Bab I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan
merupakan aspek terpenting dalam kehidupan kita. Namun, yeng terjadi di
Indonesia malah dunia politiklah yang dijadikan aspek terpenting. Sungguh
disayangkan kenapa hal ini terjadi. Banyak unsur penyebab kenapa hal ini
terjadi. Namun yang paling utama adalah aspek materilah penyebabnya.
Oleh
karena itu, kapan dan bagaimana hal ini terjadi kita semua mungkir dari hal
tersebut. namun walau begitu, jika ada kemauan dan kerja yang keras, kita pasti
bisa dan mampu menuntaskan hal ini. oleh karena itu, regenerasi yang dibumbui
oleh kematangan pemikiran dan perbuatan sangat dibutuhkan untuk memperbaiki hal
ini dan mengantisipasi segala kejutan- kejutan yang akan datang kembali
dikemudian hari berikutnya nanti.
Kesadaran
akan terpuruknya pendidikan kita di Indonesia ini, pada dasarnya sudah banyak
yang mengetahui. Namun untuk memperbaiki hal tersebut sungguh jauh dari yang
diharapkan.
Dari
semenjak kemerdekaan kita telah dikukuhkan, banyak sekali undang- undang yang
mengatur pendidikan kita ini. namun, pengimplementasiannya di lapangan sungguh
sangat memalukan dan tidak rasionalis.
Kejutan-
kejutan pendidikan yang menghampiri kita pun tak pernah luput menghinggapi
dunia pendidikan kita. Tapi, tak semua kejutan tersebut berdampak negatif
terhadap dunia pendidikan kita. Kita sendirilah yang menjadikan kejutan
tersebut berdampak negatif terhadap pendidikan kita.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
uraian dan pemaparan saya di atas, maka rumusan masalahnya adalah: Bagaimanakah
konsep Pendidikan di Indonesia, dan bagaimana kejutan masa depan pendidikan itu
serta strategi mengantisipasi kejutan masa depan pendidikan tersebut?
Bab II
Analisa
Pendidikan
menurut hemat saya adalah Proses memanusiakan manusia oleh manusia yang sudah
menjadi manusia. Jadi, manusialah aspek tunggal dari pendidikan kita
keseluruhannya. Oleh karena itu sebagai manusia kita harus memahami hal ini,
agar kita tidak terkecoh dan selalu bertanya- tanya sebenarnya pendidikan itu
apa, siapa yang bertanggung jawab, serta untuk apa pendidikan itu. Sesungguhnya
itu adalah pertanyaan yang sangat naif dan radikal sekali jika kita tak mampu
untuk menjawabnya.
Manusia, pendidikan,
kedamaian, adalah hal yang imajinasi yang dianggap oleh masyarakat kita
sekarang. Banyak orang tua yang berpendapat, dari pada anak mereka di
sekolahkan, lebih baik di suruh untuk bekerja. Sesungguhnya itu merupakan
persepsi yang sangat salah, dan harus di rujuk serta diperbaiki kembali.
Persepsi orang
tua yang telah saya paparkan di atas, sebenarnya adalah salah satu bentuk
ketidak percayaan masyarakat Indonesia terhadap dunia pendidikan kita, serta
persepsi tersebut juga merupakan satu dari kejutan- kejutan masa depan yang
menghampiri kita dewasa sekarang ini.
Hal tersebut
sebenarnya dapat kita antisipasi serta kita atasi untuk perbaikan di kemudian
hari. Oleh karena itu kita harus lebih mengimplementasikan teori pendidikan
yang sudah kita ketahui dari pada berdiam diri saja dan menerima serta pasrah
dengan keadaan yang sudah ada.
Banyak teori
yang telah dipaparkan oleh para ahli mengenai pendidikan kita, dan tak banyak
pula masyarakat yang mau memperdulikan pendidikan kita. Padahal teori- teori pendidikan
telah banyak dipelajari. Maka dari itu, pemaparan selengkapnya akan saya
uraikan pada halaman- halaman berikutnya.
Bab III
Pembahasan
A. Pendidikan
Pendidikan
berasal dari kata pedagogi (paedagogie, Bahasa Latin) yang berarti pendidikan
dan kata pedagogia (paedagogik) yang berarti ilmu pendidikan yang berasal dari
bahasa Yunani. Pedagogia terdiri dari dua kata yaitu ‘Paedos’ (anak, pen) dan
‘Agoge’ yang berarti saya membimbing, memimpin anak. Sedangkan paedagogos ialah
seorang pelayan atau bujang (pemuda, pen) pada zaman Yunani Kuno yang
pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak (siswa, pen) ke dan dari
sekolah. Perkataan paedagogos yang semula berkonotasi rendah (pelayan,
pembantu) ini, kemudian sekarang dipakai untuk nama pekerjaan yang mulia yakni
paedagoog (pendidik atau ahli didik atau guru). Dari sudut pandang ini
pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang dalam membimbing dan
memimpin anak menuju ke pertumbuhan dan perkembangan secara optimal agar dapat
berdiri sendiri dan bertanggung jawab.
Pendidikan
berkaitan erat dengan segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan manusia
mulai perkembangan fisik, kesehatan keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan,
sosial, sampai kepada perkembangan Iman. Perkembangan ini mengacu kepada
membuat manusia menjadi lebih sempurna, membuat manusia meningkatkan hidupnya
dan kehidupan alamiah menjadi berbudaya dan bermoral.
Sebagaimana
dikutip oleh Ahmad Tafsir, Rupert C. Lodge dalam bukunya Philosophy of
Education (New York : Harer & Brothers. 1974 : 23) menyatakan bahwa dalam
pengertian yang luas pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Namun
faktanya bahwa tidak semua pengalaman dapat dikatakan pendidikan. Mencuri,
mencopet, korupsi dan membolos misalnya, bagi orang yang pernah melakukannya
tentunya memiliki sejumlah pengalaman, tetapi pengalaman itu tidak dapat
dikatakan pendidikan. Karena pendidikan itu memiliki tujuan yang mulia, baik
dihadapan manusia maupun dihadapan Tuhan.
Banyak
rumusan pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya:
1.
John Dewey : pendidikan merupakan suatu proses
pembentukan kecakapan mendasar secara intelektual dan emosional sesama
manusia.
2.
JJ. Rouseau : Pendidikan merupakan pemberian
bekal kepada kita apa yang tidak kita butuhkan pada masa kanak-kanak, akan
tetapi kita butuhkan pada saat dewasa.
3.
M. J. Langeveld : Pendidikan merupkan setiap usaha
yang dilakukan untuk mempengaruhi dan membimbing anak ke arah kedewasaan, agar
anak cekatan melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Menurut Langeveld
pendidikan hanya berlangsung dalam suasana pergaulan antara orang yang sudah
dewasa (atau yang diciptakan orang dewasa seperti : sekolah, buku model dan
sebagainya) dengan orang yang belum dewasa yang diarahkan untuk mencapai tujuan
pendidikan.
4.
John S. Brubacher : Pendidikan merupakan proses
timbal balik dari tiap individu manusia dalam rangka penyesuaian dirinya dengan
alam, dengan teman dan dengan alam semesta.
5.
Kingsley Price mengemukakan: Education is the
process by which the nonphysical possessions of culture are preserved or
increased in the rearing of the young or in the instruction of adults.
(Pendidikan adalah proses yang berbentuk non pisik dari unsur-unsur budaya yang
dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh anak-anak muda atau dalam pembelajaran
orang dewasa).
6.
Mortimer J. Adler : pendidikan adalah proses dimana
semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat
dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik
melalui sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapa pun untuk
membantu orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan, yaitu
kebiasaan yang baik.
Definisi di atas dapat dibuktikan kebenarannya oleh filsafat
pendidikan, terutama yang menyangkut permasalahan hidup manusia, dengan
kemampuan-kemampuan asli dan yang diperoleh atau tentang bagaimana proses
mempengaruhi perkembangannya harus dilakukan. Suatu pandangan atau pengertian
tentang hal-hal yang berkaitan dengan objek pembahasan menjadi pola dasar yang
memberi corak berpikir ahli pikir yang bersangkutan. Bahkan arahnya pun dapat
dikenali juga.
