Fikry Ardiansyah dan Muhammad Fathoni
Pendidikan pada dasarnya merupakan
upaya merancang masa depan umat manusia yang dalam konsep dan
implementasinya harus memperhitungkan berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Konsep pendidikan dapat diibaratkan sebuah pakaian yang
tidak dapat diimpor dan diekspor. Ia harus diciptakan sesuai dengan
keinginan, ukuran dan model dari orang yang memakainya, sehingga tampak
pas dan serasi.
Demikian pula dengan konsep pendidikan
yang diterapkan di Indonesia. Ia amat dipengaruhi oleh berbagai
kebijakan politik pemerintahan, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, perkembangan dan perubahan masyarakat, adat istiadat,
kebudayaan dan lain sebagainya.
Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai
dari pemerintahan kolonial, awal dan pasca kemerdekaan hingga masuknya
Orde Baru terkesan meng “anak tirikan”, mengisolasi bahkan hampir saja
menghapuskan sistem pendidikan Islam hanya karena alasan “Indonesia
bukanlah negara Islam”. Namun berkat semangat juang yang tinggi dari
tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya berbagai kebijakan tersebut mampu
“diredam” untuk sebuah tujuan ideal yang tertuang dalam UU Republik
Indonesia No 20 Tahun 2003, yaitu “ Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
Hingga saat ini kita menyadari bahwa
secara umum kondisi lembaga pendidikan Islam di Indonesia masih ditandai
oleh berbagai kelemahan, antara lain :
Pertama, kelemahan
sumber daya manusia (SDM), manajemen maupun dana. Sementara itu kita
mengetahui bahwa jika suatu lembaga pendidikan ingin tetap eksis secara
fungsional di tengah-tengah arus kehidupan yang semakin kompetitif
seperti sekarang ini harus didukung oleh ketiga hal tersebut, yaitu
sumber daya manusia, manajemen dan dana.
Kedua, kita
menyadari bahwa saat ini lembaga pendidikan tinggi Islam masih belum
mampu mengupayakan secara optimal mewujudkan Islam sesuai dengan
cita-cita idealnya. Di sisi lain masyarakat masih memposisikan lembaga
pendidikan Islam sebagai pilar utama yang menyangga kelangsungan Islam
dalam mewujudkan cita-citanya, yaitu memberi rahmat bagi seluruh alam.
Ketiga, kita
masih melihat lembaga pendidikan tinggi Islam belum mampu mewujudkan
Islam secara transformatif. Kita masih melihat bahwa masyarakat Islam
dalam mengamalkan ajaran agamanya telah berhenti pada dataran simbol dan
formalistik.
Keempat, pada
saat ini kita hidup dalam era reformasi. Pada era ini kecenderungan
masyarakat untuk mewujudkan masyarakat madani demikian kuat, yaitu
masyarakat yang menunjang tinggi nilai-nilai kemanusiaan seperti
nilai-nilai keadilan, kebersamaan, kesederajatan, kemitraan, kejujuran
dan sebagainya.
Kelima, hingga
saat ini posisi lembaga pendidikan tinggi Islam, bahkan juga pada
lembaga pendidikan Islam yang ada di bawahnya masih kurang diminati oleh
masyarakat. Masyarakat pada umumnya lebih memilih sekolah pada lembaga
pendidikan yang tidak menggunakan label Islam.
Berbagai kelemahan di atas paling tidak
merupakan persoalan yang harus dijawab oleh sistem dan kebijakan
pendidikan di Indonesia saat ini. Hal ini disebabkan karena pendidikan
memegang amanat tertinggi bangsa ini sebagai sarana untuk membina dan
membangun manusia seutuhnya, sebagaimana tercermin dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, “untuk memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa”.
B. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Pendidikan Islam
1. Faktor Agama
Di dalam proses
pembudayaan manusia, keberadaan pendidikan mutlak diperlukan. Bukan saja
karena ia merupakan produk sejarah dan masyarakat, melainkan juga
karena peranannya yang asasi dalam pembentukan hari depan. Di atas
peranannya ini terletak tugas dan tanggung jawab kultural edukatif
terhadap anak didik dan masyarakat.
