Breaking News
Loading...
Jumat, 07 Desember 2012

Info Post

Bab I
Pendahuluan
    A.      Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan aspek terpenting dalam kehidupan kita. Namun, yeng terjadi di Indonesia malah dunia politiklah yang dijadikan aspek terpenting. Sungguh disayangkan kenapa hal ini terjadi. Banyak unsur penyebab kenapa hal ini terjadi. Namun yang paling utama adalah aspek materilah penyebabnya.
Oleh karena itu, kapan dan bagaimana hal ini terjadi kita semua mungkir dari hal tersebut. namun walau begitu, jika ada kemauan dan kerja yang keras, kita pasti bisa dan mampu menuntaskan hal ini. oleh karena itu, regenerasi yang dibumbui oleh kematangan pemikiran dan perbuatan sangat dibutuhkan untuk memperbaiki hal ini dan mengantisipasi segala kejutan- kejutan yang akan datang kembali dikemudian hari berikutnya nanti.
Kesadaran akan terpuruknya pendidikan kita di Indonesia ini, pada dasarnya sudah banyak yang mengetahui. Namun untuk memperbaiki hal tersebut sungguh jauh dari yang diharapkan.
Dari semenjak kemerdekaan kita telah dikukuhkan, banyak sekali undang- undang yang mengatur pendidikan kita ini. namun, pengimplementasiannya di lapangan sungguh sangat memalukan dan tidak rasionalis.
Kejutan- kejutan pendidikan yang menghampiri kita pun tak pernah luput menghinggapi dunia pendidikan kita. Tapi, tak semua kejutan tersebut berdampak negatif terhadap dunia pendidikan kita. Kita sendirilah yang menjadikan kejutan tersebut berdampak negatif terhadap pendidikan kita.
B.       Rumusan Masalah
Dari uraian dan pemaparan saya di atas, maka rumusan masalahnya adalah: Bagaimanakah konsep Pendidikan di Indonesia, dan bagaimana kejutan masa depan pendidikan itu serta strategi mengantisipasi kejutan masa depan pendidikan tersebut?


Bab II
Analisa
Pendidikan menurut hemat saya adalah Proses memanusiakan manusia oleh manusia yang sudah menjadi manusia. Jadi, manusialah aspek tunggal dari pendidikan kita keseluruhannya. Oleh karena itu sebagai manusia kita harus memahami hal ini, agar kita tidak terkecoh dan selalu bertanya- tanya sebenarnya pendidikan itu apa, siapa yang bertanggung jawab, serta untuk apa pendidikan itu. Sesungguhnya itu adalah pertanyaan yang sangat naif dan radikal sekali jika kita tak mampu untuk menjawabnya.
Manusia, pendidikan, kedamaian, adalah hal yang imajinasi yang dianggap oleh masyarakat kita sekarang. Banyak orang tua yang berpendapat, dari pada anak mereka di sekolahkan, lebih baik di suruh untuk bekerja. Sesungguhnya itu merupakan persepsi yang sangat salah, dan harus di rujuk serta diperbaiki kembali.
Persepsi orang tua yang telah saya paparkan di atas, sebenarnya adalah salah satu bentuk ketidak percayaan masyarakat Indonesia terhadap dunia pendidikan kita, serta persepsi tersebut juga merupakan satu dari kejutan- kejutan masa depan yang menghampiri kita dewasa sekarang ini.
Hal tersebut sebenarnya dapat kita antisipasi serta kita atasi untuk perbaikan di kemudian hari. Oleh karena itu kita harus lebih mengimplementasikan teori pendidikan yang sudah kita ketahui dari pada berdiam diri saja dan menerima serta pasrah dengan keadaan yang sudah ada.
Banyak teori yang telah dipaparkan oleh para ahli mengenai pendidikan kita, dan tak banyak pula masyarakat yang mau memperdulikan pendidikan kita. Padahal teori- teori pendidikan telah banyak dipelajari. Maka dari itu, pemaparan selengkapnya akan saya uraikan pada halaman- halaman berikutnya.



Bab III
Pembahasan
A.      Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata pedagogi (paedagogie, Bahasa Latin) yang berarti pendidikan dan kata pedagogia (paedagogik) yang berarti ilmu pendidikan yang berasal dari bahasa Yunani. Pedagogia terdiri dari dua kata yaitu ‘Paedos’ (anak, pen) dan ‘Agoge’ yang berarti saya membimbing, memimpin anak. Sedangkan paedagogos ialah seorang pelayan atau bujang (pemuda, pen) pada zaman Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak (siswa, pen) ke dan dari sekolah. Perkataan paedagogos yang semula berkonotasi rendah (pelayan, pembantu) ini, kemudian sekarang dipakai untuk nama pekerjaan yang mulia yakni paedagoog (pendidik atau ahli didik atau guru). Dari sudut pandang ini pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang dalam membimbing dan memimpin anak menuju ke pertumbuhan dan perkembangan secara optimal agar dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab.
Pendidikan berkaitan erat dengan segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan manusia mulai perkembangan fisik, kesehatan keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial, sampai kepada perkembangan Iman. Perkembangan ini mengacu kepada membuat manusia menjadi lebih sempurna, membuat manusia meningkatkan hidupnya dan kehidupan alamiah menjadi berbudaya dan bermoral.
Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, Rupert C. Lodge dalam bukunya Philosophy of Education (New York : Harer & Brothers. 1974 : 23) menyatakan bahwa dalam pengertian yang luas pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Namun faktanya bahwa tidak semua pengalaman dapat dikatakan pendidikan. Mencuri, mencopet, korupsi dan membolos misalnya, bagi orang yang pernah melakukannya tentunya memiliki sejumlah pengalaman, tetapi pengalaman itu tidak dapat dikatakan pendidikan. Karena pendidikan itu memiliki tujuan yang mulia, baik dihadapan manusia maupun dihadapan Tuhan.
Banyak rumusan pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya:
1.        John Dewey : pendidikan merupakan suatu proses pembentukan kecakapan mendasar secara intelektual dan emosional sesama manusia. 
2.        JJ. Rouseau : Pendidikan merupakan pemberian bekal kepada kita apa yang tidak kita butuhkan pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita butuhkan pada saat dewasa. 
3.        M. J. Langeveld : Pendidikan merupkan setiap usaha yang dilakukan untuk mempengaruhi dan membimbing anak ke arah kedewasaan, agar anak cekatan melaksanakan tugas hidupnya sendiri.  Menurut Langeveld pendidikan hanya berlangsung dalam suasana pergaulan antara orang yang sudah dewasa (atau yang diciptakan orang dewasa seperti : sekolah, buku model dan sebagainya) dengan orang yang belum dewasa yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan.
4.        John S. Brubacher : Pendidikan merupakan proses timbal balik dari tiap individu manusia dalam rangka penyesuaian dirinya dengan alam, dengan teman dan dengan alam semesta. 
5.        Kingsley Price mengemukakan: Education is the process by which the nonphysical possessions of culture are preserved or increased in the rearing of the young or in the instruction of adults. (Pendidikan adalah proses yang berbentuk non pisik dari unsur-unsur budaya yang dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh anak-anak muda atau dalam pembelajaran orang dewasa).
6.        Mortimer J. Adler : pendidikan adalah proses dimana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapa pun untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan, yaitu kebiasaan yang baik. 
Definisi di atas dapat dibuktikan kebenarannya oleh filsafat pendidikan, terutama yang menyangkut permasalahan hidup manusia, dengan kemampuan-kemampuan asli dan yang diperoleh atau tentang bagaimana proses mempengaruhi perkembangannya harus dilakukan. Suatu pandangan atau pengertian tentang hal-hal yang berkaitan dengan objek pembahasan menjadi pola dasar yang memberi corak berpikir ahli pikir yang bersangkutan. Bahkan arahnya pun dapat dikenali juga.
