Pendahuluan
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam
kejutan masa depan, banyak hal yang perlu diperhatikan untuk menciptakan
keefektivan serta keefisienan di dalamnya. Oleh karena itu, dalam makalah ini,
saya akan coba membahas salah satu hal terpenting dalam dunia kehidupan kita
saat sekarang ini, yaitu Kejutan masa depan moral.
Manusia
di dalam kehidupannya harus melakukan moral, artinya pasti memerlukan orang
lain dan membutuhkan kelompok atau masyarakat untuk saling berinteraksi. Hal
ini merupakan suatu hakekat bahwa sebagian besar pribadi manusia terbentuk dari
hasil integrasi sosial dengan sesama dalam kelompok dan masyarakat. Di dalam
kelompok/organisasi itu selalu terdapat bentuk kepemimpinan yang merupakan
masalah penting untuk kelangsungan hidup kelompok, yang terdiri dari kita
keseluruhan.
Kerja
sama tersebut terdiri dari berbagai maksud yang meliputi hubungan
sosial/kebudayaan. Hubungan yang terjadi merupakan suatu proses adanya suatu
keinginan masing-masing individu, untuk memperoleh suatu hasil yang nyata dan
dapat memberikan manfaat untuk kehidupan yang berkelanjutan.
B.
Rumusan
Masalah
.
Rumusan masalahnya, yaitu: “Bgaimanakah konsep moral, dan bagaimana
kejutan masa depan moral, serta mengantisipasi kejutan masa depan moral
tersebut?”
Bab II
Analisis
Berbicara
tentang kejutan masa depan dalam bidang moral, banyak aspek- aspek dasar yang
harus kita pahami untuk melengkapi kemampuan kita ketika kita ingin
berkecimpung dalam dunia fana ini. Karena, banyaknya SDM yang hanya bermodalkan
kemauan saja ingin berkecimpung di dalam dunia modern ini, membuat banyaknya
manusia yang tidak menghasilkan aspek kemanusiaannya yang bermoral.
Moral merupakan
sebuah kata yang tak asing lagi ketika kita ucapkan atau kita dengar. Namun
banyak sekali interpretasi- interpretasi yang salah terhadap kata ini. salah
satunya, tak sedikit orang mengatakan bahwa moral adalah watak, sifat, prilaku,
dan lain sebagainya.
Oleh karena itu,
dalam makalah ini saya akan memaparkan lebih lanjut hal- hal yang mengenai
aspek kejutan masa depan dalam hal moral agar dapat nanti kiranya kita
implikasikan ke dalam kehidupan sehari- hari kita, ketika kita sudah
berkecimpung di dalam kehidupan yang sesungguhnya.
Sebuah paradigma
akan berubah, apabila kita mau merubahnya. Begitu juga dengan Ilmu yang akan
kita dalami dan kita tekuni, akan membuat kita berubah dalam menjalani hidup
ini, jikalau kita tidak menyia-nyiakan ilmu yang kita dalami atau kita tekuni
tersebut. karena Allah juga berfirman: “Sesungguhnya
Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, hingga kaum tersebut mau untuk
merubahnya”.
Oleh karena itu
menurut hemat saya, seorang manusia akan lebih efektif dan efesien ketika
orang- orang yang berada dalam dunia ini memiliki ilmu yang memang benar
berkenaan dengan moral manusia.
Bab III
Pembahasan
A. Konsep
Moral
Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk
tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang
masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita
membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’
sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti
yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan
kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari
bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan
pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu
melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau
bila kita mengatakan bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut
berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik.
‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis)
mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya ada nada lebih
abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral
suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat
moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diberikan beberapa
arti dari kata “etiket”, yaitu :
Etiket (Belanda) secarik kertas yang ditempelkan
pada kemasan barang-barang (dagang) yang bertuliskan nama, isi, dan sebagainya
tentang barang itu. Etiket (Perancis) adat sopan santun atau tata krama yang
perlu selalu diperhatikan dalam pergaulan agar hubungan selalu baik.