Dalam perjalanan sejarahnya, sebuah
kegiatan pendidikan ditentukan oleh visi, misi dan sifat yang melatar
belakanginya. Dalam berbagai referensi kita masih belum menjumpai
rumusan tentang visi, misi dan sifat pendidikan Islam tersebut secara
eksplisit. Yang ada pada umumnya adalah rumusan tentang tujuan,
kurikulum, metode belajar mengajar, kriteria guru dan berbagai aspek
pendidikan lainya. Rumusan tentang visi, misi dan sifat pendidikan Islam
yang demikian penting itu belum sempat terpikirkan, walaupun berbagai
isyarat di dalam al-Qur’an, al-Hadits dan berbagai sumber ajaran Islam
lainnya, rumusan tentang visi, missi dan sifat pendidikan Islam tersebut
dapat dirumuskan.
Visi pendidikan Islam sesungguhnya
melekat pada visi ajaran Islam itu sendiri yang terkait dengan visi
kerasulan para Nabi, mulai dari visi kerasulan Nabi Adam AS. hingga
kerasulan Nabi Muhammad SAW., yaitu membangun sebuah kehidupan manusia
yang patuh dan tunduk kepada Allah SWT. serta membawa rahmat bagi
seluruh alam.
Berkaitan dengan visi rahmatan lil alamin
sebagaimana firman Allah SWT. (QS. 21: 107), Imam al-Maraghi mengatakan
sebagai berikut. Bahwa yang dimaksud dengan ayat 107 surat al-Ambiya
yang artinya : “Tidaklah Aku utus engkau Muhammad melainkan agar menjadi rahmat bagi seluruh alam adalah
bahwa tidaklah Aku utus engkau Muhammad dengan al-Qur’an ini serta
berbagai perumpamaan dari ajaran agama dan hukum yang menjadi dasar
rujukan untuk mencapai bahagia dunia dan akhirat melainkan agar menjadi
rahmat dan petunjuk bagi mereka dalam segala urusan kehidupan dunia dan
akhiratnya.
Visi pendidikan Islam yang bertumpu pada
mewujudkan rahmat bagi seluruh alam itu, memperlihatkan bahwa pendidikan
Islam memiliki sebuah tanggung jawab yang amat berat, kompleks,
multidimensi dan berjangka panjang. Visi pendidikan Islam terkait erat
dengan upaya mewujudkan sebuah tata kehidupan yang harmoni, aman, damai,
sejahtera lahir dan batin.
Sedangkan misi ajaran Islam yang
memuliakan manusia yang demikian itu, menjadi misi pendidikan Islam.
Terwujudnya manusia yang sehat jasmani, rohani dan akal pikiran, serta
memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, akhlak yang mulia, keterampilan
hidup (skill life) yang memungkinkan ia dapat memanfaatkan
berbagai peluang yang diberikan oleh Allah termasuk pula mengelola
kekayaan alam yang ada di daratan, di lautan, bahkan di ruang angkasa
adalah merupakan misi pendidikan Islam.
Dalam perspektif Islam, tanggung jawab
pendidikan dengan segala jenisnya tidak hanya berdimensi duniawi,
melainkan juga berdimensi ukhrawi dalam satu kesatuan yang integral.
Sehingga pendidikan Islam mempunyai tanggung jawab membantu setiap
pribadi muslim untuk merealisasikan misi hidupnya, seperti yang
digariskan Allah SWT. berikut ini :
a. Hamba Allah yang hanya mengabdi kepada-Nya :
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzariat : 56)
b. Membebaskan diri dari siksa api neraka :
$pkr’¯»t tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydßqè%ur
â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pkön=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâxÏî ×#yÏ© w
tbqÝÁ÷èt ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtur $tB tbrâsD÷sã ÇÏÈ
“ Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang
keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS.