Dari berbagai pandangan di atas dapat dilihat bahwa dikalangan pakar pendidikan sendiri masih terdapat perbedaan-perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan oleh latar belakang pendidikan ahli pendidikan itu dan kondisi pendidikan yang diperbincangkan saat itu, yang semuanya memiliki perbedaan karakter dan permasalahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan terencana (bertahap) dalam meningkatkan potensi diri peserta didik dalam segala aspeknya menuju terbentuknva kepribadian dan aólaq mulia dengan menggunakan media dan metode pembelajaran yang tepat guna melaksanakan tugas hidupnya sehingga dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
1.        Pendidikan Menurut  UU Sisdiknas. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
2.        Pendidikan Menurut  Carter V. Good. Pendidikan adalah proses perkembangan kecakapan seseorang dalam bentuk sikap dan prilaku yang berlaku dalam masyarakatnya. Proses sosial dimana seseorang dipengaruhi oleh sesuatu lingkungan yang terpimpin (khususnya di sekolah) sehingga iya dapat mencapai kecakapan sosial dan mengembangkan kepribadiannya.
3.        Pendidikan Menurut  Godfrey Thomson. Pendidikan adalah pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan yang tepat didalam kebiasaan tingkah lakunya, pikiranya dan perasaannya.
4.        Pendidikan Menurut  UNESCO. UNESCO menyebutkan bahwa: “education is now engaged is preparinment for a tife Society which does not yet exist” atau bahwa pendidikan itu sekarang adalah untuk mempersiapkan manusia bagi suatu tipe masyarakat yang masih belum ada. Konsep system pendidikan mungkin saja berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat dan pengalihan nilai-nilai kebudayaan (transfer of culture value). Konsep pendidikan saat ini tidak dapat dilepaskan dari pendidikan yang harus sesuai dengan tuntutan kebutuhan pendidikan masa lalu,sekarang,dan masa datang.
5.        Pendidikan Menurut  Thedore Brameld‘’Education as power means copetent and strong enough to enable us,the majority of people,to decide what kind of a world‘’. (Pendidikan sebagai kekuatan berarti mempunyai kewenangan dan cukup kuat bagi kita, bagi rakyat banyak untuk menentukan suatu dunia yang macam apa yang kita inginkan dan macam mana mencapai tujuan semacam itu).



B.       Kejutan Masa Depan Pendidikan
Mencermati dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya dan sekolah pada khususnya merupakan satu hal yang menarik. Sudah enam puluh tiga tahun negeri ini merdeka tetapi dunia pendidikan bukannya semakin baik malah justru sebaliknya semakin terpuruk. Dulu, negara tetangga kita Malasyia mengirimkan mahasiswanya kuliah di universitas Indonesia baik itu UI, ITB, UGM dan yang lainnya.
Tetapi sekarang berkebalikan, mahasiswa Indonesia justru belajar di universitas Malasyia. Vietnam adalah salah satu negara yang berhasil menyalip Indonesia dalam bidang pendidikan dan tidak menutup kemungkinan negara-negara lain yang dahulu kalah dengan Indonesia sekarang akan menjadi lebih maju dalam pendidikan. Mengapa bisa terjadi seperti ini? Banyak pakar pendidikan memberikan argumen tentang kemunduran pendidikan di Indonesia, ada yang menyoroti sistem pendidikan yang salah, ada yang mengatakan kurikulum pendidikan Indonesia jelek, ada yang mengatakan tidak ada kesinambungan dalam membangun pendidikan dengan ganti menteri ganti kurikulum dan argumen yang lainnya. Saya tidak akan menyoroti hal tersebut, karena menurut hemat saya tidak ada yang salah dari kurikulum dan tidak ada yang salah dengan sistem pendidikan Indonesia.
Saya mencoba mengkaji dari sudut pandang lain, dalam hal ini adalah partisipasi masyarakat dalam memajukan pendidikan di Indonesia. Bergelut dengan dunia pendidikan selama ini, saya melihat ada empat golongan peserta didik. Peserta didik dalam hal ini adalah murid dan orang tuanya. Golongan tersebut adalah:
1.        Murid pinter dengan orang tuanya kaya
2.        Murid pinter dengan orang tuanya miskin
3.        Murid bodoh dengan orang tuanya kaya
4.        Murid bodoh dengan orang tuanya miskin
Akan saya bahas satu persatu golongan tersebut dan implikasinya terhadap kemunduran pendidikan di Indonesia.
Golongan yang pertama adalah murid pinter dengan orang tuanya kaya. Ini adalah golongan yang ideal. Karakter siswa golongan ini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, suka bekerja keras dan rajin belajar. Karakter ini didukung oleh finansial orang tua yang cukup untuk memenuhi segala kebutuhan anak dalam belajar, baik itu ketersediaan buku, mendatangkan guru untuk memberi les privat, memiliki komputer dengan akses internet dan asupan gizi yang lebih dari cukup. Orang tua dalam golongan ini juga sangat perhatian dalam mendorong anaknya untuk belajar. Meluangkan waktu untuk menemani anak belajar dan membantu kesulitan anak dalam belajar serta memberi motivasi kepada anaknya untuk maju. Yang paling penting dari keberadaan orang tua golongan ini adalah bisa memberi contoh kepada anaknya bahwa orang tua mereka adalah orang yang berhasil. Golongan ini memberi konstribusi yang besar terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia tetapi kurang berarti karena jumlahnya sedikit.
Golongan kedua adalah murid pinter dengan orang tua yang miskin. Karakter siswa golongan ini sama dengan golongan pertama tetapi yang berbeda adalah dukungan orang tua. Orang tua dalam golongan ini cukup perhatian terhadap kemajuan pendidikan anaknya tetapi tidak bisa membantu anak memenuhi kebutuhannya dalam belajar seperti penyediaan buku, memberikan guru les dan memberikan asupan gizi yang cukup baik. Golongan ini sebetulnya yang perlu dibantu baik itu oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Jadi beasiswa harusnya diberikan hanya untuk golongan ini. Siswa golongan ini dapat memberikan kontribusinya untuk kemajuan pendidikan di Indonesia.
Golongan yang ketiga adalah anak bodoh dengan orang tua yang kaya. Golongan ini masih bisa memberikan konstribusi untuk kemajuan pendidikan di Indonesia melalui kekuatan ekonomi orang tuanya. Sekolah bisa memberdayakan golongan ini untuk kemajuan sekolah seperti memberikan beasiswa untuk golongan kedua, menambah peralatan sekolah, dan menambah kesejahteraan guru. Dengan peralatan sekolah yang memadai dan guru yang sejahtera, saya yakin kemajuan pendidikan akan diperoleh.
Golongan yang keempat adalah anak bodoh dengan orang tua miskin. Golongan keempat ini adalah golongan yang sangat tidak harapkan karena akan menghambat kemajuan pendidikan di Indonesia. Golongan ini pula yang sering membuat masalah di sekolah. Karakter anak golongan ini tidak mau bekerja keras, malas belajar dan meminta perhatian guru dengan membuat masalah. Sementara dari pihak orang tua akan membebani keuangan sekolah sehingga menghambat kegiatan belajar mengajar. Golongan ini adalah mayoritas di negeri ini sehingga sangat signifikan dalam memberikan konstribusinya dalam menghambat kemajuan pendidikan di Indonesia. Itulah mengapa pendidikan di Indonesia tidak mengalami kemajuan walaupun sudah merdeka enam puluh tiga tahun. Cara terbaik adalah mengurangi jumlah golongan keempat dan jangan memberikan beasiswa pada golongan ini karena akan sia-sia.
C.      Dampak Negatif Dari Kejutan Masa Depan Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan baik dalam jangka menengah ataupun dalam jangka panjang. Namun masih banyak masyarakat miskin yang memiliki akses terbatas dalam memperoleh pendidikan yang bermutu, dan yang lebih memprihatinkan mereka sama sekali tidak mendapatkan pendidikan. Hal ini juga dapat disebabkan antara lain karena mahalnya biaya pendidikan, tidak adanya perhatian dari Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah terhadap saudara-saudara kita yang tinggal di daerah Pedalaman Papua, khususnya Kabupaten Paniai.