Dari berbagai pandangan di atas dapat dilihat bahwa
dikalangan pakar pendidikan sendiri masih terdapat perbedaan-perbedaan
pendapat. Hal ini disebabkan oleh latar belakang pendidikan ahli pendidikan itu
dan kondisi pendidikan yang diperbincangkan saat itu, yang semuanya memiliki
perbedaan karakter dan permasalahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan terencana (bertahap)
dalam meningkatkan potensi diri peserta didik dalam segala aspeknya menuju
terbentuknva kepribadian dan aólaq mulia dengan menggunakan media dan metode
pembelajaran yang tepat guna melaksanakan tugas hidupnya sehingga dapat
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
1.
Pendidikan
Menurut UU Sisdiknas.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
2.
Pendidikan Menurut
Carter V. Good.
Pendidikan adalah proses perkembangan kecakapan seseorang dalam bentuk sikap
dan prilaku yang berlaku dalam masyarakatnya. Proses sosial dimana seseorang
dipengaruhi oleh sesuatu lingkungan yang terpimpin (khususnya di sekolah)
sehingga iya dapat mencapai kecakapan sosial dan mengembangkan kepribadiannya.
3.
Pendidikan Menurut
Godfrey Thomson.
Pendidikan adalah pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan
perubahan yang tepat didalam kebiasaan tingkah lakunya, pikiranya dan
perasaannya.
4.
Pendidikan Menurut
UNESCO.
UNESCO menyebutkan bahwa: “education is now engaged is preparinment for a tife
Society which does not yet exist” atau bahwa pendidikan itu sekarang adalah
untuk mempersiapkan manusia bagi suatu tipe masyarakat yang masih belum ada.
Konsep system pendidikan mungkin saja berubah sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan pengalihan nilai-nilai kebudayaan (transfer of culture value).
Konsep pendidikan saat ini tidak dapat dilepaskan dari pendidikan yang harus
sesuai dengan tuntutan kebutuhan pendidikan masa lalu,sekarang,dan masa datang.
5.
Pendidikan Menurut Thedore Brameld‘’Education as power means copetent and
strong enough to enable us,the majority of people,to decide what kind of a
world‘’. (Pendidikan sebagai kekuatan berarti mempunyai kewenangan dan cukup
kuat bagi kita, bagi rakyat banyak untuk menentukan suatu dunia yang macam apa
yang kita inginkan dan macam mana mencapai tujuan semacam itu).
B. Kejutan Masa Depan
Pendidikan
Mencermati dunia pendidikan di
Indonesia pada umumnya dan sekolah pada khususnya merupakan satu hal yang
menarik. Sudah enam puluh tiga tahun negeri ini merdeka tetapi dunia pendidikan
bukannya semakin baik malah justru sebaliknya semakin terpuruk. Dulu, negara
tetangga kita Malasyia mengirimkan mahasiswanya kuliah di universitas Indonesia
baik itu UI, ITB, UGM dan yang lainnya.
Tetapi sekarang berkebalikan,
mahasiswa Indonesia justru belajar di universitas Malasyia. Vietnam adalah
salah satu negara yang berhasil menyalip Indonesia dalam bidang pendidikan dan
tidak menutup kemungkinan negara-negara lain yang dahulu kalah dengan Indonesia
sekarang akan menjadi lebih maju dalam pendidikan. Mengapa bisa terjadi seperti
ini? Banyak pakar pendidikan memberikan argumen tentang kemunduran pendidikan
di Indonesia, ada yang menyoroti sistem pendidikan yang salah, ada yang
mengatakan kurikulum pendidikan Indonesia jelek, ada yang mengatakan tidak ada
kesinambungan dalam membangun pendidikan dengan ganti menteri ganti kurikulum
dan argumen yang lainnya. Saya tidak akan menyoroti hal tersebut, karena
menurut hemat saya tidak ada yang salah dari kurikulum dan tidak ada yang salah
dengan sistem pendidikan Indonesia.
Saya mencoba mengkaji dari sudut
pandang lain, dalam hal ini adalah partisipasi masyarakat dalam memajukan
pendidikan di Indonesia. Bergelut dengan dunia pendidikan selama ini, saya melihat
ada empat golongan peserta didik. Peserta didik dalam hal ini adalah murid dan
orang tuanya. Golongan tersebut adalah:
1.
Murid pinter dengan orang tuanya kaya
2.
Murid pinter dengan orang tuanya miskin
3.
Murid bodoh dengan orang tuanya kaya
4.
Murid bodoh dengan orang tuanya miskin
Akan saya bahas satu persatu
golongan tersebut dan implikasinya terhadap kemunduran pendidikan di Indonesia.
Golongan
yang pertama adalah murid pinter dengan orang tuanya kaya. Ini adalah golongan yang ideal.
Karakter siswa golongan ini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, suka bekerja
keras dan rajin belajar. Karakter ini didukung oleh finansial orang tua yang
cukup untuk memenuhi segala kebutuhan anak dalam belajar, baik itu ketersediaan
buku, mendatangkan guru untuk memberi les privat, memiliki komputer dengan
akses internet dan asupan gizi yang lebih dari cukup. Orang tua dalam golongan
ini juga sangat perhatian dalam mendorong anaknya untuk belajar. Meluangkan
waktu untuk menemani anak belajar dan membantu kesulitan anak dalam belajar
serta memberi motivasi kepada anaknya untuk maju. Yang paling penting dari
keberadaan orang tua golongan ini adalah bisa memberi contoh kepada anaknya
bahwa orang tua mereka adalah orang yang berhasil. Golongan ini memberi
konstribusi yang besar terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia tetapi kurang
berarti karena jumlahnya sedikit.
Golongan
kedua adalah murid pinter dengan orang tua yang miskin. Karakter siswa golongan ini sama
dengan golongan pertama tetapi yang berbeda adalah dukungan orang tua. Orang
tua dalam golongan ini cukup perhatian terhadap kemajuan pendidikan anaknya
tetapi tidak bisa membantu anak memenuhi kebutuhannya dalam belajar seperti
penyediaan buku, memberikan guru les dan memberikan asupan gizi yang cukup
baik. Golongan ini sebetulnya yang perlu dibantu baik itu oleh pemerintah
maupun oleh masyarakat. Jadi beasiswa harusnya diberikan hanya untuk golongan
ini. Siswa golongan ini dapat memberikan kontribusinya untuk kemajuan
pendidikan di Indonesia.
Golongan
yang ketiga adalah anak bodoh dengan orang tua yang kaya. Golongan ini masih bisa memberikan
konstribusi untuk kemajuan pendidikan di Indonesia melalui kekuatan ekonomi
orang tuanya. Sekolah bisa memberdayakan golongan ini untuk kemajuan sekolah
seperti memberikan beasiswa untuk golongan kedua, menambah peralatan sekolah,
dan menambah kesejahteraan guru. Dengan peralatan sekolah yang memadai dan guru
yang sejahtera, saya yakin kemajuan pendidikan akan diperoleh.
Golongan
yang keempat adalah anak bodoh dengan orang tua miskin. Golongan keempat ini adalah
golongan yang sangat tidak harapkan karena akan menghambat kemajuan pendidikan
di Indonesia. Golongan ini pula yang sering membuat masalah di sekolah.
Karakter anak golongan ini tidak mau bekerja keras, malas belajar dan meminta
perhatian guru dengan membuat masalah. Sementara dari pihak orang tua akan
membebani keuangan sekolah sehingga menghambat kegiatan belajar mengajar.
Golongan ini adalah mayoritas di negeri ini sehingga sangat signifikan dalam
memberikan konstribusinya dalam menghambat kemajuan pendidikan di Indonesia.
Itulah mengapa pendidikan di Indonesia tidak mengalami kemajuan walaupun sudah
merdeka enam puluh tiga tahun. Cara terbaik adalah mengurangi jumlah golongan
keempat dan jangan memberikan beasiswa pada golongan ini karena akan sia-sia.
C. Dampak
Negatif Dari Kejutan Masa Depan Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan baik
dalam jangka menengah ataupun dalam jangka panjang. Namun masih banyak
masyarakat miskin yang memiliki akses terbatas dalam memperoleh pendidikan yang
bermutu, dan yang lebih memprihatinkan mereka sama sekali tidak mendapatkan
pendidikan. Hal ini juga dapat disebabkan antara lain karena mahalnya biaya
pendidikan, tidak adanya perhatian dari Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah
Daerah terhadap saudara-saudara kita yang tinggal di daerah Pedalaman Papua,
khususnya Kabupaten Paniai.