K. Bertens dalam bukunya yang berjudul “Etika”
(2000) memberikan 4 (empat) macam perbedaan etiket dengan etika, yaitu :
Etiket menyangkut cara (tata acara) suatu perbuatan
harus dilakukan manusia. Misal : Ketika saya menyerahkan sesuatu kepada orang
lain, saya harus menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan. Jika saya
menyerahkannya dengan tangan kiri, maka saya dianggap melanggar etiket. Etika
menyangkut cara dilakukannya suatu perbuatan sekaligus memberi norma dari
perbuatan itu sendiri. Misal : Dilarang mengambil barang milik orang lain tanpa
izin karena mengambil barang milik orang lain tanpa izin sama artinya dengan
mencuri. “Jangan mencuri” merupakan suatu norma etika. Di sini tidak
dipersoalkan apakah pencuri tersebut mencuri dengan tangan kanan atau tangan
kiri.
Etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita tidak
seorang diri (ada orang lain di sekitar kita). Bila tidak ada orang lain di
sekitar kita atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misal : Saya
sedang makan bersama bersama teman sambil meletakkan kaki saya di atas meja
makan, maka saya dianggap melanggat etiket. Tetapi kalau saya sedang makan
sendirian (tidak ada orang lain), maka saya tidak melanggar etiket jika saya
makan dengan cara demikian. Etika selalu berlaku, baik kita sedang sendiri atau
bersama orang lain. Misal: Larangan mencuri selalu berlaku, baik sedang sendiri
atau ada orang lain. Atau barang yang dipinjam selalu harus dikembalikan
meskipun si empunya barang sudah lupa.
Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan
dalam satu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Misal :
makan dengan tangan atau bersendawa waktu makan. Etika bersifat absolut.
“Jangan mencuri”, “Jangan membunuh” merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak
bisa ditawar-tawar. Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja. Orang
yang berpegang pada etiket bisa juga bersifat munafik. Misal : Bisa saja orang
tampi sebagai “manusia berbulu ayam”, dari luar sangan sopan dan halus, tapi di
dalam penuh kebusukan. Etika memandang manusia dari segi dalam. Orang yang etis
tidak mungkin bersifat munafik, sebab orang yang bersikap etis pasti orang yang
sungguh-sungguh baik.
Biasanya bila kita mengalami
kesulitan untuk memahami arti sebuah kata
maka kita akan mencari arti kata tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak
semua kamus mencantumkan arti dari sebuah
kata secara lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan oleh K. Bertens terhadap arti
kata ‘etika’ yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama dengan Kamus
Bahasa Indonesia yang baru. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama
(Poerwadarminta, sejak 1953 - mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti
sebagai : “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata
‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1988 - mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
ilmu tentang apa yang baik dan apa
yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); kumpulan asas atau
nilai yang berkenaan dengan akhlak; nilai mengenai benar dan salah yang dianut
suatu golongan atau masyarakat.
Dari perbadingan kedua kamus
tersebut terlihat bahwa dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama hanya terdapat
satu arti saja yaitu etika sebagai ilmu. Sedangkan Kamus Bahasa Indonesia yang
baru memuat beberapa arti. Kalau kita misalnya sedang membaca sebuah kalimat di
berita surat kabar “Dalam dunia bisnis etika merosot terus” maka kata ‘etika’
di sini bila dikaitkan dengan arti yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia
yang lama tersebut tidak cocok karena maksud dari kata ‘etika’ dalam kalimat
tersebut bukan etika sebagai ilmu melainkan ‘nilai mengenai benar dan salah
yang dianut suatu golongan atau masyarakat’. Jadi arti kata ‘etika’ dalam Kamus
Bahasa Indonesia yang lama tidak lengkap.
K. Bertens berpendapat bahwa arti
kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut dapat lebih dipertajam
dan susunan atau urutannya lebih baik dibalik, karena arti kata ke-3 lebih
mendasar daripada arti kata ke-1. Sehingga arti dan susunannya menjadi seperti
berikut :
Nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, jika orang
berbicara tentang etika orang Jawa, etika agama Budha, etika Protestan dan
sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai ilmu
melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam
hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
Kumpulan asas atau nilai moral.
Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh : Kode Etik Jurnalistik. ilmu
tentang yang baik atau buruk. Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan
etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang
begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali tanpa disadari
menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di
sini sama artinya dengan filsafat moral.
Istilah Moral berasal dari bahasa
Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu
mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila
kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis, kata
’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai
arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama
dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan
norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja
yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin. Jadi bila kita
mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita
menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang
berlaku dalam masyarakat.