“Apakah hal ini disebabkan karena sulitnya sarana transportasi yang menghubungkan daerah Kabupaten dengan daerah di distrik-distrik yang ada di wilayah Kabupaten tersebut? Ataukah memang tidak ada guru-guru yang mau ditempatkan di wilayah pedalaman ataupun daerah terpencil untuk mau mengajarkan masyarakat miskin agar mengenal ilmu pendidikan? Atau juga tidak adanya perhatian Pemerintah terhadap tambahan tunjangan pedalaman atau tambahan lainnya kepada guru-guru yang telah mengajar dan mengabdi di daerah terpencil? Dengan demikian bagaimana para guru-guru dapat melakukan pelayanan pendidikan di pedalaman, kalau kebutuhan hidup sehari-hari sudah susah dan tidak terpenuhi, akibat mahalnya kebutuhan hidup di pedalaman, sehingga hal ini sangat berdampak terhadap segala akses,”tandas Kenny Ikomou, anggota DPRD kabupaten Paniia yang membidangi pendidikan, setelah melakukan kunjungan kerja di beberapa distrik di wilayah Paniai belum lama ini.
Dia menilai kemiskinan dan pengangguran di tengah masyarakat pedalaman di Paniai dan Nabire tidak pernah dipermasalahkan, dan seolah-olah masyarakat telah mendapatkan pelayanan pendidikan yang memadai, tapi kini realitasnya sungguh terbalik, saat ini mereka tidak mendapatkan akses pendidikan, berbahasa Indonesia pun tidak mengerti apalagi mengenal dan tahu membaca dan berhitung!.. Hal inipun mengakibatkan mundurnya dunia pendidikan di Kabupaten tersebut. Memang angka kemiskinan dan pengangguran di Kabupaten ini tak kalah membuat miris orang-orang yang peduli.
“Mana penyebab dan mana akibat? Ibarat lingkaran setan, keterpurukan ekonomi dan pendidikan memang sebuah tantangan besar yang saling mempengaruhi. Buruknya perangkat keras pendidikan (ruang belajar dan sekolah, buku, pustaka dan laborotarium yang kurang), diperparah lagi oleh buruknya kualitas perangkat lunak (kurikulum compang-camping dan gonta-ganti, manajemen pendidikan sekolah yang belum professional) serta masih kurangnya jumlah dan kualitas guru. Dan keterpurukan ini berlangsung di tengah-tengah mengalirnya dana yang sangat besar di Kabupaten tersebut. Dengan demikian dana besar tidak menjamin peningkatan mutu pendidikan Karena peningkatan mutu pendidikan hanya merupakan jargon semata bagi pemda dan elit pemerintahan yang sibuk ber-KKN ria.,”papar Kenny.
Karena itu, tutur masyarakat seharusnya tidak perlu berharap banyak pada aparatur pemerintah untuk setia menjadi pelayan mereka. Sudah terlalu banyak bukti bahwa jajaran birokrasi hanya menggunakan masalah rakyat untuk kepentingannya, bukan untuk mengatasi masalah rakyat itu sendiri. Dan rakyat tidak perlu khawatir bahwa mereka akan menderita tanpa perhatian pemerintah. Toh, selama ini mereka sudah hidup – termasuk hidup menderita, tanpa pelayanan yang berarti dari pemerintah.
Pemerintah memang telah menganggarkan dana pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN, tapi ketika dunia pendidikan telah memasuki era neoliberal pendidikan, dana sebanyak itu menurut sebagian kalangan masih terasa kurang. Kita memang patut sadar, bahwa masih banyak sektor-sektor publik lain yang harus diperhatikan oleh Pemerintah ketika membuat kebijakan-kebijakan liberalisasi.
Meskipun demikian, diakuinya kebijakan yang dapat mendorong majunya dunia pendidikan harus diperioritaskan oleh pemerintah. Khususnya pada persoalan dana, akibatnya, timbullah pendidikan yang mahal dan komersialisasi pendidikan di Negara ini. Siapa yang bertanggung jawab? Alih-alih membicarakan persoalan pendidikan yang mahal, maka siapapun akan menyalahkan pemerintah di negeri ini. Oleh sebab itu untuk membebaskan masyarakat dari belenggu mahalnya pendidikan saat ini merupakan tanggung jawab pemerintah. “Dalam konteks ini, masyarakat Kota Batam patut berbangga.
Minyak Alasan Dana Pendidikan Merosot. Kenaikan asumsi harga minyak dunia menjadi alasan pemerintah atas penurunan persentase anggaran pendidikan dalam APBNP 2008. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penurunan tersebut disebabkan membengkaknya belanja negara dari Rp 752,4 triliun (APBNP 2007) menjadi Rp 989,5 triliun (APBNP 2008). “Ini sebagai akibat adanya faktor eksternal melonjaknya harga minyak mentah internasional yang berada di luar kendali pemerintah,” ujarnya ketika menyampaikan pendapat pemerintah dalam Sidang Uji Materiil UU No 16 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No 45 Tahun 2007 tentang APBN 2008 di Ruang Sidang Utama Mahkamah Konstitusi kemarin (15/7). Dari segi jumlah, anggaran pendidikan kali ini memang naik dari Rp 142,2 triliun menjadi Rp 154,2 triliun. Namun, dari segi persentase, anggaran pendidikan kali ini turun dari 18,9 persen menjadi hanya 15,6 persen. Padahal, dalam Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945, negara diwajibkan memenuhi sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD.
Mutu Pendidikan Merosot Akibat Siswa Dan Guru Tidak Profesional. Rektor Universitas Negeri Padang (UNP), Prof. Dr. Z. Mawardi Effendi, M. Pd, menilai merosotnya mutu pendidikan di Indonesia, bukan disebabkan faktor kurikulum yang tidak sesuai, namun lebih karena siswa yang tidak mandiri dan guru kurang profesional. “Mutu pendidikan kita merosot bukan karena kurikulum, namun lebih dominan akibat penyelenggara dan sasaran dari program pendidikan itu sendiri,” kata Prof. Dr. Z. Mawardi Effendi, di Padang, Minggu.
Dia mengungkapkan hal tersebut, terkait adanya program sertifikasi yang diluncurkan pemerintah untuk memperbaiki mutu pendidikan. Menurut dia, para siswa dari berbagai jenjang pendidikan dinilainya tidak mandiri dalam pembelajaran, artinya cenderung tidak aktif namun hanya menunggu guru memberikan materi pelajaran. Kondisi ini terlihat siswa tidak gemar membaca dan kurang suka berfikir analitik. Hal tersebut terjadi karena proses pembelajaran yang salah, yakni cenderung terpusat pada guru.
Hal tersebut juga diperparah dengan cara mengajar guru yang kurang profesional, hanya mengandalkan proses pembelajaran konvensional dengan metode ceramah saja. Padahal kini cukup banyak berkembang metode belajar yang lebih kreatif dan bisa diterapkan guru dalam pembelajaran, misalnya pembelajaran kolaboratif. “Metode baru ini hanya bisa digunakan oleh guru yang menguasainya dengan cara banyak membaca, belajar dan meneliti,” katanya. Prof. Mawardi, menyebutkan, program sertifikasi satu jawaban guna memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia itu. “Program sertifikasi itu kita sambut baik, asalkan harus ada komitmen yang tegas dari para guru untuk mengubah prilakunya dalam proses belajar mengajar,” katanya.
Bagi guru yang sudah dinilai profesional atau lulus program sertifikasi, diharapkan bisa mengubah pola belajarnya banyak membaca. Jumlah guru Sumbar yang mengikuti program sertifikasi tahun 2006 dan 2007 sebanyak 6.588 orang dengan perincian guru binaan Depdiknas 6.241 orang (964,73 persen), dan asal Depag 347 orang (5,27 persen).
D.      Strategi Mengantisipasi dan Mengatasi Kejutan Masa Depan Pendidikan
Watak budaya suatu bangsa, termasuk alam pikiran dan perilaku, dibentuk oleh kondisi alam tempat hidupnya. Misalnya, watak budaya orang pantai berbeda dengan orang pegunungan; orang gurun pasir berbeda dengan orang lembah hijau; orang bermusim salju dengan orang khatulistiwa. Selain itu, juga dibentuk oleh kondisi sejarahnya sendiri. Oleh karena itu, terdapat perbedaan watak bangsa – bangsa seperti yang dikenal dalam sejarah. Watak budaya itu dapat juga dibentuk oleh sistem dan pertumbuhan ekonomi dan industri terhadap masyarakat yang semula agraris. Namun, dapat pula dibentuk oleh konsep pendidikan berdasar strategi politik suatu negara.