“Apakah hal ini disebabkan karena sulitnya sarana transportasi yang
menghubungkan daerah Kabupaten dengan daerah di distrik-distrik yang ada di
wilayah Kabupaten tersebut? Ataukah memang tidak ada guru-guru yang mau
ditempatkan di wilayah pedalaman ataupun daerah terpencil untuk mau mengajarkan
masyarakat miskin agar mengenal ilmu pendidikan? Atau juga tidak adanya
perhatian Pemerintah terhadap tambahan tunjangan pedalaman atau tambahan
lainnya kepada guru-guru yang telah mengajar dan mengabdi di daerah terpencil?
Dengan demikian bagaimana para guru-guru dapat melakukan pelayanan pendidikan
di pedalaman, kalau kebutuhan hidup sehari-hari sudah susah dan tidak
terpenuhi, akibat mahalnya kebutuhan hidup di pedalaman, sehingga hal ini
sangat berdampak terhadap segala akses,”tandas Kenny Ikomou, anggota DPRD
kabupaten Paniia yang membidangi pendidikan, setelah melakukan kunjungan kerja
di beberapa distrik di wilayah Paniai belum lama ini.
Dia menilai kemiskinan dan pengangguran di tengah masyarakat pedalaman di
Paniai dan Nabire tidak pernah dipermasalahkan, dan seolah-olah masyarakat
telah mendapatkan pelayanan pendidikan yang memadai, tapi kini realitasnya
sungguh terbalik, saat ini mereka tidak mendapatkan akses pendidikan, berbahasa
Indonesia pun tidak mengerti apalagi mengenal dan tahu membaca dan berhitung!..
Hal inipun mengakibatkan mundurnya dunia pendidikan di Kabupaten tersebut.
Memang angka kemiskinan dan pengangguran di Kabupaten ini tak kalah membuat
miris orang-orang yang peduli.
“Mana penyebab dan mana akibat? Ibarat lingkaran setan, keterpurukan
ekonomi dan pendidikan memang sebuah tantangan besar yang saling mempengaruhi.
Buruknya perangkat keras pendidikan (ruang belajar dan sekolah, buku, pustaka
dan laborotarium yang kurang), diperparah lagi oleh buruknya kualitas perangkat
lunak (kurikulum compang-camping dan gonta-ganti, manajemen pendidikan sekolah
yang belum professional) serta masih kurangnya jumlah dan kualitas guru. Dan
keterpurukan ini berlangsung di tengah-tengah mengalirnya dana yang sangat
besar di Kabupaten tersebut. Dengan demikian dana besar tidak menjamin
peningkatan mutu pendidikan Karena peningkatan mutu pendidikan hanya merupakan
jargon semata bagi pemda dan elit pemerintahan yang sibuk ber-KKN ria.,”papar
Kenny.
Karena itu, tutur masyarakat seharusnya tidak perlu berharap banyak pada
aparatur pemerintah untuk setia menjadi pelayan mereka. Sudah terlalu banyak
bukti bahwa jajaran birokrasi hanya menggunakan masalah rakyat untuk
kepentingannya, bukan untuk mengatasi masalah rakyat itu sendiri. Dan rakyat
tidak perlu khawatir bahwa mereka akan menderita tanpa perhatian pemerintah.
Toh, selama ini mereka sudah hidup – termasuk hidup menderita, tanpa pelayanan
yang berarti dari pemerintah.
Pemerintah memang telah menganggarkan dana pendidikan sebanyak 20 persen
dari APBN, tapi ketika dunia pendidikan telah memasuki era neoliberal
pendidikan, dana sebanyak itu menurut sebagian kalangan masih terasa kurang.
Kita memang patut sadar, bahwa masih banyak sektor-sektor publik lain yang
harus diperhatikan oleh Pemerintah ketika membuat kebijakan-kebijakan
liberalisasi.
Meskipun demikian, diakuinya kebijakan yang dapat mendorong majunya dunia
pendidikan harus diperioritaskan oleh pemerintah. Khususnya pada persoalan
dana, akibatnya, timbullah pendidikan yang mahal dan komersialisasi pendidikan
di Negara ini. Siapa yang bertanggung jawab? Alih-alih membicarakan persoalan
pendidikan yang mahal, maka siapapun akan menyalahkan pemerintah di negeri ini.
Oleh sebab itu untuk membebaskan masyarakat dari belenggu mahalnya pendidikan
saat ini merupakan tanggung jawab pemerintah. “Dalam konteks ini, masyarakat
Kota Batam patut berbangga.
Minyak Alasan Dana Pendidikan
Merosot. Kenaikan
asumsi harga minyak dunia menjadi alasan pemerintah atas penurunan persentase
anggaran pendidikan dalam APBNP 2008. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
mengatakan, penurunan tersebut disebabkan membengkaknya belanja negara dari Rp
752,4 triliun (APBNP 2007) menjadi Rp 989,5 triliun (APBNP 2008). “Ini sebagai
akibat adanya faktor eksternal melonjaknya harga minyak mentah internasional
yang berada di luar kendali pemerintah,” ujarnya ketika menyampaikan pendapat
pemerintah dalam Sidang Uji Materiil UU No 16 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
UU No 45 Tahun 2007 tentang APBN 2008 di Ruang Sidang Utama Mahkamah Konstitusi
kemarin (15/7). Dari segi jumlah, anggaran pendidikan kali ini memang naik dari
Rp 142,2 triliun menjadi Rp 154,2 triliun. Namun, dari segi persentase,
anggaran pendidikan kali ini turun dari 18,9 persen menjadi hanya 15,6 persen.
Padahal, dalam Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945, negara diwajibkan memenuhi
sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD.
Mutu Pendidikan
Merosot Akibat Siswa Dan Guru Tidak Profesional. Rektor Universitas Negeri Padang (UNP), Prof. Dr. Z.
Mawardi Effendi, M. Pd, menilai merosotnya mutu pendidikan di Indonesia, bukan disebabkan
faktor kurikulum yang tidak sesuai, namun lebih karena siswa yang tidak mandiri
dan guru kurang profesional. “Mutu pendidikan kita merosot bukan karena kurikulum, namun
lebih dominan akibat penyelenggara dan sasaran dari program pendidikan itu
sendiri,” kata Prof. Dr. Z. Mawardi Effendi, di Padang, Minggu.
Dia mengungkapkan hal tersebut, terkait adanya program sertifikasi yang
diluncurkan pemerintah untuk memperbaiki mutu pendidikan.
Menurut dia, para siswa dari berbagai jenjang pendidikan dinilainya
tidak mandiri dalam pembelajaran, artinya cenderung tidak aktif namun hanya
menunggu guru memberikan materi pelajaran.
Kondisi ini terlihat siswa tidak gemar membaca dan kurang
suka berfikir analitik. Hal tersebut terjadi karena proses pembelajaran yang
salah, yakni cenderung terpusat pada guru.
Hal tersebut juga diperparah dengan cara mengajar guru yang kurang
profesional, hanya mengandalkan proses pembelajaran konvensional dengan metode
ceramah saja. Padahal kini cukup banyak berkembang metode belajar yang lebih kreatif dan
bisa diterapkan guru dalam pembelajaran, misalnya pembelajaran kolaboratif.
“Metode baru ini hanya bisa digunakan oleh guru yang
menguasainya dengan cara banyak membaca, belajar dan meneliti,” katanya.
Prof. Mawardi, menyebutkan, program sertifikasi satu
jawaban guna memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia itu. “Program sertifikasi itu kita
sambut baik, asalkan harus ada komitmen yang tegas dari para guru untuk mengubah
prilakunya dalam proses belajar mengajar,” katanya.
Bagi guru yang sudah dinilai profesional atau lulus program sertifikasi,
diharapkan bisa mengubah pola belajarnya banyak membaca. Jumlah guru Sumbar
yang mengikuti program sertifikasi tahun 2006 dan 2007 sebanyak 6.588 orang
dengan perincian guru binaan Depdiknas 6.241 orang (964,73 persen), dan asal
Depag 347 orang (5,27 persen).
D. Strategi Mengantisipasi dan Mengatasi Kejutan Masa Depan
Pendidikan
Watak budaya suatu bangsa, termasuk alam pikiran dan
perilaku, dibentuk oleh kondisi alam tempat hidupnya. Misalnya, watak budaya
orang pantai berbeda dengan orang pegunungan; orang gurun pasir berbeda dengan
orang lembah hijau; orang bermusim salju dengan orang khatulistiwa. Selain itu,
juga dibentuk oleh kondisi sejarahnya sendiri. Oleh karena itu, terdapat
perbedaan watak bangsa – bangsa seperti yang dikenal dalam sejarah. Watak
budaya itu dapat juga dibentuk oleh sistem dan pertumbuhan ekonomi dan industri
terhadap masyarakat yang semula agraris. Namun, dapat pula dibentuk oleh konsep
pendidikan berdasar strategi politik suatu negara.