At-Tahriim : 6)
c. Memiliki keselarasan dan keseimbangan hidup dunia dan akhirat :
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù 9t?#uä
ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( wur [Ys? y7t7ÅÁtR ÆÏB $u÷R9$# (
`Å¡ômr&ur !$yJ2 z`|¡ômr& ª!$# øs9Î) ( wur Æ÷ö7s?
y$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
“Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al-Qashash :77)
d. Membentuk pribadi yang memiliki dasar keimanan yang kuat serta wawasan keilmuan yang luas
ãAqà)uy y7s9 cqàÿ¯=yßJø9$#
z`ÏB É>#{ôãF{$# !$uZ÷Fn=tóx© $uZä9ºuqøBr& $tRqè=÷dr&ur
öÏÿøótGó$$sù $uZs9 4 tbqä9qà)t OÎgÏFoYÅ¡ø9r’Î/ $¨B }§øs9 Îû
öNÎgÎ/qè=è% 4 ö@è% `yJsù à7Î=ôJt Nä3s9 ÆÏiB «!$# $º«øx© ÷bÎ)
y#ur& öNä3Î/ #
Ñ ÷rr& y#ur& öNä3Î/ $JèøÿtR 4 ö@t/
tb%x. ª!$# $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? #MÎ7yz ÇÊÊÈ
“Orang-orang badwi yang tertinggal
(tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan: “Harta dan keluarga kami
telah merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami”; mereka
mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya.
Katakanlah: “Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi
kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia
menghendaki manfa’at bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan”. (QS. Al-Fath : 11)
Di atas misi kemanusiaan itulah
pendidikan Islam berpijak untuk menciptakan kondisi yang ideal bagi
terbentuknya pribadi-pribadi muslim dan untuk selanjutnya membentuk
tatanan masyarakat Islami yang dinamis.
Ketika menghadapi tantangan-tantangan
modernisasi dan polarisasi ideologi dunia, terutama didorong oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, pendidikan Islam tidak
terlepas dari tantangan yang menuntut jawaban segera. Secara garis besar
tantangan-tantangan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Terdapat kecenderungan perubahan
sistem nilai untuk meninggalkan sistem nilai yang sudah ada (agama).
Standar-standar kehidupan dilaksanakan oleh kekuatan-kekuatan yang
berpijak pada materialisme dan sekularisme. Dan inilah
titik sentral masalah modernisasi yang menjadi akar
timbulnya masalah-masalah di semua aspek kehidupan manusia, baik aspek
sosial, ekonomi, budaya maupun politik.
b. Adanya dimensi besar dari
kehidupan masyarakat modern yang berupa pemusatan pengetahuan
teoritis. Ini berarti bertambahnya ketergantungan manusia pada ilmu
pengetahuan dan informasi sebagai sumber strategis
pembaharuan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan menimbulkan
depersonalisasi dan keterasingan dalam dunia modern
Dalam menghadapi tantangan di atas, sudah
barang tentu pendidikan Islam harus memperhitungkan kekuatan arus yang
mengitarinya seperti sistem Barat yang bercorak sekuler dan telah
memasuki semua aspek kehidupan manusia. Begitu juga halnya modernisasi
harus dipahami sebagai proses alamiah dalam evolusi kehidupan manusia.
Pemahaman sebagaimana di atas menuntut
kepekaan terhadap gejolak perubahan dengan segala implikasinya serta
kemampuan baru untuk menerjemahkan setiap perubahan ke dalam proses
pendidikan. Dengan cara seperti itu akan membuka kemungkinan untuk
melahirkan pribadi-pribadi muslim yang kelenturan berpikir, daya
intelektual serta keterbukaan dalam menghadapi perubahan cara hidup.
Bertolak dari kenyataan tersebut , dalam konteks perubahan sosial ini
pendidikan Islam mempunyai misi ganda, yaitu:
a. Mempersiapkan manusia muslim
untuk menghadapi perubahan-perubahan yang sedang dan akan terjadi,
mengendalikan dan memanfaatkan perubahan-perubahan tersebut, menciptakan
kerangka berpikir yang komprehensif dan dinamis bagi
terselenggaranya proses perubahan yang berada diatas
nilai-nilai Islam.
b. Memberikan solusi terhadap
ekses-ekses negatif kehidupan modern yang berupa
depersonalisasi, frustasi dan keterasingan umat dari dunia modern.