Pendidikan amat berperan terhadap keunggulan suatu bangsa. Misalnya, bangsa Sparta 1000 tahun sebelum Masehi. Pada masa itu, bangsa-bangsa yang mendiami Balkan hidup terpencar dalam kota-kota kecil yang terpisah oleh gunung dan pulau-pulau. Mereka senantiasa dilanda perang antara sesamanya. Oleh karena itu, bangsa Sparta di bawah pimpinan Lycurgus, seorang pendidik, membangun kekuatan dengan sistem pendidikan militer yang keras sejak anak berusia 10 tahun. Akhirnya, Sparta disegani bangsa-bangsa di sekitarnya. Tentu saja strategi dan program pendidikan itu didukung oleh sistem sosial secara konsisten. Kemudian, “Pendidikan Sparta” menjadi amsal bagi pendidikan dengan disiplin keras.
Lain lagi dengan Jepang. Ketika mereka sadar telah tertinggal jauh dari bangsa Eropa, seperti Sparta juga, Jepang mengubah strategi pendidikan dengan tujuan mengejar ketertinggalan itu. Mereka melaksanakan program pendidikan yang ketat dan konsisten, ditunjang oleh seluruh kekuatan sosial dan ekonomi. Berbeda dengan Sparta, Jepang bukan hanya membangun kekuatan militer, melainkan juga membangun kekuatan ekonomi dan industri. Apa saja yang ada di Eropa mereka tiru. Sejak dari sistem tata negara, militer, industri, pendidikan, bahkan cara berpakaian pun. Namun, ada satu hal yang mereka pertahankan, yaitu kesadaran bahwa mereka adalah bangsa Jepang yang memiliki tradisi samurai yang sakral, yang terpelihara lebih dari 1000 tahun. Seperti Sparta juga, dengan kekuatan militernya Jepang menjarahi bangsa-bangsa sekitarnya. Meski akhirnya kekuatan militernya terkalahkan, semangat yang tertanam oleh sistem pendidikan yang strategis itu, Jepang tetap tampil sebagai bangsa yang kuat di bidang ekonomi.
Strategi pendidikan yang dikembangkan Belanda untuk bangsa Indonesia ialah untuk mengukuhkan kekuasaan kolonialnya. Kepada bangsa Indonesia ditanamkan mitos bahwa Eropa, terutama Belanda, adalah bangsa yang unggul. Sebaliknya, bangsa Indonesia bodoh, malas dan kumuh. Juga ditanamkan semangat “anak jajahan” yang penurut, elistis, feodalistik dan berpecah – belah.
Sekolah didirikan dengan jenis dan tingkat yang berbeda-beda. Untuk pribumi didirikan 2 tingkat sekolah : Sekolah rakyat 3 tahun dan Sekolah rakyat 5 tahun. Sekolah ini tidak ada sambungannya, selain ke sekolah pertukangan untuk mendidik tenaga kerja di bengkel perusahaan milik Belanda.Untuk golongan elit didirikan sekolah tingkat rendah sampai tingkat atas berbahasa Belanda.
Sekolah berbahasa Belanda itu didirikan bukan bertujuan untuk mendidik bangsa Indonesia agar maju, melainkan untuk disiapkan menjadi amtenar atau pekerja kantoran yang cakap dan loyal serta memiliki prestise elitis atau priayi. Dengan begitu, seluruh orang terpesona dan bercita-cita pula menjadi amtenar atau priayi.
Apabila kemudian diperbanyak sekolah berbahasa Belanda, itu bukan karena pemerintah memerlukan lebih banyak amtenar atau tenaga kerja, melainkan untuk memenuhi tuntutan para amtenar agar anak mereka dapat bersekolah seperti yang mereka peroleh sehingga memperluas pengaruh golongan elit “anak jajahan”.
Pembanyakan jumlah sekolah itu tentu saja berakibat pada meningkatnya jumlah pengangguran tamatan sekolah, baik sekolah rendah maupun sekolah menengah, karena lowongan kerja tidak sebanyak jumlah tamatan sekolah. Kondisi dan situasi itu tampaknya tidak mengkhawatirkan pemerintah karena dari orang-orang yang bermental “anak jajahan” tidak akan mungkin timbul dampak politik maupun keamanan. Apabila kemudian bangsa Indonesia dapat mencapai kemerdekaan bagi tanah air Indonesia, itu karena dipelopori oleh mereka yang telah menduduki perguruan tinggi, maka wawasan dan konsep pendidikannya jauh berbeda dengan sekolah di bawahnya.
Oleh dominasi hasil pendidikan elistis yang feodalistik, pada umumnya golongan menengah ke atas tidak menghayati makna demokrasi sebagai cita-cita nasional.
Pendidikan yang berorientasi elistis juga membuat anak-anak desa terputus hubungannya dengan tradisi dan sistem budayanya. Sawah – ladang dan usaha kerajinan terlantar. Kalau tetap dikerjakan, hanya oleh orang – orang yang tidak terdidik sehingga mutu produksinya tidak bisa meningkat. Akan lain jadinya kalau lapangan kerja itu diminati orang terdidik yang mampu menggunakan otaknya mencari dan menemukan cara yang efektif dan efisien serta mutu yang baik.
Bagi bangsa yang merdeka, menjadi amtenar atau pekerja kantoran tidaklah dipandang paling ideal. Yang ideal ialah bekerja di bidang produksi. Namun, bidang itu membutuhkan orang – orang aktif, kreatif dan produktif serta memiliki etos kerja dan semangat mandiri. Memang pemerintah mendirikan juga banyak sekolah kejuruan. Namun, programnya untuk mendidik tenaga kerja gajian, bukan mendidik orang terampil yang memiliki kemauan kerja dan mandiri. Pesan yang paling tepat dalam menggambarkan hal ini adalah “Lebih baik jadi tuan kecil daripada jadi budak besar”.
Strategi pendidikan Belanda di negerinya, sama dengan yang berlaku pada umumnya bangsa-bangsa Eropa. Karena sistem tata negara mereka berdasarkan demokrasi, dimana manusia sebagai individu tanpa memandang golongan, sudah sama berwatak aktif-kreatif dan kritis dengan tradisi etos kerja, maka program pendidikan di sana tinggal mengutamakan dan mengembangkan nalar dan kebebasan mengeluarkan pendapat
Meskipun beberapa materi kurikulum banyak persamaan dengan di Belanda, sistemnya jauh berbeda. Perbedaan yang mencolok sudah dimulai sejak sekolah rendah. Program dan kurikulum pendidikan di Belanda senantiasa dapat berubah untuk disesuaikan dengan tuntutan jaman, baik karena perkembangan tata negara dan ekonomi, maupun karena ilmu dan teknologi yang meningkat. Namun, sistem dan metode diletakkan bagi sikap mental manusia yang dinamik, yang merdeka dan demokrasi. Dengan demikian, penghargaan tertinggi bukan pada sikap loyalitas pada pekerja kantoran, melainkan pada prestasi dalam profesi apapun, seperti negarawan, cendekiawan, ilmuwan, teknolog, olahragawan, seniman dan usahawan.
Di Belanda, pemerintah tidak mendirikan sekolah lanjutan yang berfungsi menampung murid dari sekolah di bawahnya. Istilah pendidikan dengan pengajaran dipahami secara terpisah. Pada sekolah tingkat lebih rendah bobot pendidikan lebih besar daripada pengajaran. Di sekolah lanjutan, bobot pendidikan dikurangi dengan memperbesar pengajaran. Di sekolah tinggi yang diberikan semata-mata pengajaran tentang ilmu pengetahuan, teori dan praktek. Oleh karena itu, dalam program sejak awal pendidikan murid disiapkan memikirkan sendiri masa depannya: mau langsung bekerja dalam masyarakat atau melanjutkan sekolah. Menjadi mahasiswa atau memakai label sarjana tidaklah dimitoskan sebagai status sosial yang berprestise. Yang menjadi cita-cita utama ialah bagaimana supaya bisa bekerja dan tidak sampai menganggur.