Pendidikan amat berperan terhadap keunggulan suatu bangsa.
Misalnya, bangsa Sparta 1000 tahun sebelum Masehi. Pada masa itu, bangsa-bangsa
yang mendiami Balkan hidup terpencar dalam kota-kota kecil yang terpisah oleh
gunung dan pulau-pulau. Mereka senantiasa dilanda perang antara sesamanya. Oleh
karena itu, bangsa Sparta di bawah pimpinan Lycurgus, seorang pendidik,
membangun kekuatan dengan sistem pendidikan militer yang keras sejak anak
berusia 10 tahun. Akhirnya, Sparta disegani bangsa-bangsa di sekitarnya. Tentu
saja strategi dan program pendidikan itu didukung oleh sistem sosial secara
konsisten. Kemudian, “Pendidikan Sparta” menjadi amsal bagi pendidikan dengan
disiplin keras.
Lain lagi dengan Jepang. Ketika mereka sadar telah
tertinggal jauh dari bangsa Eropa, seperti Sparta juga, Jepang mengubah
strategi pendidikan dengan tujuan mengejar ketertinggalan itu. Mereka
melaksanakan program pendidikan yang ketat dan konsisten, ditunjang oleh
seluruh kekuatan sosial dan ekonomi. Berbeda dengan Sparta, Jepang bukan hanya
membangun kekuatan militer, melainkan juga membangun kekuatan ekonomi dan
industri. Apa saja yang ada di Eropa mereka tiru. Sejak dari sistem tata
negara, militer, industri, pendidikan, bahkan cara berpakaian pun. Namun, ada
satu hal yang mereka pertahankan, yaitu kesadaran bahwa mereka adalah bangsa
Jepang yang memiliki tradisi samurai yang sakral, yang terpelihara lebih dari
1000 tahun. Seperti Sparta juga, dengan kekuatan militernya Jepang menjarahi
bangsa-bangsa sekitarnya. Meski akhirnya kekuatan militernya terkalahkan,
semangat yang tertanam oleh sistem pendidikan yang strategis itu, Jepang tetap
tampil sebagai bangsa yang kuat di bidang ekonomi.
Strategi pendidikan yang dikembangkan Belanda untuk bangsa
Indonesia ialah untuk mengukuhkan kekuasaan kolonialnya. Kepada bangsa
Indonesia ditanamkan mitos bahwa Eropa, terutama Belanda, adalah bangsa yang
unggul. Sebaliknya, bangsa Indonesia bodoh, malas dan kumuh. Juga ditanamkan
semangat “anak jajahan” yang penurut, elistis, feodalistik dan berpecah –
belah.
Sekolah didirikan dengan jenis dan tingkat yang
berbeda-beda. Untuk pribumi didirikan 2 tingkat sekolah : Sekolah rakyat 3
tahun dan Sekolah rakyat 5 tahun. Sekolah ini tidak ada sambungannya, selain ke
sekolah pertukangan untuk mendidik tenaga kerja di bengkel perusahaan milik
Belanda.Untuk golongan elit didirikan sekolah tingkat rendah sampai tingkat
atas berbahasa Belanda.
Sekolah berbahasa Belanda itu didirikan bukan bertujuan
untuk mendidik bangsa Indonesia agar maju, melainkan untuk disiapkan menjadi
amtenar atau pekerja kantoran yang cakap dan loyal serta memiliki prestise
elitis atau priayi. Dengan begitu, seluruh orang terpesona dan bercita-cita pula
menjadi amtenar atau priayi.
Apabila kemudian diperbanyak sekolah berbahasa Belanda, itu
bukan karena pemerintah memerlukan lebih banyak amtenar atau tenaga kerja,
melainkan untuk memenuhi tuntutan para amtenar agar anak mereka dapat
bersekolah seperti yang mereka peroleh sehingga memperluas pengaruh golongan
elit “anak jajahan”.
Pembanyakan jumlah sekolah itu tentu saja berakibat pada
meningkatnya jumlah pengangguran tamatan sekolah, baik sekolah rendah maupun
sekolah menengah, karena lowongan kerja tidak sebanyak jumlah tamatan sekolah.
Kondisi dan situasi itu tampaknya tidak mengkhawatirkan pemerintah karena dari
orang-orang yang bermental “anak jajahan” tidak akan mungkin timbul dampak
politik maupun keamanan. Apabila kemudian bangsa Indonesia dapat mencapai
kemerdekaan bagi tanah air Indonesia, itu karena dipelopori oleh mereka yang
telah menduduki perguruan tinggi, maka wawasan dan konsep pendidikannya jauh
berbeda dengan sekolah di bawahnya.
Oleh dominasi hasil pendidikan elistis yang feodalistik,
pada umumnya golongan menengah ke atas tidak menghayati makna demokrasi sebagai
cita-cita nasional.
Pendidikan yang berorientasi elistis juga membuat anak-anak
desa terputus hubungannya dengan tradisi dan sistem budayanya. Sawah – ladang
dan usaha kerajinan terlantar. Kalau tetap dikerjakan, hanya oleh orang – orang
yang tidak terdidik sehingga mutu produksinya tidak bisa meningkat. Akan lain
jadinya kalau lapangan kerja itu diminati orang terdidik yang mampu menggunakan
otaknya mencari dan menemukan cara yang efektif dan efisien serta mutu yang
baik.
Bagi bangsa yang merdeka, menjadi amtenar atau pekerja
kantoran tidaklah dipandang paling ideal. Yang ideal ialah bekerja di bidang
produksi. Namun, bidang itu membutuhkan orang – orang aktif, kreatif dan
produktif serta memiliki etos kerja dan semangat mandiri. Memang pemerintah
mendirikan juga banyak sekolah kejuruan. Namun, programnya untuk mendidik
tenaga kerja gajian, bukan mendidik orang terampil yang memiliki kemauan kerja
dan mandiri. Pesan yang paling tepat dalam menggambarkan hal ini adalah “Lebih
baik jadi tuan kecil daripada jadi budak besar”.
Strategi pendidikan Belanda di negerinya, sama dengan yang
berlaku pada umumnya bangsa-bangsa Eropa. Karena sistem tata negara mereka
berdasarkan demokrasi, dimana manusia sebagai individu tanpa memandang
golongan, sudah sama berwatak aktif-kreatif dan kritis dengan tradisi etos
kerja, maka program pendidikan di sana tinggal mengutamakan dan mengembangkan
nalar dan kebebasan mengeluarkan pendapat
Meskipun beberapa materi kurikulum banyak persamaan dengan
di Belanda, sistemnya jauh berbeda. Perbedaan yang mencolok sudah dimulai sejak
sekolah rendah. Program dan kurikulum pendidikan di Belanda senantiasa dapat
berubah untuk disesuaikan dengan tuntutan jaman, baik karena perkembangan tata
negara dan ekonomi, maupun karena ilmu dan teknologi yang meningkat. Namun,
sistem dan metode diletakkan bagi sikap mental manusia yang dinamik, yang
merdeka dan demokrasi. Dengan demikian, penghargaan tertinggi bukan pada sikap
loyalitas pada pekerja kantoran, melainkan pada prestasi dalam profesi apapun,
seperti negarawan, cendekiawan, ilmuwan, teknolog, olahragawan, seniman dan
usahawan.
Di Belanda, pemerintah tidak mendirikan sekolah lanjutan
yang berfungsi menampung murid dari sekolah di bawahnya. Istilah pendidikan
dengan pengajaran dipahami secara terpisah. Pada sekolah tingkat lebih rendah
bobot pendidikan lebih besar daripada pengajaran. Di sekolah lanjutan, bobot
pendidikan dikurangi dengan memperbesar pengajaran. Di sekolah tinggi yang
diberikan semata-mata pengajaran tentang ilmu pengetahuan, teori dan praktek.