B. Kejutan Masa Depan Moral
Tentu masyarakat saat ini sudah muak melihat tingkah laku
anggota yang duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat, dengan segala skandal,
tindakan amoral , tindakan tanpa etika yang membuat mereka tidak lagi layak
mendapatkan gelar "Dewan yang terhormat".
Namun, banyak masyarakat frustasi memikirkan polemik di
lembaga legislatif ini, karena memang prinsip demokrasi menyebutkan: lembaga
legislatif di atas lembaga eksekutif , juga yadikatif. Namun apa tidak ada
kekuatan yang lebih tinggi dari Legislatif? Sesungguhnya ada! dan itu semua
ditangan kita (masyarakat)
Mengutip pernyataan filsuf "John Locke" yang
merupakan bapak demokrasi dan salah satu yang merumuskan prinsip-prinsip Demokrasi.
" Bilamana para legislator berusaha mengambil dan menghancurkan hak milik
rakyat, atau memperbudak rakyat mereka dengan semena-mena, para legislator ini
sama saja berperang dengan rakyat, sehingga rakyat tidak lagi wajib untuk
tunduk, dan berada di bawah lindungan Tuhan untuk melawan kesewenang-wenangan
dan kekerasan" (John Locke)
Dengan prinsip ini, tentu bahwa masyarakatlah yang lebih
tinggi dari lembaga legislator atau dalam hal ini, lembaga DPR. Namun, hal yang
tidak kalah pentingnya. Apa dan bagaimana sistem baru untuk menggantikan pola
sistemik yang sudah membudaya di kalangan DPR , karena jelas bila kita hanya
gulingkan, tentu para anggota baru akan mengulangi hal yang sama. Dalam
revolusi itu tidak berhenti saat tujuan pembubaran tersebut tercapai, juga
harus dipikirkan bagaimana sistem yang ideal agar tidak terjadi kesalahan yang
berulang-ulang.
Maka hal tersebut harus dipikirkan bersama, agar membuktikan
kepada anggota DPR yang sudah kelewat batas ini, bahwa kita tidak sebodoh apa
yang mereka pikirkan. Bagaimanapun, suara rakyat adalah perwakilan dari suara
Tuhan.
Apakah kita sudah menemukan Karakter bangsa Indonesia? saya
yakin sangat beragam jawabannya, namun apa kita sudah menyadari dengan jujur
apa sesungguhnya Karakter bangsa ini? Dalam artikel "Permasalahan bangsa,
dan mencari solusi" akan kita akhiri dengan pembahasan "pembentukan
karakter", karena memang hal ini adalah tujuan akhir dari solusi bangsa
dan akan menjadi pijakan masa depan bangsa ini. Kita telah membahas beberapa
problematika di Indonesia, dari: Sistem partai, keragaman budaya, sisrem
birokrasi, pelurusan sejarah dan pemerataan moral. Kita akhiri dengan Karakter
bangsa.
Pencarian Karakter Bangsa. Bung Karno, pernah menyinggung
masalah pembentukan Karakter nasional. Namun, sampai sekarang tidak jelas. Apa
sih karakter bangsa ini sungguhnya? murah senyum, tepo seliro, santun, ramah?
tampaknya mulai dibatalkan oleh tindakan-tindakan saat ini yang tidak ada tepo
seliro nya, atau kisah-kisah kelam masa lalu bangsa. Lalu, apa bisa kita
menyatakan baha karakter Bangsa ini memang kecendrungan anarki? tidak juga,
tampaknya terlalu cepat menyimpulkan suatu hal yang negatif. Namun yang pasti
tampaknya kita masih bingung, apa sih sebenarnya karakter Bangsa ini?
OK, kalau dipikirkan secara geografis, bangsa ini terbagi
menjadi tiga bagian, barat, tengah dan timur, secara kesukuan terbagi menjadi
ratusan, secara keyakinan terbagi menjadi puluhan, secara ras juga beragam.
Maka bangsa ini memang majemuk, madani. Bagaimana demi mencari penyatuan
Karakter, dimana dalam kemajemukan ini, masing-masing pihak sudah memiliki
Karakter dan falsafah yang lebih tua daripada umur bangsa Indonesia.
Sulit memang, namun hal ini (pembentukan karakter) sangatlah
penting, agar rasa nasionalisme bahwa "Aku adalah anak Indonesia"
tetap selalu ada disanubari kita. Sejarah menceritakan bagaimana bangsa ini
bisa tercipta karena kebutuhan akan bersatu demi melawan penjajahan
kolonialisme. Kesadaran inilah yang menciptakan negara yang bernama Indonesia,
yang notabene sebelumnya hanyalah kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri.