Pendidikan di Indonesia masih melanjutkan sistem pendidikan kolonial, yaitu dengan lebih memakai sistem verbal. Murid mendengar apa kata guru serta banyak menghafal pelajaran dan memberi banyak pekerjaan ulangan di rumah. Murid tidak diajak berpikir untuk mengembangkan nalar secara kritis, kemampuan mencari alternatif. Tidak diajarkan berani bertanya apalagi mendebat dengan menggunakan dalil yang argumentatif. Yang boleh bertanya hanya guru.
Secara politis, strategi pendidikan nasional yang sesuai dengan tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak pernah dipikirkan apalagi ditetapkan. Program dan sistem pendidikan diserahkan saja kepada birokrat bekas guru-guru sekolah rendah yang berdiploma. Karena mereka tidak memiliki wawasan, apalagi menghayati makna nasionalisme dan tujuan kemerdekaan, mereka “menjiplak” saja apa yang mereka peroleh dari sekolahnya dulu: sistem , program dan kurikulumnya. Label pendidikan nasional diartikan sama dengan membuang kurikulum bahasa Belanda dan yang berbau Belanda.
Pelajaran kesenian seperti menggambar dan bernyanyi, serta kerajinan tangan sejak dari sekolah rendah yang berfungsi untuk melatih murid agar dapat bekerja dan meniru secara teliti secara estetika, tidak diajarkan lagi. Tidak diajarkan, bukan karena program atau sistemnya salah, melainkan karena tidak mengerti akan fungsinya serta sangat mendewakan ilmu pengetahuan umum. Padahal kemampuan meniru dengan baik dan bekerja dengan teliti melalui pendidikan kesenian itu sangat diperlukan bagi mereka yang akan bekerja pada bidang administrasi, terutama di pemerintahan. Besertanya pendidikan bagi rasa keindahan atau estetika pada murid pun terabaikan.
Bahkan sejak dari sekolah rendah, kepada murid tidak diberi perpustakaan yang menyediakan buku-buku sebagai alat bantu untuk mengembangkan wawasan murid, karena alasan tidak ada dana. Padahal seluruh kurikulum menggiring murid agar mampu masuk ke perguruan tinggi yang akan mewajibkan mahasiswa melakukan banyak studi kepustakaan. Oleh karena itu, ketika menjadi mahasiswa, mereka tidak mempunyai minat membaca dan menulis sehingga waktu mereka lebih banyak diisi dengan kelakar atau mengobrol bergerombol daripada studi.
Tingkat dan jenis sekolah serta program dan kurikulum diseragamkan untuk seluruh Indonesia tanpa mengindahkan kondisi dan situasi yang berbeda-beda di berbagai daerah dengan dalih demi persatuan bangsa. Akibatnya, anak petani atau nelayan di pedesaan terpencil mendapat program pendidikan yang sama dengan anak kota besar yang makmur. Jika anak kota besar yang disiapkan ke perguruan tinggi mulai belajar bahasa Inggris di SMP, anak petani atau nelayan itu pun wajib pula belajar bahasa Inggris. Tidak ada yang peduli, apakah bahasa itu akan menjadi bahasa kedua atau tidak akan berfaedah bagi kehidupan masa depan di desanya. Pokoknya, demi persatuan dan kesatuan bangsa, pendidikan di seluruh Indonesia mesti diseragamkan.
Demokrasi pendidikan diartikan bahwa semua orang berhak mendapat pendidikan yang sama dan setinggi-tingginya. Oleh karena itu, setiap tingkat sekolah dijadikan jenjang pendidikan untuk memasuki perguruan tinggi dengan muatan kurikulum yang disesuaikan untuk ke sana. Tidak ada pikiran bahwa tidak semua anak yang mampu ke perguruan tinggi, baik karena kemampuan otaknya maupun kemampuan biaya. Diperkirakan yang mampu ke perguruan tinggi hanya 10%, sedangkan yang 90% tercecer di SD, SMP dan SMA. Mereka tak ubahnya sebagai korban dari program demokrasi pendidikan yang salah kaprah itu.
Akibat dari sistem demokrasi pendidikan yang “sama rata” itu, sekolah pun diperbanyak setiap tahun, sedangkan pemerintah tidak punya dana yang cukup. Dengan sendirinya, sarana dan prasarana pendidikan menjadi minim dan kian minim lagi setiap penambahan jumlah sekolah apapun jenjangnya. Sudah tentu hasil dari pendidikan itu pun kian terpuruk.
Hal yang tidak dapat dipahami pula ialah masalah waktu libur sekolah yang tetap memakai aturan pada masa kolonial yang menetapkan waktu libur disesuaikan dengan musim di eropa. Tidak dengan iklim tropis yang mengatur musim turun ke sawah. Akibatnya, anak-anak petani di pedesaan yang secara tradisional membantu orang tuanya, terputus dengan tradisinya atau terputus dengan sekolahnya. Yang melanjutkan sekolah tidak lagi mencintai pekerjaan pertanian, yang terputus sekolahnya tetap tinggal bodoh.
Memang banyak sudah upaya pemerintah memperbaiki kondisi pendidikan sejak dari penyempurnaan prasarana dan sarana sampai kepada perbaikan kurikulum. Antara lain dengan membuat program yang cukup drastis: membuka sekolah percobaan sebagai pilot project yang dikelola langsung oleh beberapa IKIP. Namun, ketika terjadi pergantian menteri, pilot project tersebut dihentikan. Menteri lain melaksanakan program “modul” dengan mengelompokkan kurikulum, yang dihentikan pula oleh menteri yang baru. Berikutnya dilaksanakan lagi perubahan yang lebih mementingkan “humaniora”, lalu oleh menteri berikutnya lebih mementingkan “program matematik”. Namun, oleh menteri yang menggantikannya, program baru itu diganti lagi dengan “sekolah unggul” yang kemudian berganti nama dengan program sekolah “plus”, disamping ada program kurikulum “muatan lokal”.
Ternyata kurikulum “muatan lokal” cenderung untuk memenuhi tuntutan sikap emosional orang-orang daerah yang berorientasi lokal pula. Hampir tidak ada pemikiran yang rasional, agar materi kurikulum “muatan lokal” itu berfungsi untuk menunjang pembentukan watak bangsa yang tengah berpacu mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.
Semua perubahan itu membuktikan, semua orang menyadari bahwa hasil pendidikan di Indonesia kian lama kian turun mutunya atau kian tertinggal dari bangsa lain, dan ada usaha untuk memperbaikinya. Yang paling merasakan rendahnya mutu pendidikan itu ialah para pengajar di perguruan tinggi. Selanjutnya, kepada mereka pula ditugaskan menyusun konsep perbaikan mutu pendidikan sekolah di bawahnya. Adalah tidak mengherankan apabila dari sana lahir program perbaikan pendidikan hanya demi kepentingan mutu perguruan tinggi, bukan bagi kepentingan tuntutan kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan yang tengah berubah dengan cepatnya itu.
Program dan hasil pendidikan di Indonesia dinilai tidak lebih baik daripada zaman penjajahan. Sesalah-salah strategi dan sistem pendidikan pada jaman kolonial, mutu dan hasil pendidikannya masih lebih baik, baik di bidang ilmu maupun etika dan moralnya. Oleh karena sejak sekolah lanjutan sampai ke perguruan tinggi pengelolaannya melalui prosedur yang terseleksi dengan ketat, tidak memassal. Sekolah lanjutan dibuka hanya untuk anak-anak yang otaknya pintar dan orang tuanya mampu. Dengan sendirinya terjadilah perlombaan ketekunan belajar pada murid. Oleh karena itu, anak-anak yang kurang mampu, baik otak maupun dananya, tidak didorong untuk melanjutkan sekolah. Kesalahan strategi pendidikan moral kolonial ialah karena tidak meyiapkan murid untuk berani terjun ke masyarakat dan tidak menyiapkan murid sebagai bangsa yang memiliki etos kerja dan sikap yang mandiri.