Oleh karena itu, dalam program sejak awal pendidikan murid disiapkan memikirkan
sendiri masa depannya: mau langsung bekerja dalam masyarakat atau melanjutkan
sekolah. Menjadi mahasiswa atau memakai label sarjana tidaklah dimitoskan
sebagai status sosial yang berprestise. Yang menjadi cita-cita utama ialah
bagaimana supaya bisa bekerja dan tidak sampai menganggur.
Pendidikan di Indonesia masih melanjutkan sistem pendidikan kolonial,
yaitu dengan lebih memakai sistem verbal. Murid mendengar apa kata guru serta
banyak menghafal pelajaran dan memberi banyak pekerjaan ulangan di rumah. Murid
tidak diajak berpikir untuk mengembangkan nalar secara kritis, kemampuan
mencari alternatif. Tidak diajarkan berani bertanya apalagi mendebat dengan
menggunakan dalil yang argumentatif. Yang boleh bertanya hanya guru.
Secara politis, strategi pendidikan nasional yang sesuai
dengan tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak pernah dipikirkan apalagi
ditetapkan. Program dan sistem pendidikan diserahkan saja kepada birokrat bekas
guru-guru sekolah rendah yang berdiploma. Karena mereka tidak memiliki wawasan,
apalagi menghayati makna nasionalisme dan tujuan kemerdekaan, mereka
“menjiplak” saja apa yang mereka peroleh dari sekolahnya dulu: sistem , program
dan kurikulumnya. Label pendidikan nasional diartikan sama dengan membuang
kurikulum bahasa Belanda dan yang berbau Belanda.
Pelajaran kesenian seperti menggambar dan bernyanyi, serta
kerajinan tangan sejak dari sekolah rendah yang berfungsi untuk melatih murid
agar dapat bekerja dan meniru secara teliti secara estetika, tidak diajarkan
lagi. Tidak diajarkan, bukan karena program atau sistemnya salah, melainkan
karena tidak mengerti akan fungsinya serta sangat mendewakan ilmu pengetahuan
umum. Padahal kemampuan meniru dengan baik dan bekerja dengan teliti melalui
pendidikan kesenian itu sangat diperlukan bagi mereka yang akan bekerja pada
bidang administrasi, terutama di pemerintahan. Besertanya pendidikan bagi rasa
keindahan atau estetika pada murid pun terabaikan.
Bahkan sejak dari sekolah rendah, kepada murid tidak diberi
perpustakaan yang menyediakan buku-buku sebagai alat bantu untuk mengembangkan
wawasan murid, karena alasan tidak ada dana. Padahal seluruh kurikulum
menggiring murid agar mampu masuk ke perguruan tinggi yang akan mewajibkan
mahasiswa melakukan banyak studi kepustakaan. Oleh karena itu, ketika menjadi
mahasiswa, mereka tidak mempunyai minat membaca dan menulis sehingga waktu mereka
lebih banyak diisi dengan kelakar atau mengobrol bergerombol daripada studi.
Tingkat dan jenis sekolah serta program dan kurikulum
diseragamkan untuk seluruh Indonesia tanpa mengindahkan kondisi dan situasi
yang berbeda-beda di berbagai daerah dengan dalih demi persatuan bangsa.
Akibatnya, anak petani atau nelayan di pedesaan terpencil mendapat program
pendidikan yang sama dengan anak kota besar yang makmur. Jika anak kota besar
yang disiapkan ke perguruan tinggi mulai belajar bahasa Inggris di SMP, anak petani
atau nelayan itu pun wajib pula belajar bahasa Inggris. Tidak ada yang peduli,
apakah bahasa itu akan menjadi bahasa kedua atau tidak akan berfaedah bagi
kehidupan masa depan di desanya. Pokoknya, demi persatuan dan kesatuan bangsa,
pendidikan di seluruh Indonesia mesti diseragamkan.
Demokrasi pendidikan diartikan bahwa semua orang berhak
mendapat pendidikan yang sama dan setinggi-tingginya. Oleh karena itu, setiap
tingkat sekolah dijadikan jenjang pendidikan untuk memasuki perguruan tinggi
dengan muatan kurikulum yang disesuaikan untuk ke sana. Tidak ada pikiran bahwa
tidak semua anak yang mampu ke perguruan tinggi, baik karena kemampuan otaknya
maupun kemampuan biaya. Diperkirakan yang mampu ke perguruan tinggi hanya 10%,
sedangkan yang 90% tercecer di SD, SMP dan SMA. Mereka tak ubahnya sebagai
korban dari program demokrasi pendidikan yang salah kaprah itu.
Akibat dari sistem demokrasi pendidikan yang “sama rata”
itu, sekolah pun diperbanyak setiap tahun, sedangkan pemerintah tidak punya
dana yang cukup. Dengan sendirinya, sarana dan prasarana pendidikan menjadi
minim dan kian minim lagi setiap penambahan jumlah sekolah apapun jenjangnya.
Sudah tentu hasil dari pendidikan itu pun kian terpuruk.
Hal yang tidak dapat dipahami pula ialah masalah waktu libur
sekolah yang tetap memakai aturan pada masa kolonial yang menetapkan waktu
libur disesuaikan dengan musim di eropa. Tidak dengan iklim tropis yang
mengatur musim turun ke sawah. Akibatnya, anak-anak petani di pedesaan yang
secara tradisional membantu orang tuanya, terputus dengan tradisinya atau
terputus dengan sekolahnya. Yang melanjutkan sekolah tidak lagi mencintai
pekerjaan pertanian, yang terputus sekolahnya tetap tinggal bodoh.
Memang banyak sudah upaya pemerintah memperbaiki kondisi
pendidikan sejak dari penyempurnaan prasarana dan sarana sampai kepada
perbaikan kurikulum. Antara lain dengan membuat program yang cukup drastis:
membuka sekolah percobaan sebagai pilot project yang dikelola langsung oleh
beberapa IKIP. Namun, ketika terjadi pergantian menteri, pilot project tersebut
dihentikan. Menteri lain melaksanakan program “modul” dengan mengelompokkan
kurikulum, yang dihentikan pula oleh menteri yang baru. Berikutnya dilaksanakan
lagi perubahan yang lebih mementingkan “humaniora”, lalu oleh menteri
berikutnya lebih mementingkan “program matematik”. Namun, oleh menteri yang
menggantikannya, program baru itu diganti lagi dengan “sekolah unggul” yang
kemudian berganti nama dengan program sekolah “plus”, disamping ada program
kurikulum “muatan lokal”.
Ternyata kurikulum “muatan lokal” cenderung untuk memenuhi
tuntutan sikap emosional orang-orang daerah yang berorientasi lokal pula.
Hampir tidak ada pemikiran yang rasional, agar materi kurikulum “muatan lokal”
itu berfungsi untuk menunjang pembentukan watak bangsa yang tengah berpacu
mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.
Semua perubahan itu membuktikan, semua orang menyadari bahwa
hasil pendidikan di Indonesia kian lama kian turun mutunya atau kian tertinggal
dari bangsa lain, dan ada usaha untuk memperbaikinya. Yang paling merasakan
rendahnya mutu pendidikan itu ialah para pengajar di perguruan tinggi.
Selanjutnya, kepada mereka pula ditugaskan menyusun konsep perbaikan mutu
pendidikan sekolah di bawahnya. Adalah tidak mengherankan apabila dari sana
lahir program perbaikan pendidikan hanya demi kepentingan mutu perguruan
tinggi, bukan bagi kepentingan tuntutan kehidupan sosial, ekonomi dan
kebudayaan yang tengah berubah dengan cepatnya itu.
Program dan hasil pendidikan di Indonesia dinilai tidak lebih
baik daripada zaman penjajahan. Sesalah-salah strategi dan sistem pendidikan
pada jaman kolonial, mutu dan hasil pendidikannya masih lebih baik, baik di
bidang ilmu maupun etika dan moralnya. Oleh karena sejak sekolah lanjutan
sampai ke perguruan tinggi pengelolaannya melalui prosedur yang terseleksi
dengan ketat, tidak memassal. Sekolah lanjutan dibuka hanya untuk anak-anak
yang otaknya pintar dan orang tuanya mampu. Dengan sendirinya terjadilah
perlombaan ketekunan belajar pada murid. Oleh karena itu, anak-anak yang kurang
mampu, baik otak maupun dananya, tidak didorong untuk melanjutkan sekolah.
Kesalahan strategi pendidikan moral kolonial ialah karena tidak meyiapkan murid
untuk berani terjun ke masyarakat dan tidak menyiapkan murid sebagai bangsa yang
memiliki etos kerja dan sikap yang mandiri.