Tentunya, kedua misi tersebut di atas
mengisyaratkan tugas berat yang dihadapi pendidikan Islam dewasa ini.
Dan diperlukan suatu kerangka pandang yang komprehensif dan relevan
dalam mengantisipasi setiap perubahan sosial sebagai akibat kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Misi pendidikan Islam itu juga
mengisyaratkan perlunya mengaitkan pendidikan Islam dengan masa depan.
Pendidikan Islam yang tidak berorientasi ke masa depan akan ketinggalan
zaman dan tidak adaptif.
2. Faktor Ideologi Negara
Antara pendidikan Islam dan
pendidikan nasional Indonesia tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lain. Hal ini dapat ditelusuri dari dua segi: Pertama, dari konsep penyusunan sistem pendidikan nasional Indonesia itu sendiri. Kedua, dari hakikat pendidikan Islam dalam kehidupan beragama kaum muslimin di Indonesia.
Penyusunan suatu sistem pendidikan
nasional harus mementingkan masalah-masalah eksistensi umat manusia pada
umumnya dan eksistensi bangsa Indonesia pada khususnya baik dalam
hubungannya dengan masa lampau, masa kini dan kemungkinan-kemungkinan
perkembangan masa depan.
Eksistensi bangsa Indonesia terwujud
dengan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, dimana
bangsa Indonesia sebagai negara yang merdeka, bersatu dan berdaulat
penuh. Bangsa Indonesia telah bertekad bulat untuk membangun dan
mengembangkan bangsa dengan Pancasila sebagai landasan Ideologi dan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusionalnya.
Sejak dari awal Indonesia merdeka,
pemerintah telah menempatkan agama sebagai fondasi dalam membangun
bangsa dan negara. Hal ini dapat kita baca dalam Undang-Undang Dasar
1945. Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ketiga dinyatakan bahwa
kemerdekaan Indonesia adalah semata-mata atas berkat rahmat Tuhan Yang
Maha Kuasa, dan pada alinea keempat dinyatakan bahwa Pancasila menjadi
dasar negara.
Namun apabila ditengok kembali
perjalanan sejarah para pemimpin nomor satu di negeri ini dalam
menafsirkan ideologi Pancasila dan mengimplementasikannya terhadap
pendidikan Islam, dapat di bagi menjadi tiga orde ( masa ) :
- Orde Lama
Pancasila sebagai ideologi negara
dianggap telah mewakili cita-cita semua agama dan golongan, termasuk
umat Islam. Bahkan Presiden Soekarno pernah mengatakan bahwa semua agama
itu sama, karena semua agama bertujuan untuk mencapai kebaikan hidup
manusia. Presiden Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya berulangkali
berhasil “menjinakkan” dan mementahkan perjuangan politik Islam yang
kemudian berimbas ke pendidikan Islam. Penjinakan itu berupa
memarginalisasi partai politik Islam dan aspirasi umat Islam dengan
alasan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Contoh
kongkretnya adalah menghapus tujuh kata dalam “Piagam Jakarta” dalam
UUD 45 “ Dengan Kepercayaan Terhadap Allah Yang Maha Kuasa”.
- Orde Baru
Pada awal-awal pemerintahannya Presiden
Soeharto mengadakan konsolidasi yang diiringi dengan kebijakan yang
represif terhadap islam. Karena Soeharto melihat Islam sebagai ancaman.
Maka antara Pemerintah dan islam selalu ada hubungan antagonis yaitu
hubungan yang saling curiga dan saling tidak percaya.
Pada pertengahan pemerintahannya Presiden
Suharto mencetuskan idiologi Pancasila sebagai asas tunggal untuk
partai politik dan keagamaan. Hubungan antara pemerintah dan umat
Islampun makin menegang. Peristiwa “ Tanjung Priok “ 12 September 1984,
yang memakan ratusan korban adalah salah satu contohnya.
- Orde Reformasi
Dengan bergulirnya masa reformasi yang
ditandai dengan demokratisasi sebagai salah satunya, membawa angin segar
bagi pendidikan Islam atau lembaga pendidikan Islam. Keluarnya
Peraturan Pemerintah ( PP ) nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama
dan Pendidikan Keagamaan, diharapkan dapat membawa perubahan pada sisi
managerial dan proses Pendidikan Islam. Peraturan Pemerintah ( PP )
tersebut secara eksplisit mengatur bagaimana seharusnya Pendidikan
Keagamaan Islam dan Keagamaan diselenggarakan.
Dalam pasal 9 ayat (1) disebutkan :
Pendidikan Keagamaan meliputi Pendidikan Keagamaan Islam, Kristen,
Katholik, Hindu, Budha dan Khonghucu. Pasal ini merupakan pasal umum
untuk menjelaskan ruang lingkup Pendidikan Keagamaan. Selanjutnya pada
ayat (2) pasal yang sama disebutkan tentang siapa yang menjadi pengelola
yaitu Mentri Agama.
Hanya saja realitas yang ada sampai saat
ini masih terkesan, secara kelembagaan Pendidikan Islam menempati posisi
kedua setelah Pendidikan Nasional. Sebuah lembaga yang menawarkan
Pendidikan Islam kurang banyak diminati jika dibanding dengan lembaga
lain yang dianggap lebih menjanjikan. Dan sampai saat inipun, posisi
Pendidikan Islam belum beranjak dari sekedar sebuah subsistem dari
sistem Pendidikan Nasional.
3. Faktor Perkembangan Masyarakat
Perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya mau tidak mau akan menuju kepada masyarakat informasi (informatical society)
sebagai kelanjutan atau perkembangan dari masyarakat industri atau
modern. Jika masyarakat modern memiliki ciri-ciri rasional, berorientasi
ke depan, bersikap terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan
inovatif, maka pada masyarakat informasi ciri-ciri tersebut belum cukup.
Pada masyarakat informasi, manusia selain harus memiliki ciri-ciri
masyarakat modern pada umumnya, juga harus memiliki ciri-ciri lain,
yaitu menguasai dan mampu mendaya gunakan arus informasi, mampu
bersaing, terus menerus belajar (serba ingin tahu), mampu menjelaskan,
imajinatif, mampu mengubah tantangan menjadi peluang, dan menguasai
kemampuan menggunakan berbagai metode dalam memecahkan berbagai masalah
yang dihadapi.
Pada masyarakat informasi peranan media
elektronika sangat memegang peranan penting dan bahkan menentukan corak
kehidupan. Penggunaan teknologi elektronika seperti komputer, faksimile,
internet dan lain-lain telah mengubah lingkungan informasi dari
lingkungan yang bercorak lokal dan nasional, kepada lingkungan yang
bersifat internasional, mendunia dan global. Pada era informasi, lewat
komunikasi satelit dan komputer orang memasuki lingkungan informasi
dunia.
Peran media elektronik yang demikian
besar akan menggeser agen-agen sosialisasi yang berlangsung secara
tradisional seperti yang dilakukan orang tua, guru, pemerintah dan
sebagainya. Komputer dapat menjadi teman bermain, orang tua yang akrab,
guru yang memberi nasehat, juga sewaktu-waktu dapat memberikan jawaban
segera terhadap pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan mendasar.
Kemajuan dalam bidang informasi tersebut
pada akhirnya akan berpengaruh pada kejiwaan dan kepribadian masyarakat.
Pada era informasi yang sanggup bertahan hanyalah mereka yang
berorientasi ke depan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi kebijakan
dan ciri-ciri lain sebagaimana dimiliki oleh masyarakat modern.
Itulah gambaran masa depan yang akan
terjadi, dan umat manusia mau tidak mau harus menghadapinya. Masa depan
yang demikian itu selanjutnya akan mempengaruhi dunia pendidikan, baik
dari kelembagaan, materi pendidikan, guru, metode, sarana dan prasarana
dan lain sebagainya. Hal ini pada gilirannya menjadi tantangan yang
harus dijawab oleh dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam. Hal ini
perlu dilakukan jika dunia pendidikan Islam ingin tetap bertahan secara
fungsional dalam memandu perjalanan umat manusia.
Berkenaan dengan hal tersebut perlu dilakukan upaya-upaya strategis, antara lain:
a. Tujuan pendidikan di masa
sekarang tidak cukup hanya dengan memberikan bekal pengetahuan,
keterampilan, keimanan dan ketakwaan saja, tetapi juga harus diarahkan
pada upaya melahirkan manusia yang kreatif, inovatif,
mandiri, dan produktif, mengingat dunia yang akan datang adalah dunia
yang kompetitif.
b. Guru di masa mendatang adalah
guru yang selain memiliki informasi, berakhlak baik dan mampu
menyampaikannya secara metodologis, juga harus mampu
mendayagunakan berbagai sumber informasi yang tersebar di
masyarakat ke dalam kegiatan belajar. Dengan demikian
pembelajaran harus lebih memusat pada siswa yang pada gilirannya dapat
menimbulkan masyarakat belajar.
c. Bahan pelajaran umum dan agama
perlu diintegrasikan dan diberikan kepada siswa sebagai bekal
yang memungkinkan ia dapat memiliki pribadi yang utuh, yaitu pribadi
disamping berilmu pengetahuan juga harus berakhlak mulia. Hal ini
penting karena kehidupan masa mendatang banyak dihadapkan
pada tantangan yang bersifat moral. Untuk itu, perlu dikembangkan
pengamalan akhlak di sekolah-sekolah.
4. Faktor Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Kemajuan teknologi
dalam tiga dasawarsa ini telah menampakkan pengaruhnya pada setiap dan
semua kehidupan individu, masyarakat dan negara. Dapat dikatakan bahwa
tidak ada orang yang dapat menghindar dari pengaruh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK), IPTEK bukan saja dirasakan individu,
akan tetapi dirasakan pula oleh masyarakat, bangsa dan negara.
Kehadiran IPTEK di negara-negara maju,
sudah lama dirasakan pengaruhnya, karena pada negara-negara tersebutlah
kemajuan itu mula-mula dicapai. Sebaliknya bagi negara-negara
berkembang, pengaruh tersebut baru mulai dirasakan antara lain seperti
dalam bidang informasi, buku-buku, media TV, radio, video, internet dan
lain sebagainya.
Sekarang yang menjadi persoalan sekaligus
pertanyaan bagi kita tentunya adalah bagaimana dengan eksistensi
pendidikan Islam dalam menghadapi arus perkembangan IPTEK yang sangat
pesat tersebut. Bagaimanapun tampaknya pendidikan Islam (terutama
lembaganya) dituntut untuk mampu mengadaptasikan dirinya dengan kondisi
yang ada. Disamping dapat mengadaptasi dirinya, pendidikan Islam juga
dituntut untuk menguasai IPTEK, dan kalau perlu merebutnya.
Kenyataan untuk merebut teknologi dan
ilmu pengetahuan tersebut adalah sangat penting, sebab sekarang
pembangunan nasional diarahkan dengan orientasi pada teknologi industri,
dalam hal ini tak terkecuali dalam bidang pendidikan.
Menurut Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie, ada lima prinsip yang harus diikuti untuk mencapai penguasaan IPTEK yaitu:
a. Melakukan pendidikan dan
pelatihan sumber daya manusia (SDM) dalam bidang IPTEK yang
relevan dengan pembangunan bangsa.
b. Mengembangkan konsep
masyarakat teknologi dan industri serta melakukan usaha serius dalam
merealisasikan konsep tersebut.
c. Adanya transfer, aplikasi
dan pengembangan lebih jauh dari teknologi yang diarahkan pada
pemecahan masalah-masalah nyata.
d. Kemandirian teknologi, tanpa harus bergantung ke luar negeri.
e. Perlu adanya perlindungan
terhadap teknologi yang dikembangkan di dalam negeri hingga
mampu bersaing di arena internasional.
Sementara itu pendidikan Islam yang tugas
pokoknya menelaah dan menganalisis serta mengembangkan pemikiran,
informasi dan fakta-fakta kependidikan yang sama sebangun dengan
nilai-nilai ajaran Islam dituntut harus mampu mengetengahkan perencanaan
program-program dan aktivitas-aktivitas operasional kependidikan,
terutama yang berkaitan dengan pengembangan dan pemanfaatan IPTEK
sebagaimana digambarkan diatas.
Strategi pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan modernisasi berkat kemajuan IPTEK itu mencakup ruang lingkup:
a. Motivasi kreatifitas anak
didik ke arah pengembangan IPTEK itu sendiri, dimana nilai-nilai Islam
menjadi sumber acuannya.
b. Mendidik keterampilan,
memanfaatkan produk IPTEK bagi kesejahteraan hidup umat manusia
pada umumnya dan umat Islam pada khususnya.
c. Menciptakan jalinan yang
kuat antara ajaran agama dan IPTEK, dan hubungan yang akrab
dengan para ilmuwan yang memegang otoritas IPTEK dalam bidang
masing-masing.
d. Menanamkan sikap dan wawasan
yang luas terhadap kehidupan masa depan umat manusia melalui
kemampuan menginterpretasikan ajaran agama dari sumber-sumbernya yang
murni dan kontekstual dengan masa depan kehidupan manusia.
Jadi kesanalah pendidikan Islam
diarahkan, agar pendidikan Islam tidak hanyut terbawa arus modernisasi
dan kemajuan IPTEK. Strategi tersebut merupakan sebagian solusi bagi
pendidikan Islam untuk bisa lebih banyak berbuat. Kendatipun demikian,
pendidikan Islam tentu saja tidak boleh lepas dari Idealitas Al-Qur’an
dan As-Sunnah yang berorientasikan kepada hubungan manusia dengan Allah
SWT. (Hablumminallah), hubungan manusia dengan sesamanya (Hablumminannas) dan dengan alam sekitarnya.
Dari ketiga orientasi tersebut, tampaknya hubungan dengan alam sekitar menjadi dasar pengembangan IPTEK, sedang Hablumminallah menjadi dasar pengembangan sikap dedikasi dan moralitas yang menjiwai pengembangan IPTEK, sedang Hablumminannas menjadi
dasar pengembangan hidup bermasyarakat yang berpolakan atas
kesinambungan, keserasian, dan keselarasan dengan nilai-nilai moralitas
yang berfungsi menentramkan jiwa manusia, sehingga terciptalah
kedamaian.
Dengan demikian apa dan bagaimanapun
produk-produk hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan
senantiasa bernilai positif, serta mendatangkan kemanfaatan bagi
kehidupan manusia.
C. Penutup
Dari uraian diatas, dapat kita ambil
sedikit kesimpulan bahwa kebijakan pendidikan Islam di Indonesia
sangatlah dipengaruhi oleh faktor-faktor telah dijelaskan diatas (dengan
tanpa faktor politik pemerintahan), dan konsep pendidikan Islam yang
kita harapkan adalah sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits serta sesuai
dengan fitrah manusia.
DAFTAR PUSTAKA
- Nata, Abuddin, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : UIN JAKARTA PRESS, 2006), cet. I
- Nata, Abuddin, Paradigma Pendidikan Islam: Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta : Gramedia Widiasarana, 2001)
- Nata, Abuddin, Pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005)
- Altaf Gauhar, Tantangan Islam dalam Hasbullah, Kapita selekta Pendidikan Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996)
- Bell, Daniel, The Coming of Post Industrial Society dalam Hasbullah, Kapita selekta pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
- Hasbullah, Kapita selekta pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
- Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara dengan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1992)
- Noer, Deliar, Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1987)
- Owens, Edgar & Shawn, Robert, Pembangunan ditinjau kembali, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1980)
- Nata, Abuddin, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia bekerjasama dengan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001)
- Rachmat, Jalaluddin dalam artikelnya “Islam Menyongsong Peradaban Dunia Ketiga”, dalam Ulumul Qur’an, vol. 2, 1989
- M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1993)
Sumber Artikel:
0 komentar:
Posting Komentar