Kebijaksanaan yang dipakai di Indonesia sekarang ini ialah dengan membuka sekolah sebanyak-banyaknya, dengan hasil yang bersifat massal, meskipun sudah diketahui mutunya akan terus merosot. Pada ujungnya, tamatan pendidikan dari jenjang sekolah manapun akan menjadi penganggur juga.
Apapun macam perbaikan program pendidikan senantiasa tidak akan mencapai sasaran yang sesuai dengan tuntutan jaman, apabila murid sejak di sekolah dasar tidak terbentuk wataknya sebagai manusia seperti yang tercantum dalam filsafat Pancasila dan UUD 1945. Manusia itu dapat diibaratkan seperti pohon kelapa yang setiap komponennya berfaedah, seperti daging buah, air, batok , sabut, daun, lidi dan batang. Pohon itu dapat tumbuh, namun kualitasnya akan ditentukan oleh lembaganya, yaitu umbut atau embrio yang akan menjadi bibitnya.
Kebijaksanaan pendidikan yang berlabel pendidikan nasional dengan program menyiapkan setiap murid untuk meningkatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi masih menanamkan cita-cita agar menjadi orang kantoran, padahal jumlah pegawai negeri terbatas. Pada akhirnya, setiap orang dari setiap jenjang pemikiran lebih memilih menjadi penganggur daripada tidak dapat bekerja sebagai pegawai negeri. Kalaupun mereka bekerja juga pada akhirnya, baik sebagai karyawan maupun wiraswasta, pada umumnya tidak relevan dengan bidang studi yang dipelajarinya sehingga seolah-olah setiap jenjang pendidikan itu berfungsi untuk menunda masa pengangguran.
Memang, diwaktu perkembangan ekonomi sangat pesat, banyak terbuka lapangan kerja di luar pemerintahan. Namun, itu hanya berlaku di kota besar, tempat kegiatan ekonomi terpusat. Di daerah, tempat perkembangan ekonomi bergerak lamban, satu-satunya lapangan kerja yang mampu menjamin masa depan hanyalah di pemerintahan. Akibatnya, jumlah sarjana penganggur kian membengkak dari tahun ke tahun berhubung instansi pemerintah tidak mampu menampung. Karena perlu mempertahankan hidupnya, mereka terpaksa bekerja pada tempat yang sepatutnya untuk tamatan sekolah rendah saja. Itu bukan suatu pilihan hidup, melainkan karena keterpaksaan.
Sistem kepangkatan menurut diploma pada pegawai negeri, juga menjadi salah satu pendorong utama bagi orang untuk memasuki perguruan tinggi. Sebagian mereka memilih fakultas favorit, namun lebih banyak memilih fakultas apa saja asal bisa masuk. Ukuran favorit tidak terletak pada ilmu yang hendak diperoleh, melainkan prospek yang menjamin dapat pekerjaan. Hasilnya sama saja antara memilih fakultas favorit dengan memilih fakultas apa saja, jika dilihat pada perilaku dari produk sistem pendidikan itu sendiri.
Tampaknya, karena banyak peminat, kebijaksanaan politik dalam pengelolaan perguruan tinggi lebih memilih memperbanyak fakultas atau jurusan, daripada meningkatkan kualitas. Masa waktu pendidikan diperpendek dan lama masa mengikuti kuliah dibatasi. Tampaknya, kebijaksanaan itu seperti untuk memaksa agar mahasiswa belajar lebih rajin. Namun, bisa terjadi sebaliknya. Mahasiswa mencari “jalan pintas” yang paling mudah untuk mendapat diploma. Karena pada umumnya setiap instansi pemerintah, oleh alasan yang tidak etis, penerimaan tenaga kerja hanya melihat diploma, tidak pada kualitas dan relevansi bidang studinya.
Pemerintah memang mendirikan beraneka ragam sekolah kejuruan. Akan tetapi, sekolah kejuruan tidak menarik. Oleh karena cita-cita masyarakat, yang telah dibentuk sejak 100 tahun yang lalu, memandang status sosial pegawai negeri yang terhormat ialah di perkantoran, bukan di bengkel atau di lapangan. Di samping itu, sekolah kejuruan tidak mendidik orang agar memiliki etos kerja yang terampil. Di sisi lain, sekolah kejuruan akan tidak memungkinkan orang melanjutkan ke perguruan tinggi. Masyarakat memandang sekolah kejuruan sebagai sekolah kelas dua, sekolah bagi murid yang bekecerdasan kurang. Memasuki sekolah kejuruan bukan karena pilihan, melainkan karena tidak dapat memilih. Pada satu masa, pemerintah memang memberi peluang kepada murid sekolah kejuruan agar mampu ke perguruan tinggi dengan cara mengisi beberapa kurikulum pendidikan umum, namun akibatnya kurikulum praktek kejuruannya menjadi kian berkurang.
Di sekolah kejuruan tidak disertakan program pendidikan etos kerja. Sistem dan metode serta tujuan sama dengan sekolah umum. Tidak ada pikiran untuk melaksanakan konsep pendidikan kejuruan yang relevan dengan program pembangunan yang membutuhkan manusia yang cinta pada pekerjaan, ulet dan tekun. Tentu saja banyak masalah yang menjadi hambatan, terutama karena setiap sekolah kejuruan yang relevan untuk jamannya, memerlukan peralatan yang memadai. Dan itu mahal.
Di Jepang, sekolah kejuruan hadir dalam posisi yang tidak kalah pentingnya dengan sekolah umum. Dalam 1000 sekolah, terdapat 125 sekolah kejuruan yang menghasilkan tenaga terampil untuk mengisi lowongan beragam industri. Dalam materi kurikulum ilmu bumi SD Jepang, dicantumkan nama negara yang menjadi pasar industri Jepang. Sebaliknya, di Indonesia yang disuruh hafal ialah nama gunung tertinggi, sungai terpanjang atau laut terdalam. Sejak dari pendidikan di tingkat sekolah menengah di Jepang, para murid telah dituntun untuk berpikir realistis untuk ke arah mana mereka akan melanjutkan pendidikan. Namun, murid di Indonesia diarahkan untuk melanjutkan ke SMA agar kelak bisa masuk ke sekolah tinggi. Sampai menamatkan SMA, murid tetap tidak tahu ke sekolah tinggi apa mereka akan melanjutkan pendidikan.
Kemerdekaan Indonesia yang dicapai berkat usaha para pemimpin bangsa, tidak diimbangi dengan strategi pendidikan yang konsepsional. Kemerdekaan Indonesia baru pada tingkat ketatanegaraan dan politik. Maka tujuan kemerdekaan bangsa menjadi tidak lain daripada penggantian posisi dari bekas penjajah kepada anak jajahan.
Slogan “Tut Wuri Handayani” yang diambil dari konsep Taman Siswa, dipahami secara dangkal. Sebatas pengertian bahwa guru berfungsi sebagai penggiring murid dari belakang, sedangkan arahnya tetap memakai konsep pendidikan kolonial. Konsep pendidikan Taman Siswa dengan slogan itu, bertujuan menggiring murid agar sadar pada hak serta kewajiban sebagai manusia menurut harkatnya, agar memiliki wawasan nasional yang diperjuangkan tanpa pamrih demi kepentingan bangsa. Bukan untuk menjadikan bangsa yang menurut pada sistem feodalisme.
Konsep pendidikan nasional yang berlaku, masih terpaut dalam pengertian perjuangan ideologi politik bernegara akibat terjadinya serentetan pemberontakan yang memecah belah kesatuan bangsa dan menentang ajaran ideologi komunis yang ateistis. Oleh karena itu, kurikulum utama yang diajarkan sejak dari SD sampai ke perguruan tinggi ialah ideologi bernegara melalui kurikulum moral Pancasila dan agama. Karena kurikulum itu menggunakan metode indoktrinasi, dan pada setiap ujian nilai hafal lebih menentukan daripada nilai perbuatan, sekolah cenderung mengabaikan mutu kurikulum yang berfungsi meningkatkan kecerdasan otak.
