami ungkapkan dalam makalah kecil kami ini, namun
kami coba untuk menyimpulkan beberapa hal, seperti:
1.
Komunikasi
berasal dari bahasa latin “communis” atau ‘common” dalam Bahasa Inggris yang
berarti sama. Berkomunikasi berarti kita berusaha untuk mencapai kesamaan
makna, “commonness”. Atau dengan ungkapan yang lain, melalui komunikasi
kita mencoba berbagi informasi, gagasan atau sikap kita dengan partisipan
lainnya.
2.
Organisasi adalah sarana dimana manajemen mengkoordinasikan sumber bahan
dan sumber daya manusia melalui pola struktur formal dari tugas-tugas dan
wewenang.
3.
Komunikasi Organisasi dapat didefinisikan
sebagai pertunjukkan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang
merupakan bagian suatu organisasi tertentu. Suatu organisasi terdiri dari dari
unit-unit komunikasi dalam hubungan hierarkis antara yang satu dengan lainnya
dan berfungsi dalam suatu lingkungan.
4.
Manusia sebagai makhluk
sosial menduduki posisi yang sangat penting dan strategis. Sebab, hanya
manusialah satu-satunya makhluk yang diberi karunia bisa berbicara.
Dengan kemampuan bicara itulah, memungkinkan manusia membangun hubungan
sosialnya. Sebagaimana bisa dipahami dari firman Allah علمه البيان “mengajarnya
pandai berbicara” (al-Rahmân/55: 4). Banyak penafsiran yang muncul berkenaan
dengan kata al-bayān, namun yang paling kuat adalah berbicara (al-nuthq,
al-kalām). Hanya saja, menurut Ibn
'Asyur, kata al-bayān juga mencakup isyarah-isyarah lainnya, seperti kerlingan
mata, anggukan kepala. Dengan demikian, al-bayān merupakan karunia yang
terbesar bagi manusia. Bukan saja ia dapat dikenali jati dirinya, akan tetapi,
ia menjadi pembeda dari binatang.
5.
Kemampuan bicara
berarti kemampuan berkomunikasi. Berkomunikasi adalah sesuatu yang
dihajatkan di hampir setiap kegiatan manusia. Dalam sebuah penelitian telah
dibuktikan, hampir 75 % sejak bangun dari tidur manusia berada dalam kegiatan
komunikasi. Dengan komunikasi kita dapat membentuk saling pengertian dan
menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan,
dan melestarikan peradaban. Akan tetapi, dengan komunikasi, juga kita dapat
menumbuh-suburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian,
merintangi kemajuan, dan menghambat pemikiran.
B. Saran
Dengan adanya makalah kami ini semoga ilmu tentang komunikasi kita
semakin bertambah baik untuk ke depannya, dan kesemuanya itu takkan terjadi
tanpa adanya kesadaran dari diri kita sendiri dan seringnya memuhasabah diri
seiring berjalannya waktu.
Daftar
Pustaka
A. Husnul Hakim IMZI - Dosen Fak. Ushuluddin Institut PTIQ Jakarta
Em Griffin, 2003, A First Look at Communication Theory, McGrraw-Hill Companies
http://adiprakosa.blogspot.com/2007/12/teori-komunikasi-organisasi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_organisasi
Sendjaja, 1994, Teori-Teori Komunikasi, Universitas
Terbuka
[2] Robert Bonnington dan
Berverd E. Needles, Jr. dalam bukunya Modern Business : A Systems Approach
[3] menurut Random House Dictionary of The
English Language 1987
[4] Smith
and Williamson, 1977, hlm. 61
[12] Menurut Cruden dan Sherman dalam bukunya Personel Management, 1976
[13] Lihat, antara lain,
al-Thabari, Jami' al-Bayān, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), jilid 13, juz
27, h. 114-115, al-Shabuni, Mukhtashar Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Rasyad, tt.), jilid 3, h. 415,
Al-Zamakhsyari, al-Kasysyāf.
[14] Ibn 'Asyur, al-Tahrīr wa
al-Tanwīr, (Tunis,
Isa al-Babī al-Halabī, 1384 H), jilid 17, h. 4243
[15] Jalaluddin Rahmat,
Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), cet. ke-10, h.
Kata Pengantar.
[16] James
G. Robbins dan Barbara S. Jones, Komuniasi Yang Efektif, terjemahan Turman
Sirait, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1986), h. 3
[18] Jalaluddin
Rahmat dalam majalah al-Hikmah, diterbitkan oleh Yayasan al-Muthahhari,
Bandung, halaman iftitah.
[25] Al-Ishfahani,
al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur'an, (Beirut: Dar al-ma'rifah, tt.), ditahqiq oleh
Muhammad Sayyid Kailani,, dalam term balagha, h. 60.
[41] Bisa
dilihat pada peristiwa yang melatarbelakangi turunnya surah al-Lahab, (lihat
Al-Shabuni, Mukhtashar Tafsir Ibn katsir, jilid 3, h. 689 dan Al-Thabari, Jami'
al-Bayan, juz 30, jilid 15, h. 336
0 komentar:
Posting Komentar