Saat para bapak bangsa kita berhasil menyatukan sebuah
negara Indonesia, maka hal ini adalah tindakan yang sangat dahsyat. Namun akan
muncul pertanyaan, "bagaimana setelah bangsa ini merdeka dari penjajahan
kolonialisme dan mulai merasa tidak perlu lagi ada persatuan? Bisa jadi, dalam
50 tahun negara Indonesia sudah tidak ada lagi di peta dunia. Apa yang dapat
tetap menyatukan bangsa ini? dengan pembentukan Karakter. Bahwa baik atau
buruknya bangsa ini, namun tetap saya adalah bangsa Indonesia, darimanapun
asalmu dan agamamu, tetaplah kamu dan saya adalah anak Indonesia.
Memang, dalam rangka mencari pembentukan Karakter,sangatlah
panjang prosesnya. Hal ini harus dimulai dari pelurusan sejarah agar kita
mengenal identitas bangsa. Bagaimana kita mau menemukan Karakter bila identitas
saja kita belum memilikinya. Dengan pelurusan sejarah, kita jadi mengerti dan
mempelajari sifat-sifat anak bangsa, mengambil baiknya dan menghindari
keburukannya.
Selain pelurusan sejarah, juga pemerataan moral menentukan
pembentukan Karakter. Agar karakter kita menjadi karakter yang positif, banyak
negara yang sudah memiliki karakternya sendiri, namun tidak selalu positif.
Misal: seperti negara barat dengan karakter superiornya, Jepang dengan harga
dirinya yang terlalu tinggi, malaysia yang meremehkan tetangganya, afrika
selatan dengan inferiornya.
Pertanyaan pentingnya adalah: bagaimana cara kita menemukan Karakter Bangsa Indonesia? Dengan
kesulitan-kesulitan bangsa yang majemuk dan sudah memiliki karakter
masing-masing. Bagaimana menyatukannya? sehingga terbentuklah satu pemahaman:
"aku dan kamu adalah anak bangsa Indonesia",hanya waktu yang
menentukan. Namun tetap kita harus mulai memikirkan dan berbuat sesuatu untuk
menjalankannya. Demi eksistensi masa depan bangsa, yang kita sebut:
"Bangsa Indonesia!".
C. Strategi Mengantisipasi Kejutan Masa
Depan Moral Dalam Pandangan Etika
Etika dapat dityinjau dari beberapa pandangan. Dalams ejarah
lazimnya pandangan ini dilihat dari segi filosofis yang melahirkan etika filosofis, ditinjau dari segi
teologis yang melahirkan etika teologis,
dan ditinjau dari pandangan sosiologis yang melahirkan etika sosiologis.
Etika filosofis adalah etika yang dipandang dari sudut
filsafat. Kata filosofis sendiri berasal dari kata “philosophis” yang asalnya dari bahasa Yunani yakni: “philos” yang berarti cinta, dan “sophia” yang berarti kebenaran atau
kebijaksanaan. Etika filosofis adalah etika yang menguraikan pokok-pokok etika
atau moral menurut pandangan filsafat. Dalam filsafat yang diuraikan terbatas
pada baik-buruk, masalah hak-kewajiban, maslah nilai-nilai moral secara
mendasar. Disini ditinjau hubungan antara moral dan kemanusiaan secraa mendalam
dengan menggunakan rasio sebagai dasar untuk menganalisa.
Etika teologis adalah etika yang mengajarkan hal-hal yang
baik dan buruk berdasarkan ajaran-ajaran agama. Etika ini memandang semua
perbuatan moral sebagai: Perbuatan-perbuatan
yang mewujudkan kehendak Tuhan ataub sesuai dengan kehendak Tuhan, Perbuatan-perbuatan
sbegai perwujudan cinta kasih kepada Tuhan, dan Perbuatan-perbuatan sebagai
penyerahan diri kepada Tuhan.
Orang beragama mempunyai keyakinan bahwa tidak mungkin moral
itu dibangun tanpa agama atau tanpa menjalankan ajaran-ajaran Tuhan dalam
kehidupan sehari-hari. Sumber pengetahuan dan kebenaran etika ini adalah kitab
suci.
Etika sosiologis berbeda dengan dua etika sebelumnya. Etika
ini menitik beratkan pada keselamatan ataupun kesejahteraan hidup
bermasyarakat. Etika sosiologis memandang etika sebagai alat mencapai keamanan,
keselamatan, dan kesejahteraan hidup bermasyarakat. Jadi etika sosiologis lebih
menyibukkan diri dengan pembicaraan tentang bagaimana seharusnya seseorang
menjalankan hidupnya dalam hubungannya dengan masyarakat.
Dalam kaitan dengan nilai dan norma yang digumuli dalam
etika ditemukan dua macam etika, yaitu :
Etika ini berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap
dan perilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam kehidupan sebagai
sesuatu yang bernilai. Etika ini berbicara tentang kenyataan sebagaimana adanya
tentang nilai dan pola perilaku manusia sebagai suatu fakjta yang terkait
dengan situasi dan realitas konkrit. Dengan demikian etika ini berbicara
tentang realitas penghayatan nilau, namun tidak menilai. Etika ini hanya
memaparkab, karenyanya dikatakan bersifat diskriptif.
Etika ini berusaha untuk menetapkan sikap dan pola perilaku
yang ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam bertindak. Jadi etika
ini berbicara tentang norma-norma yang menuntun perilaku manusia serta memberi
penilaian dan hiambauan kepada manusia untuk bertindak sebagaimana seharusnya
Dengan. Demikian etika normatif memberikan petunjuk secara jelas bagaimana
manusia harus hidup secara baik dan menghindari diri dari yang jelek.
Dalam pergaulan sehari-hari kita menemukan berbagai etika
normative yang menjadi pedoman bagi manusia untuk bertindak. Norma-norma
tersebut sekaligus menjadi dasar penilaian bagi manusia baik atau buruk, salah
atau benar. Secara umum norma-norma tersebut dikelompokkan menjadi dua yaitu:
Norma khusus adalah norma yang mengatur tingkah laku dan
tindakan manusia dalam kelompok/bidang tertentu. Seperti etika medis, etika
kedokteran, etika lingkungan, eyika wahyu, aturan main catur, aturan main bola,
dll. Di mana aturan tersebut hanya berlaku untuk bidang khusus dan tidak bisa
mengatur semua bidang. Misal: aturan main catur hanya bisa dipakai untuk permainan
catur dan tidak bisa dipakai untuk mengatur permainan bola.
Norma umum justru sebaliknya karena norma umum bersifat
universal, yang artinya berlaku luas tanpa membedakan kondisi atau situasi,
kelompok orang tertentu. Secara umum norma umum dibagi menjadi tiga (3) bagian,
yaitu :
Norma sopan santun; norma ini menyangkut aturan pola tingkah
laku dan sikap lahiriah seperti tata cara berpakaian, cara bertamu, cara duduk,
dll. Norma ini lebih berkaitan dengan tata cara lahiriah dalam pergaulan
sehari-hari, amak penilaiannnya kurang mendalam karena hanya dilihat sekedar
yang lahiriah.
Norma hukum; norma ini sangat tegas dituntut oleh
masyarakat. Alasan ketegasan tuntutan ini karena demi kepentingan bersama.
Dengan adanya berbagai macam peraturan, masyarakat mengharapkan mendapatkan
keselamatan dan kesejahteraan bersama. Keberlakuan norma hukum dibandingkan
dengan norma sopan santun lebih tegasdan lebih pasti karena disertai dengan
jaminan, yakni hukuman terhadap orang yang melanggar norma ini. Norma hukum ini
juga kurang berbobot karena hanya memberikan penilaian secara lahiriah saja,
sehingga tidak mutlak menentukan moralitas seseorang.
Norma moral;norma ini mengenai sikap dan perilaku manusia
sebagai manusia. Norma moral menjadi tolok ukur untuk menilai tindakan
seseorang itu baik atau buruk, oleh karena ini bobot norma moral lebih tinggi
dari norma sebelumnya. Norma ini tidak menilai manusia dari satus segi saja,
melainkan dari segi manusia sebagai manusia. Dengan kata lain norma moral
melihat manusia secara menyeluruh, dari seluruh kepribadiannya. Di sini
terlihat secara jelas, penilannya lebih mendasar karena menekankan sikap
manusia dalam menghadapi tugasnya, menghargai kehidupan manusia, dan
menampilkan dirinya sebgai manusia dalam profesi yang diembannya. Norma moral
ini memiliki kekhusunan yaitu :
Norma moral merupakan norma yang paling dasariah, karena
langsung mengenai inti pribadi kita sebagai manusia, Norma moral menegaskan
kewajiban dasariah manusia dalam bentuk perintah atau larangan, Norma moral
merupakan norma yang berlaku umum, Norma
moral mengarahkan perilaku manusia pada kesuburan dan kepenuhan hidupnya sebgai
manusia.