Strategi pendidikan suatu bangsa semestinya ditentukan oleh konsep ideologi bangsa, bukan oleh konsep politik suatu pemerintahan. Konsep politik pemerintah lazimnya terpakai pada suatu negara yang menganut sistem diktator. Arah pendidikan suatu bangsa bukan untuk mengokohkan posisi golongan yang sedang berkuasa. Sementara itu, konsep suatu bangsa atau negara harus diatur berdasarkan pertimbangan kondisi alam tempat bangsa itu hidup, dan ke arah mana bangsa itu akan dididik agar mampu hadir di tengah masyarakat dunia yang maju di jaman ini dan nanti.
Ideologi bangsa Indonesia yang berakar dari kebangkitan nasional dimotivasi oleh kehendak untuk mengangkat martabat bangsa secara politik, ekonomi dan sosial melalui kemerdekaan, yang kemudian tertuang pada Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, strategi dan program pendidikan seharusnya sejalan dengan tujuan untuk membangkitkan harkat manusia khatulistiwa yang berbudaya santai itu agar mampu berpacu secara mental mengejar ketertinggalan dalam arena hidup di dunia tanpa menghilangkan kodratnya yang beragam. Setiap jenis kurikulum bukan menjadi tujuan, melainkan menjadi alat untuk mencapai tujuan. Dari sanalah seharusnya disusun strategi, program dan kurikulum pendidikan itu.
Maksudnya, murid tidak dituntut untuk menguasai secara hafalan akan materi kurikulum, melainkan setiap materi kurikulum itu membantu murid agar memiliki nalar pada otaknya. Memaksa murid agar hafal semua materi kurikulum itu tidak menyebabkan mereka menjadi pintar dan cerdas. Cara demikian lebih mendorong murid menjadi “pengekor”, bukan pemikir. Memberi nilai tinggi kepada murid yang mampu menghafal sebetulnya merupakan sistem yang keliru.
Karena kebijaksanaan program pendidikan bertujuan agar setiap murid mampu melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi, maka bobot kurikulum menjadi berat ke bidang akademik. Tujuan perjuangan nasionalisme untuk mengangkat harkat dan martabat manusia yang merdeka di tanah airnya terabaikan. Formulasi makna nasionalisme yang dituangkan dalam Pancasila menuntut sistem dan kurikulum yang seharusnya bermuatan untuk mengangkat martabat manusia agar beradab, demokratis dan sejahtera. Akan tetapi, apabila bobot kurikulum berat ke bidang akademik, hasilnya akan tidak ada bedanya dengan pendidikan pada masa kolonial.
Penyeragaman jenis, tingkat dan materi kurikulum untuk seluruh sekolah di mana pun lokasinya, berakibat pada penyeragaman kualitas dan wawasan manusia. Akibat lanjutannya ialah memusnahkan keragaman manusia itu sendiri. Hal itu bertentangan dengan kodrat alam sebagai ciptaan Tuhan. Penggiringan murid untuk bercita-cita utama untuk menjadi pegawai negeri atau tenaga kerja melalui sistem dan proses pendidikan di sekolah, padahal sudah diketahui daya tampung sangat kecil, merupakan kesalahan besar. Meski sudah sering diomongkan bahwa bercita-cita menjadi pegawai oleh sekolah sejak dari tingkat dasar sampai ke tingkat tinggi adalah keliru, program pendidikan tidak memberikan pengertian serius kepada murid sejak dini. Cita-cita yang keliru itu dibiarkan berkembang terus.
Pendidikan pada madrasah di jaman penjajahan, tidak menjuruskan murid agar mencari pekerjaan ke kantor. Murid disiapkan untuk hadir dalam masyarakat sebagai warga yang mandiri. Salah satu kurikulum yang penting ialah ilmu mantiq atau logika sehingga murid mampu mengadu argumentasi dari suatu kebenaran yang dianutnya, serta tidak menjadi masyarakat yang taqlid buta.
Para pakar dan para birokrat pendidikan sama memandang bahwa menjabat jabatan tinggi di kantor-kantor merupakan status yang paling ideal dan terhormat. Oleh karena itu, mereka bersikukuh mempertahankan sistem dan program pendidikan yang sudah ada, meski mereka pun mengetahui bahwa dalam kenyataannya hal itu adalah keliru. Merombak pandangan lama dengan pandangan baru secara total, selain membutuhkan keberanian politik juga sosio-psikologis. Dengan melakukan perombakan total itu, dengan sendirinya akan menurunkan letak posisi pegawai atau pejabat tinggi, atau dalam perkataan lain akan menurunkan posisi mereka sendiri di mata masyarakat. Kemungkinan faktor inilah yang menghambat pemikiran para perencana pembangunan bidang pendidikan selama ini. Andaikata penyusun kebijaksanaan diserahkan kepada golongan bukan dari birokrasi, program pendidikan nasional kita akan jadi lain.
Hal ini dapat dituangkan dalam kiasan “Dari pohon mangga jangan diminta buah rambutan. Tetapi jadikan setiap pohon menghasilkan buah yang manis.” Maksudnya, agar pendidikan tidak membentuk murid menjadi manusia yang bercita-cita dan berpikir seragam, tetapi menjadikan mereka manusia yang berkualitas yang menurut kodratnya. Pendidikan jangan sampai berfungsi untuk menentukan pilihan hidup murid. Fungsi pendidikan ialah membangkitkan minat murid agar berkemauan keras untuk memilih sendiri jalan hidupnya. Anak pegawai atau pedagang di kota dan anak petani di desa harus diberi bentuk pendidikan yang berbeda karena masing-masing memiliki kondisi dan latar belakang budaya yang berbeda. Ada banyak materi kurikulum yang dapat dan perlu sama. Namun, ada banyak pula materi kurikulum yang tidak boleh sama untuk tempat dan kondisi yang berbeda.
Makna pendidikan nasionalisme dan kemerdekaan bangsa seperti yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, bukanlah semacam “barang” hafalan. Ia harus berfungsi membentuk watak bangsa melalui metode pendidikan aktif-kreatif agar nalar pemikiran dan amal perbuatan berkembang. Setiap materi kurikulum sejak SD sampai SMA tidak hanya berfungsi mengajarkan ilmu, melainkan juga meningkatkan akal budi. Kurikulum matematik sebagai contoh. Fungsinya untuk memberi latihan berpikir matematis, logis dan sistematis. Hafal rumus-rumus bukan suatu hal yang pantas untuk dinilai. Rumus biarkan dalam buku untuk dijadikan pedoman pada waktu diperlukan, seperti melihat kamus atau ensiklopedi.
Ada baiknya jika ada sekolah yang mendidik anak pintar atau agar anak menjadi lebih pintar, tetapi bukan berarti seluruh sekolah melaksanakan program itu. Demikian pula jangan ada program untuk mendidik semua orang sama pintarnya. Untuk bangsa Indonesia yang hidup dalam alam tropis dan berbudaya santai, materi pendidikan yang utama diberikan ialah untuk mengubah watak budaya santai itu agar menjadi manusia berkemauan kerja keras, bermental ulet dan tekun. Disamping itu, perlu dipahami pula bahwa orang pintar yang bertabiat santai, tidak ada gunanya bagi mencapai cita-cita kemerdekaan bangsa.
Dalam program pendidikan di Indonesia lebih diutamakan susunan dan materi kurikulum pendidikan akademik. Akibatnya, sering terjadi perubahan dan penambahan materi yang serba tanggung sehingga tidak efektif bagi peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Hal itu menjadi lebih buruk lagi hasilnya oleh sistem target dalam hal belajar mengajar dengan memakai standard NEM / NAN tertinggi. Dalam masyarakat yang berprilaku santai, sistem NEM / NAN mendorong sekolah untuk memanipulasi angka, baik dengan cara membocorkan materi ujian maupun membiarkan murid menyontek atau mengangkat nilai. Oleh karena itu, fungsi pendidikan sudah berubah dari tujuan mendidik murid menjadi memperalat murid demi memelihara “nama baik” sekolah. Dan secara tidak langsung telah memberi pelajaran kepada murid untuk melakukan manipulasi atau melakukan “jalan pintas”. Padahal untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, NEM / NAN tidaklah menentukan secara otomatis dapat melanjutkan ke perguruan tinggi. Mungkin karena perguruan tinggi tidak percaya pada mutu sekolah di bawahnya, kemampuan murid harus diuji lagi.