Kebijaksanaan yang dipakai di Indonesia sekarang ini ialah
dengan membuka sekolah sebanyak-banyaknya, dengan hasil yang bersifat massal,
meskipun sudah diketahui mutunya akan terus merosot. Pada ujungnya, tamatan
pendidikan dari jenjang sekolah manapun akan menjadi penganggur juga.
Apapun macam perbaikan program pendidikan senantiasa tidak
akan mencapai sasaran yang sesuai dengan tuntutan jaman, apabila murid sejak di
sekolah dasar tidak terbentuk wataknya sebagai manusia seperti yang tercantum
dalam filsafat Pancasila dan UUD 1945. Manusia itu dapat diibaratkan seperti
pohon kelapa yang setiap komponennya berfaedah, seperti daging buah, air, batok
, sabut, daun, lidi dan batang. Pohon itu dapat tumbuh, namun kualitasnya akan
ditentukan oleh lembaganya, yaitu umbut atau embrio yang akan menjadi bibitnya.
Kebijaksanaan pendidikan yang berlabel pendidikan nasional
dengan program menyiapkan setiap murid untuk meningkatkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi masih menanamkan cita-cita agar menjadi orang kantoran,
padahal jumlah pegawai negeri terbatas. Pada akhirnya, setiap orang dari setiap
jenjang pemikiran lebih memilih menjadi penganggur daripada tidak dapat bekerja
sebagai pegawai negeri. Kalaupun mereka bekerja juga pada akhirnya, baik
sebagai karyawan maupun wiraswasta, pada umumnya tidak relevan dengan bidang
studi yang dipelajarinya sehingga seolah-olah setiap jenjang pendidikan itu
berfungsi untuk menunda masa pengangguran.
Memang, diwaktu perkembangan ekonomi sangat pesat, banyak
terbuka lapangan kerja di luar pemerintahan. Namun, itu hanya berlaku di kota
besar, tempat kegiatan ekonomi terpusat. Di daerah, tempat perkembangan ekonomi
bergerak lamban, satu-satunya lapangan kerja yang mampu menjamin masa depan
hanyalah di pemerintahan. Akibatnya, jumlah sarjana penganggur kian membengkak
dari tahun ke tahun berhubung instansi pemerintah tidak mampu menampung. Karena
perlu mempertahankan hidupnya, mereka terpaksa bekerja pada tempat yang
sepatutnya untuk tamatan sekolah rendah saja. Itu bukan suatu pilihan hidup,
melainkan karena keterpaksaan.
Sistem kepangkatan menurut diploma pada pegawai negeri, juga
menjadi salah satu pendorong utama bagi orang untuk memasuki perguruan tinggi.
Sebagian mereka memilih fakultas favorit, namun lebih banyak memilih fakultas
apa saja asal bisa masuk. Ukuran favorit tidak terletak pada ilmu yang hendak
diperoleh, melainkan prospek yang menjamin dapat pekerjaan. Hasilnya sama saja
antara memilih fakultas favorit dengan memilih fakultas apa saja, jika dilihat
pada perilaku dari produk sistem pendidikan itu sendiri.
Tampaknya, karena banyak peminat, kebijaksanaan politik
dalam pengelolaan perguruan tinggi lebih memilih memperbanyak fakultas atau
jurusan, daripada meningkatkan kualitas. Masa waktu pendidikan diperpendek dan
lama masa mengikuti kuliah dibatasi. Tampaknya, kebijaksanaan itu seperti untuk
memaksa agar mahasiswa belajar lebih rajin. Namun, bisa terjadi sebaliknya.
Mahasiswa mencari “jalan pintas” yang paling mudah untuk mendapat diploma.
Karena pada umumnya setiap instansi pemerintah, oleh alasan yang tidak etis,
penerimaan tenaga kerja hanya melihat diploma, tidak pada kualitas dan
relevansi bidang studinya.
Pemerintah memang mendirikan beraneka ragam sekolah
kejuruan. Akan tetapi, sekolah kejuruan tidak menarik. Oleh karena cita-cita
masyarakat, yang telah dibentuk sejak 100 tahun yang lalu, memandang status
sosial pegawai negeri yang terhormat ialah di perkantoran, bukan di bengkel
atau di lapangan. Di samping itu, sekolah kejuruan tidak mendidik orang agar
memiliki etos kerja yang terampil. Di sisi lain, sekolah kejuruan akan tidak
memungkinkan orang melanjutkan ke perguruan tinggi. Masyarakat memandang
sekolah kejuruan sebagai sekolah kelas dua, sekolah bagi murid yang bekecerdasan
kurang. Memasuki sekolah kejuruan bukan karena pilihan, melainkan karena tidak
dapat memilih. Pada satu masa, pemerintah memang memberi peluang kepada murid
sekolah kejuruan agar mampu ke perguruan tinggi dengan cara mengisi beberapa
kurikulum pendidikan umum, namun akibatnya kurikulum praktek kejuruannya
menjadi kian berkurang.
Di sekolah kejuruan tidak disertakan program pendidikan etos
kerja. Sistem dan metode serta tujuan sama dengan sekolah umum. Tidak ada
pikiran untuk melaksanakan konsep pendidikan kejuruan yang relevan dengan
program pembangunan yang membutuhkan manusia yang cinta pada pekerjaan, ulet
dan tekun. Tentu saja banyak masalah yang menjadi hambatan, terutama karena
setiap sekolah kejuruan yang relevan untuk jamannya, memerlukan peralatan yang
memadai. Dan itu mahal.
Di Jepang, sekolah kejuruan hadir dalam posisi yang tidak
kalah pentingnya dengan sekolah umum. Dalam 1000 sekolah, terdapat 125 sekolah
kejuruan yang menghasilkan tenaga terampil untuk mengisi lowongan beragam
industri. Dalam materi kurikulum ilmu bumi SD Jepang, dicantumkan nama negara
yang menjadi pasar industri Jepang. Sebaliknya, di Indonesia yang disuruh hafal
ialah nama gunung tertinggi, sungai terpanjang atau laut terdalam. Sejak dari
pendidikan di tingkat sekolah menengah di Jepang, para murid telah dituntun
untuk berpikir realistis untuk ke arah mana mereka akan melanjutkan pendidikan.
Namun, murid di Indonesia diarahkan untuk melanjutkan ke SMA agar kelak bisa
masuk ke sekolah tinggi. Sampai menamatkan SMA, murid tetap tidak tahu ke
sekolah tinggi apa mereka akan melanjutkan pendidikan.
Kemerdekaan Indonesia yang dicapai berkat usaha para
pemimpin bangsa, tidak diimbangi dengan strategi pendidikan yang konsepsional.
Kemerdekaan Indonesia baru pada tingkat ketatanegaraan dan politik. Maka tujuan
kemerdekaan bangsa menjadi tidak lain daripada penggantian posisi dari bekas
penjajah kepada anak jajahan.
Slogan “Tut Wuri Handayani” yang diambil dari konsep Taman
Siswa, dipahami secara dangkal. Sebatas pengertian bahwa guru berfungsi sebagai
penggiring murid dari belakang, sedangkan arahnya tetap memakai konsep
pendidikan kolonial. Konsep pendidikan Taman Siswa dengan slogan itu, bertujuan
menggiring murid agar sadar pada hak serta kewajiban sebagai manusia menurut harkatnya,
agar memiliki wawasan nasional yang diperjuangkan tanpa pamrih demi kepentingan
bangsa. Bukan untuk menjadikan bangsa yang menurut pada sistem feodalisme.
Konsep pendidikan nasional yang berlaku, masih terpaut dalam
pengertian perjuangan ideologi politik bernegara akibat terjadinya serentetan
pemberontakan yang memecah belah kesatuan bangsa dan menentang ajaran ideologi
komunis yang ateistis. Oleh karena itu, kurikulum utama yang diajarkan sejak
dari SD sampai ke perguruan tinggi ialah ideologi bernegara melalui kurikulum
moral Pancasila dan agama. Karena kurikulum itu menggunakan metode
indoktrinasi, dan pada setiap ujian nilai hafal lebih menentukan daripada nilai
perbuatan, sekolah cenderung mengabaikan mutu kurikulum yang berfungsi
meningkatkan kecerdasan otak.
Strategi pendidikan suatu bangsa semestinya ditentukan oleh
konsep ideologi bangsa, bukan oleh konsep politik suatu pemerintahan. Konsep
politik pemerintah lazimnya terpakai pada suatu negara yang menganut sistem
diktator. Arah pendidikan suatu bangsa bukan untuk mengokohkan posisi golongan
yang sedang berkuasa. Sementara itu, konsep suatu bangsa atau negara harus
diatur berdasarkan pertimbangan kondisi alam tempat bangsa itu hidup, dan ke
arah mana bangsa itu akan dididik agar mampu hadir di tengah masyarakat dunia
yang maju di jaman ini dan nanti.
Ideologi bangsa Indonesia yang berakar dari kebangkitan
nasional dimotivasi oleh kehendak untuk mengangkat martabat bangsa secara
politik, ekonomi dan sosial melalui kemerdekaan, yang kemudian tertuang pada
Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, strategi dan program pendidikan
seharusnya sejalan dengan tujuan untuk membangkitkan harkat manusia
khatulistiwa yang berbudaya santai itu agar mampu berpacu secara mental
mengejar ketertinggalan dalam arena hidup di dunia tanpa menghilangkan
kodratnya yang beragam. Setiap jenis kurikulum bukan menjadi tujuan, melainkan
menjadi alat untuk mencapai tujuan. Dari sanalah seharusnya disusun strategi,
program dan kurikulum pendidikan itu.
Maksudnya, murid tidak dituntut untuk menguasai secara
hafalan akan materi kurikulum, melainkan setiap materi kurikulum itu membantu
murid agar memiliki nalar pada otaknya. Memaksa murid agar hafal semua materi
kurikulum itu tidak menyebabkan mereka menjadi pintar dan cerdas. Cara demikian
lebih mendorong murid menjadi “pengekor”, bukan pemikir. Memberi nilai tinggi
kepada murid yang mampu menghafal sebetulnya merupakan sistem yang keliru.
Karena kebijaksanaan program pendidikan bertujuan agar
setiap murid mampu melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi, maka
bobot kurikulum menjadi berat ke bidang akademik. Tujuan perjuangan
nasionalisme untuk mengangkat harkat dan martabat manusia yang merdeka di tanah
airnya terabaikan. Formulasi makna nasionalisme yang dituangkan dalam Pancasila
menuntut sistem dan kurikulum yang seharusnya bermuatan untuk mengangkat
martabat manusia agar beradab, demokratis dan sejahtera. Akan tetapi, apabila
bobot kurikulum berat ke bidang akademik, hasilnya akan tidak ada bedanya
dengan pendidikan pada masa kolonial.
Penyeragaman jenis, tingkat dan materi kurikulum untuk
seluruh sekolah di mana pun lokasinya, berakibat pada penyeragaman kualitas dan
wawasan manusia. Akibat lanjutannya ialah memusnahkan keragaman manusia itu
sendiri. Hal itu bertentangan dengan kodrat alam sebagai ciptaan Tuhan.
Penggiringan murid untuk bercita-cita utama untuk menjadi pegawai negeri atau
tenaga kerja melalui sistem dan proses pendidikan di sekolah, padahal sudah
diketahui daya tampung sangat kecil, merupakan kesalahan besar. Meski sudah
sering diomongkan bahwa bercita-cita menjadi pegawai oleh sekolah sejak dari
tingkat dasar sampai ke tingkat tinggi adalah keliru, program pendidikan tidak
memberikan pengertian serius kepada murid sejak dini. Cita-cita yang keliru itu
dibiarkan berkembang terus.
Pendidikan pada madrasah di jaman penjajahan, tidak
menjuruskan murid agar mencari pekerjaan ke kantor. Murid disiapkan untuk hadir
dalam masyarakat sebagai warga yang mandiri. Salah satu kurikulum yang penting
ialah ilmu mantiq atau logika sehingga murid mampu mengadu argumentasi dari
suatu kebenaran yang dianutnya, serta tidak menjadi masyarakat yang taqlid
buta.
Para pakar dan para birokrat pendidikan sama memandang bahwa
menjabat jabatan tinggi di kantor-kantor merupakan status yang paling ideal dan
terhormat. Oleh karena itu, mereka bersikukuh mempertahankan sistem dan program
pendidikan yang sudah ada, meski mereka pun mengetahui bahwa dalam kenyataannya
hal itu adalah keliru. Merombak pandangan lama dengan pandangan baru secara
total, selain membutuhkan keberanian politik juga sosio-psikologis. Dengan
melakukan perombakan total itu, dengan sendirinya akan menurunkan letak posisi
pegawai atau pejabat tinggi, atau dalam perkataan lain akan menurunkan posisi
mereka sendiri di mata masyarakat. Kemungkinan faktor inilah yang menghambat
pemikiran para perencana pembangunan bidang pendidikan selama ini. Andaikata
penyusun kebijaksanaan diserahkan kepada golongan bukan dari birokrasi, program
pendidikan nasional kita akan jadi lain.
Hal ini dapat dituangkan dalam kiasan “Dari pohon mangga
jangan diminta buah rambutan. Tetapi jadikan setiap pohon menghasilkan buah
yang manis.” Maksudnya, agar pendidikan tidak membentuk murid menjadi
manusia yang bercita-cita dan berpikir seragam, tetapi menjadikan mereka
manusia yang berkualitas yang menurut kodratnya. Pendidikan jangan sampai
berfungsi untuk menentukan pilihan hidup murid. Fungsi pendidikan ialah
membangkitkan minat murid agar berkemauan keras untuk memilih sendiri jalan
hidupnya. Anak pegawai atau pedagang di kota dan anak petani di desa harus
diberi bentuk pendidikan yang berbeda karena masing-masing memiliki kondisi dan
latar belakang budaya yang berbeda. Ada banyak materi kurikulum yang dapat dan
perlu sama. Namun, ada banyak pula materi kurikulum yang tidak boleh sama untuk
tempat dan kondisi yang berbeda.
Makna pendidikan nasionalisme dan kemerdekaan bangsa seperti
yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, bukanlah semacam “barang” hafalan. Ia
harus berfungsi membentuk watak bangsa melalui metode pendidikan aktif-kreatif
agar nalar pemikiran dan amal perbuatan berkembang. Setiap materi kurikulum
sejak SD sampai SMA tidak hanya berfungsi mengajarkan ilmu, melainkan juga
meningkatkan akal budi. Kurikulum matematik sebagai contoh. Fungsinya untuk
memberi latihan berpikir matematis, logis dan sistematis. Hafal rumus-rumus
bukan suatu hal yang pantas untuk dinilai. Rumus biarkan dalam buku untuk
dijadikan pedoman pada waktu diperlukan, seperti melihat kamus atau
ensiklopedi.
Ada baiknya jika ada sekolah yang mendidik anak pintar atau
agar anak menjadi lebih pintar, tetapi bukan berarti seluruh sekolah
melaksanakan program itu. Demikian pula jangan ada program untuk mendidik semua
orang sama pintarnya. Untuk bangsa Indonesia yang hidup dalam alam tropis dan
berbudaya santai, materi pendidikan yang utama diberikan ialah untuk mengubah
watak budaya santai itu agar menjadi manusia berkemauan kerja keras, bermental
ulet dan tekun. Disamping itu, perlu dipahami pula bahwa orang pintar yang bertabiat
santai, tidak ada gunanya bagi mencapai cita-cita kemerdekaan bangsa.
Dalam program pendidikan di Indonesia lebih diutamakan
susunan dan materi kurikulum pendidikan akademik. Akibatnya, sering terjadi
perubahan dan penambahan materi yang serba tanggung sehingga tidak efektif bagi
peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Hal itu menjadi lebih buruk lagi
hasilnya oleh sistem target dalam hal belajar mengajar dengan memakai standard
NEM / NAN tertinggi. Dalam masyarakat yang berprilaku santai, sistem NEM / NAN
mendorong sekolah untuk memanipulasi angka, baik dengan cara membocorkan materi
ujian maupun membiarkan murid menyontek atau mengangkat nilai. Oleh karena itu,
fungsi pendidikan sudah berubah dari tujuan mendidik murid menjadi memperalat
murid demi memelihara “nama baik” sekolah. Dan secara tidak langsung telah
memberi pelajaran kepada murid untuk melakukan manipulasi atau melakukan “jalan
pintas”. Padahal untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, NEM / NAN
tidaklah menentukan secara otomatis dapat melanjutkan ke perguruan tinggi.
Mungkin karena perguruan tinggi tidak percaya pada mutu sekolah di bawahnya,
kemampuan murid harus diuji lagi.
Kebijaksanaan program pendidikan di Indonesia dinilai tidak
proporsional dan juga kontroversial. Sejak dari tingkat SD, murid disiapkan
agar mampu menaiki jenjang pendidikan yang paling tinggi. Konsekuensinya,
perguruan tinggi dibangun sebanyak – banyaknya dan jurusan bidang studi
diperluas sebanyak-banyaknya agar dapat menampung sebanyak – banyaknya mahasiswa.
Tampaknya, seperti tidak terpikirkan berapa banyak kebutuhan riil dari pengguna
jasa pada produk perguruan itu.
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dengan
latar belakang budaya dan agama yang berbeda, situasi dan kondisi alam yang tidak
sama serta lingkungan hidup yang berlainan sehingga watak manusianya pun
berbeda. Ada beberapa hal yang sama padanya, yaitu letak geografis di alam
khatulistiwa serta pengalaman sejarah sebagai anak jajahan yang telah
memerdekakan tanah airnya. Dalam posisi sosial, ekonomi, dan ilmu pengetahuan,
bangsa Indonesia berada jauh di bawah bangsa-bangsa yang berasal dari belahan
bumi utara.
Kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia memberi janji
atau peluang yang luas untuk mengangkat harkat bangsa, setidak-tidaknya
menyamai posisi yang dimiliki bangsa-bangsa yang maju di bidang ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat saja dipelajari
karena otak bangsa Indonesia tidak kalah mutunya dari bangsa mana pun, berkat
rahmat Tuhan Yang Maha Adil.
Pada umumnya, orang menyalahkan penjajahan Belanda yang
menyebabkan bangsa Indonesia seperti keadaan sekarang. Anggapan itu sebagian
saja yang benar jika mengingat bahwa Aceh belum sampai 40 tahun dijajah dan
Minangkabau 100 tahun. Namun, sikap mental orang Aceh atau Minangkabau praktis
sama dengan suku bangsa yang jauh lebih lama dijajah Belanda. Oleh karena itu,
jelaslah bahwa kondisi alam yang ramah yang menjadi penyebabnya. Penjajahan
Belanda hanyalah mengekalkan kondisi itu melalui strategi pendidikan di
sekolah.
Manusia hidup dalam kondisi alam yang berbeda-beda. Oleh
karena itu, manusia tidak bisa sama aktivitasnya. Alam yang keras memaksa
manusia hidup dengan dinamika yang keras pula. Kalau tidak, mereka akan mati
dimakan alamnya sendiri. Manusia yang hidup dalam alam yang lembut akan kalah
bila berhadapan dengan manusia yang beralam keras. Seperti watak manusia yang
dikatakan Thomas Hobbes, “Homo Homini Lupus”, manusia adalah serigala bagi
sesamanya.
Manusia yang betapapun pintar otaknya, akan tidak berarti
apa-apa dalam berhadapan dengan bangsa yang selain pintar juga memiliki kemauan
bekerja keras atau etos kerja seperti Jepang atau bangsa-bangsa Barat lainnya.
Di masa pendudukan Jepang terjadi banyak kerusakan mental
bangsa Indonesia umumnya. Pemerintah militer Jepang memang banyak membuka
pabrik untuk kepentingan perangnya. Mereka yang mempunyai kemampuan kerja
tangan atau keterampilan mendapat tempat untuk mencari nafkah hidup, baik
sebagai pekerja di pabrik maupun membuka usaha sendiri. Akan tetapi, mereka
yang hanya memiliki ilmu tanpa memiliki keterampilan, memilih “jalan pintas”.
Pola “jalan pintas” itu menjadi kebiasaan yang diterima oleh umum sampai
sekarang.
Mereka tidak salah, melainkan disebabkan oleh kesalahan
sistem dan program pendidikan yang hanya memberikan ilmu pengetahuan tanpa
dibarengi kemauan kerja keras. Akhirnya, pada waktu yang sulit, mereka memilih
“jalan pintas” dengan akal dan ilmunya untuk mengatasi problem hidupnya.
Kondisi dan situasi Indonesia setelah kemerdekaan adalah
masa yang berat oleh berbagai tuntutan demi mengangkat harkat bangsa dan tanah
air agar setara dengan bangsa yang lain. Karena tuntutan tidak tercapai
sebagaimana yang diharapkan, orang pun menggunakan “jalan pintas” pula, yaitu
melakukan aksi politik dengan mengadakan rapat, demonstrasi sampai ke
pemberontakan di satu pihak, dan di pihak lain mengambil tindakan pragmatis dan
berbagai manipulasi politik dan material untuk mengukuhkan kekuasaan dan
kekayaan. Orang yang terdidik bekerja keras sama sekali tidak tertarik dengan
cara-cara “jalan pintas” itu. Mereka inilah golongan yang mampu bertahan dalam
hidupnya, tidak terombang-ambing oleh situasi ekonomi dan politik yang
semrawut.
Kerusakan dan kekacauan politik dan ekonomi, yang berakibat
pada kerusakan moral itu, tidak akan dapat diperbaiki dengan sistem dan program
pendidikan yang memacu ilmu pengetahuan dan kesadaran bangsa secara verbal atau
menyontek pendidikan bangsa lain yang berbeda kondisi alam dan tradisinya.
Tuntutan pemilikan ilmu pengetahuan teknologi menuntut
mental yang berbeda jauh dengan watak bangsa yang berkebudayaan santai. Karena
ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan mental disiplin sendiri, yang
berakar pada etos kerja. Oleh karena itu, strategi dan program pendidikan sejak
awal bagi bangsa Indonesia semestinya lebih mengutamakan mengubah mental santai
itu. Strategi dan program pendidikan perlu diiringi dengan sistem dan metode
yang cocok, yaitu yang mampu membangkitkan vitalitas murni sebagai manusia
merdeka, mandiri, berprestasi, aktif dan kreatif serta produktif. Agar setiap
murid mampu memilih arah hidupnya sendiri atau tidak akan merasa gamang
memasuki masyarakat setelah menyelesaikan setiap jenjang pendidikan.
Untuk masa yang masih panjang, pendidikan mental murid tidak
mungkin dibebankan kepada orang tuanya karena tiga hal. Pertama, kedua orang
tua mereka telah terlalu sibuk untuk mencari nafkah hidup yang kian tinggi
tuntutannya. Kedua, mereka adalah produk pendidikan masa lalu yang bermental
santai dan bermoral yang lepas nilai. Ketiga, tidak memahami pentingnya arah
pendidikan bagi generasi baru.
Perlu juga dilaksanakan kebijaksanaan untuk mengurangi
jurusan bidang studi yang tidak relevan dan fungsional supaya tidak terjadi
pemborosan dana yang terus menerus. Dana yang dihemat itu dapat digunakan untuk
meningkatkan mutu sarana.
Perguruan tinggi yang banyak jumlahnya seperti dewasa ini
tidak menunjukkan tingginya tingkat kecerdasan dan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan bangsa Indonesia. Yang selalu dinilai ialah mutu dari produknya.
Sesungguhnya merombak atau memperbaiki pola dan program serta sistem pendidikan
itu membutuhkan keberanian moral dari pihak penentu kebijakan politik negara.
Bab IV
Penutup
Pendidikan berkaitan erat dengan segala sesuatu yang bertalian
dengan perkembangan manusia mulai perkembangan fisik, kesehatan keterampilan,
pikiran, perasaan, kemauan, sosial, sampai kepada perkembangan Iman.
Perkembangan ini mengacu kepada membuat manusia menjadi lebih sempurna, membuat
manusia meningkatkan hidupnya dan kehidupan alamiah menjadi berbudaya dan
bermoral.
Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, Rupert C. Lodge dalam
bukunya Philosophy of Education (New York : Harer & Brothers. 1974 : 23)
menyatakan bahwa dalam pengertian yang luas pendidikan itu menyangkut seluruh
pengalaman. Namun faktanya bahwa tidak semua pengalaman dapat dikatakan
pendidikan. Mencuri, mencopet, korupsi dan membolos misalnya, bagi orang yang
pernah melakukannya tentunya memiliki sejumlah pengalaman, tetapi pengalaman
itu tidak dapat dikatakan pendidikan. Karena pendidikan itu memiliki tujuan
yang mulia, baik dihadapan manusia maupun dihadapan Tuhan.
Daftar Pustaka
0 komentar:
Posting Komentar