Istilah deontologis berasal dari kata Yunani yang berati
kewajiban, etika ini menetapkan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik.
Argumentasi dasar yang dipakai adalah bahwa suatu tindakan itu baik bukan
dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari suatu tindakan,
melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri baik pada dirinya sendiri.
Dari argumen di atas jelas bahwa etika ini menekankan
motivasi, kemauan baik, dan watak yang kuat dari pelaku, lepas dari akibat yang
ditimbulkan dari pelaku. Menanggapi hal ini Immanuel kant menegaskan dua hal:
Tidak ada hal di dinia yang bisa dianggap baik tanpa
kualifikasi kecuali kemauan baik. Kepintaran, kearifan dan bakat lainnya bisa
merugikn kalau tanpa didasari oleh kemauan baik. Oleh karena itu Kant mengakui
bahwa kemauan ini merupakan syarat mutlak untuk memperoleh kebahagiaan.
Dengan menekankan kemauan yang baik tindakan yang baik
adalah tindakan yang tidak saja sesuai dengan kewajiban, melainkan tindakan
yang dijalankannya demi kewajiban. Sejalan dengan itu semua tindakan yang
bertentangan dengan kewajiban sebagai tindakan yang baik bahkan walaupun
tindakan itu dalam arti tertentu berguna, harus ditolak.
Namun, selain ada dua hal yang menegaskan etika tersebut,
namun kita juga tidak bisa menutup mata pada dua keberatan yang ada yaitu:
Bagaimana bila seseorang dihadapkan pada dua perintah atau
kewajiban moral dalam situasi yang sama, akan tetapi keduanya tidak bisa
dilaksankan sekaligus, bahkan keduanya saling meniadakan.
Sesungguhnya etika seontologist tidak bisa mengelakkan
pentingnya akibat dari suatu tindakan untuk menentukan apakah tindakan itu baik
atau buruk.
Teleologis berasal dari bahasa Yunani, yakni “telos” yang
berati tujuan. Etika teleologis menjadikan tujuan menjadi ukuran untuk baik
buruknya suatu tindakan. Dengan kata lain, suatu tindakan dinilai baik kalau
bertujuan untuk mencapai sesuatu yang baik atau kalau akibat yang ditimbulkan
baik.
Etika membuat kita memiliki pendirian dalam pergolakan
berbagai pandangan moral yang kita hadapi, Etika membenatu agar kita tidak
kehilangan orientasi dalam transformasi budaya, sosial, ekonomi, politik dan
intelektual dewasa ini melanda dunia kita.
Etika juga membantu kita sanggup menghadapi
idiologi-idiologi yang merebak di dalam masyarakt secara kritis dan obeyktif.
Etika membantu agamwan untuk menemukan dasar dan kemapanan
iman kepercayaan sehingga tidak tertutyp dengan perubahan jaman.
Bab IV
Penutup
Istilah deontologis berasal dari kata Yunani yang berati
kewajiban, etika ini menetapkan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik.
Argumentasi dasar yang dipakai adalah bahwa suatu tindakan itu baik bukan
dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari suatu tindakan,
melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri baik pada dirinya sendiri.
Dari argumen di atas jelas bahwa etika ini menekankan
motivasi, kemauan baik, dan watak yang kuat dari pelaku, lepas dari akibat yang
ditimbulkan dari pelaku. Menanggapi hal ini Immanuel kant menegaskan dua hal:
Tidak ada hal di dinia yang bisa dianggap baik tanpa
kualifikasi kecuali kemauan baik. Kepintaran, kearifan dan bakat lainnya bisa
merugikn kalau tanpa didasari oleh kemauan baik. Oleh karena itu Kant mengakui
bahwa kemauan ini merupakan syarat mutlak untuk memperoleh kebahagiaan.
Daftar Pustaka
0 komentar:
Posting Komentar