Kebijaksanaan program pendidikan di Indonesia dinilai tidak proporsional dan juga kontroversial. Sejak dari tingkat SD, murid disiapkan agar mampu menaiki jenjang pendidikan yang paling tinggi. Konsekuensinya, perguruan tinggi dibangun sebanyak – banyaknya dan jurusan bidang studi diperluas sebanyak-banyaknya agar dapat menampung sebanyak – banyaknya mahasiswa. Tampaknya, seperti tidak terpikirkan berapa banyak kebutuhan riil dari pengguna jasa pada produk perguruan itu.
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dengan latar belakang budaya dan agama yang berbeda, situasi dan kondisi alam yang tidak sama serta lingkungan hidup yang berlainan sehingga watak manusianya pun berbeda. Ada beberapa hal yang sama padanya, yaitu letak geografis di alam khatulistiwa serta pengalaman sejarah sebagai anak jajahan yang telah memerdekakan tanah airnya. Dalam posisi sosial, ekonomi, dan ilmu pengetahuan, bangsa Indonesia berada jauh di bawah bangsa-bangsa yang berasal dari belahan bumi utara.
Kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia memberi janji atau peluang yang luas untuk mengangkat harkat bangsa, setidak-tidaknya menyamai posisi yang dimiliki bangsa-bangsa yang maju di bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat saja dipelajari karena otak bangsa Indonesia tidak kalah mutunya dari bangsa mana pun, berkat rahmat Tuhan Yang Maha Adil.
Pada umumnya, orang menyalahkan penjajahan Belanda yang menyebabkan bangsa Indonesia seperti keadaan sekarang. Anggapan itu sebagian saja yang benar jika mengingat bahwa Aceh belum sampai 40 tahun dijajah dan Minangkabau 100 tahun. Namun, sikap mental orang Aceh atau Minangkabau praktis sama dengan suku bangsa yang jauh lebih lama dijajah Belanda. Oleh karena itu, jelaslah bahwa kondisi alam yang ramah yang menjadi penyebabnya. Penjajahan Belanda hanyalah mengekalkan kondisi itu melalui strategi pendidikan di sekolah.
Manusia hidup dalam kondisi alam yang berbeda-beda. Oleh karena itu, manusia tidak bisa sama aktivitasnya. Alam yang keras memaksa manusia hidup dengan dinamika yang keras pula. Kalau tidak, mereka akan mati dimakan alamnya sendiri. Manusia yang hidup dalam alam yang lembut akan kalah bila berhadapan dengan manusia yang beralam keras. Seperti watak manusia yang dikatakan Thomas Hobbes, “Homo Homini Lupus”, manusia adalah serigala bagi sesamanya.
Manusia yang betapapun pintar otaknya, akan tidak berarti apa-apa dalam berhadapan dengan bangsa yang selain pintar juga memiliki kemauan bekerja keras atau etos kerja seperti Jepang atau bangsa-bangsa Barat lainnya.
Di masa pendudukan Jepang terjadi banyak kerusakan mental bangsa Indonesia umumnya. Pemerintah militer Jepang memang banyak membuka pabrik untuk kepentingan perangnya. Mereka yang mempunyai kemampuan kerja tangan atau keterampilan mendapat tempat untuk mencari nafkah hidup, baik sebagai pekerja di pabrik maupun membuka usaha sendiri. Akan tetapi, mereka yang hanya memiliki ilmu tanpa memiliki keterampilan, memilih “jalan pintas”. Pola “jalan pintas” itu menjadi kebiasaan yang diterima oleh umum sampai sekarang.
Mereka tidak salah, melainkan disebabkan oleh kesalahan sistem dan program pendidikan yang hanya memberikan ilmu pengetahuan tanpa dibarengi kemauan kerja keras. Akhirnya, pada waktu yang sulit, mereka memilih “jalan pintas” dengan akal dan ilmunya untuk mengatasi problem hidupnya.
Kondisi dan situasi Indonesia setelah kemerdekaan adalah masa yang berat oleh berbagai tuntutan demi mengangkat harkat bangsa dan tanah air agar setara dengan bangsa yang lain. Karena tuntutan tidak tercapai sebagaimana yang diharapkan, orang pun menggunakan “jalan pintas” pula, yaitu melakukan aksi politik dengan mengadakan rapat, demonstrasi sampai ke pemberontakan di satu pihak, dan di pihak lain mengambil tindakan pragmatis dan berbagai manipulasi politik dan material untuk mengukuhkan kekuasaan dan kekayaan. Orang yang terdidik bekerja keras sama sekali tidak tertarik dengan cara-cara “jalan pintas” itu. Mereka inilah golongan yang mampu bertahan dalam hidupnya, tidak terombang-ambing oleh situasi ekonomi dan politik yang semrawut.
Kerusakan dan kekacauan politik dan ekonomi, yang berakibat pada kerusakan moral itu, tidak akan dapat diperbaiki dengan sistem dan program pendidikan yang memacu ilmu pengetahuan dan kesadaran bangsa secara verbal atau menyontek pendidikan bangsa lain yang berbeda kondisi alam dan tradisinya.
Tuntutan pemilikan ilmu pengetahuan teknologi menuntut mental yang berbeda jauh dengan watak bangsa yang berkebudayaan santai. Karena ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan mental disiplin sendiri, yang berakar pada etos kerja. Oleh karena itu, strategi dan program pendidikan sejak awal bagi bangsa Indonesia semestinya lebih mengutamakan mengubah mental santai itu. Strategi dan program pendidikan perlu diiringi dengan sistem dan metode yang cocok, yaitu yang mampu membangkitkan vitalitas murni sebagai manusia merdeka, mandiri, berprestasi, aktif dan kreatif serta produktif. Agar setiap murid mampu memilih arah hidupnya sendiri atau tidak akan merasa gamang memasuki masyarakat setelah menyelesaikan setiap jenjang pendidikan.
Untuk masa yang masih panjang, pendidikan mental murid tidak mungkin dibebankan kepada orang tuanya karena tiga hal. Pertama, kedua orang tua mereka telah terlalu sibuk untuk mencari nafkah hidup yang kian tinggi tuntutannya. Kedua, mereka adalah produk pendidikan masa lalu yang bermental santai dan bermoral yang lepas nilai. Ketiga, tidak memahami pentingnya arah pendidikan bagi generasi baru.
Perlu juga dilaksanakan kebijaksanaan untuk mengurangi jurusan bidang studi yang tidak relevan dan fungsional supaya tidak terjadi pemborosan dana yang terus menerus. Dana yang dihemat itu dapat digunakan untuk meningkatkan mutu sarana.
Perguruan tinggi yang banyak jumlahnya seperti dewasa ini tidak menunjukkan tingginya tingkat kecerdasan dan ilmu pengetahuan dan kebudayaan bangsa Indonesia. Yang selalu dinilai ialah mutu dari produknya. Sesungguhnya merombak atau memperbaiki pola dan program serta sistem pendidikan itu membutuhkan keberanian moral dari pihak penentu kebijakan politik negara.


Bab IV
Penutup
Pendidikan berkaitan erat dengan segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan manusia mulai perkembangan fisik, kesehatan keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial, sampai kepada perkembangan Iman. Perkembangan ini mengacu kepada membuat manusia menjadi lebih sempurna, membuat manusia meningkatkan hidupnya dan kehidupan alamiah menjadi berbudaya dan bermoral.
Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, Rupert C. Lodge dalam bukunya Philosophy of Education (New York : Harer & Brothers. 1974 : 23) menyatakan bahwa dalam pengertian yang luas pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Namun faktanya bahwa tidak semua pengalaman dapat dikatakan pendidikan. Mencuri, mencopet, korupsi dan membolos misalnya, bagi orang yang pernah melakukannya tentunya memiliki sejumlah pengalaman, tetapi pengalaman itu tidak dapat dikatakan pendidikan. Karena pendidikan itu memiliki tujuan yang mulia, baik dihadapan manusia maupun dihadapan Tuhan.


Daftar Pustaka







0 komentar: